Mafia Pemilu: MK atau KPU?
Ketika Rapat Panja Mafia Pemilu dengan Dewi Yasin Limpo, beberapa teman dekat dengan nada setengah serius sambil bercanda di ruangan Komisi II DPR RI mengatakan kepada saya “ini adalah kerja jaringan Sulawesi”, dengan membelalakkan mata dan mengubah posisi bibir, saya menjawab dengan kedipan mata untuk mengelak tanpa membela.”
Politik bagi sebagian besar orang cukup mengerikan. Saling tusuk dalam satu lipatan kekuasaan sambil tanpa dosa berteriak menang disaat lawannya jatuh terkapar. Ada kemenangan, tetapi ada juga kekalahan. Ada kekuasaan, tetapi ada yang dikuasai. Ada kebenaran, tetapi kepalsuan juga menjadi gumpalan. Tapi betulkah politik itu semua dosa?. Betulkah berita media massa itu kebenaran?. Bukankah realitas yang ditampilkan di tuduh oleh Yasraf Amir Piliang sebagai hiper reality?. Kebenaran berselingkuh dengan kepalsuan, realitas bertabrakan dengan imajinasi yang menyebabkan semuanya menjadi serba mungkin.
Politik bukan saja persoalan perebutan kekuasaan, tetapi juga upaya untuk menyebar gossip. Publik seolah-olah tanpa berpikir panjang menghukum tanpa beban?. Si terdakwa dalam media masa “dibunuh” citra, karir dan masa depannya. Berita adalah gossip, gossip dalam politik menjadi niscaya untuk mengimbangi kekuasaan agar tidak menjurus pada despotisme. Tetapi yang kadang dilupakan juga adalah fakta dibalik perstiwa yang tidak terungkap. Bagi penulis, Media harus tetap “bernyanyi”, karena hanya dengan itu demokrasi bisa tetap dipertahankan, kekuasaan menahan “napas despotiknya”, serta publik bisa mengontrol secara langsung. Tinggal publik memilah, mana gossip, fakta, dan desas-desus.
Inilah mungkin yang sedang menimpa sebagian besar fungsionaris partai saat ini. Kasus suap Miranda Gultom yang melibatkan politisi Golkar, PDIP, dan PPP serta di PKS ada Misbakhun yang tersohor dan Arifinto, di Demokrat kasus pembangunan Gedung Wisma Atlet yang tidak sedikit mencederai fungsionaris Partai yang oleh media massa ditangkap sebagai santapan yang paling enak.
Sejak kepemimpinan Anas Urbaningrum, Demokrat diwarnai oleh intrik dan pergeseran kepentingan yang menganga. Faksi politik tercipta begitu lebar dan garis kekuasaan terbangun bagaikan tembok dalam satu rumah. Faksi-faksi politik yang terbentuk pasca Kongres tidak terlihat, karena manajemen politik Demokrat sepenuhnya dikendalikan oleh citra Yudhoyono. Politik citra yang dibawa oleh Yudhoyono tidak saja menyebabkan demokrat bersatu diatas gelombang demokrasi, tetapi juga menyebabkan partai ini dinisbahkan sebagai partai bersih, melebihi “bersih-nya” PKS yang memiliki slogan ini dari awal.
Namun politik yang dibangun di atas kemegahan citra tidak bisa bertahan terlalu lama, karena bisa runtuh seketika. Ini sudah di wanti-wanti dari awal oleh para pengamat. Jangan terlalu ja’im (jaga image). Karena jika tersandung sekali, tembok rumah citra yang dibangun dengan lelah bisa sirna tanpa jejak.
Apa yang ditakutkan dari awal akhirnya terjadi. Kasus Nazaruddin telah menampar wajah Yudhoyono dan Demokrat yang tiap hari dibesarkan dalam tradisi “salon” kecantikan politik itu. Citra yang megah, ambruk seketika dalam rentang waktu yang amat sangat singkat. Manajemen politik partai belum kokoh, kaderisasi belum terbina dengan baik, faksi politik kian mengambil jarak, maka Yudhoyono sebagai sang bintang jatuh tersungkur dikenai peluru yang tidak dirapikan dari dalam senjata sendiri. Apakah ini hukum karma bagi Demokrat?
Andi Nurpati Jilid II
Ketika Andi Nurpati lompat dari KPU ke Partai Demokrat, caci-makian datang menyerang Srikandi ini. Dari awal dia dituduh melakukan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, sehingga ketika sidang Dewan Kehormatan KPU yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie pada tanggal 29 Juni 2010, memutuskan Andi Nurpati diberhentikan. Setelah putusan itu keluar, Komisi II DPR RI memanggil Dewan Kehormatan KPU, dan menanyakan, kenapa keputusan tidak “diberhentikan dengan tidak hormat?. Pada akhirnya Komisi II memutuskan sendiri, yakni: “Andi Nurpati diberhentikan dengan tidak hormat”. Keputusan ini memang nuansa politiknya sangat kental karena diwarnai oleh dendam beberapa orang yang “mungkin” bermasalah dengan Andi Nurpati. Hanya saja, saat itu tidak dibentuk Panitia Kerja (Panja) untuk memutus ulang bahwa Nurpati “diberhentikan dengan tidak hormat”. Karena selesai dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Publik sudah mulai melupakan Nurpati dan kesalahan “etika politik” yang dilakukannya, persis seperti orang yang mulai melupakan kejahatan politik Orde Baru. Penulis menyebut ini amnesia politik rakyat, yang mudah melupakan kembali masa lalu.
Di tengah badai yang menerpa Demokrat dengan ulah Nazaruddin, Nurpati kembali diterpa kasus yang lebih mengerikan. Kasus pidana, yakni tindak pidana pemalsuan. Meskipun masih desas-desus, dan bukti masih simpang siur, Nurpati mulai mendapatkan hukuman sosial kembali dari publik. Perempuan ini masih baru muncul dipublik, yakni semenjak dia menjadi anggoat KPU, tetapi dipenuhi oleh kontroversi dan gossip.
Tindak pidana pemalsuan yang di duga dilakukan oleh Nurpati terhadap surat MK yang bertanggal 14 Agustus dengan tanggal 17 Agustus menyebabkan ia kembali tertuduh. Mahfud MD tidak tanggung-tanggung, melaporkan Nurpati sebagai penjahat pemalsuan surat MK, yang tertanggal 14 Agustus 2009. Surat itu merupakan surat palsu yang dijadikan dasar bagi pengambilan keputusan oleh KPU terhadap penetapan kursi di Dapil Sulsel I. kedua surat, yang asli dan palsu itu sama-sama datang dari MK. Lalu yang menjadi tertuduh itu adalah orang dari luar MK. Kalau KPU memutuskan dengan menggunakan surat yang di “sebut” oleh MK palsu, lalu kenapa tidak di clearkan dari awal?.
Fakta yang ditunjukan dalam laporan hasil investigasi internal MK tanggal 21 Juni 2011, justru menunjukkan bahwa “penjahat” pemilu dan pelaku tindak pidana pemalsuan itu adalah dari dalam MK sendiri. Nama mantan Hakim MK, yang berinisial AS disebut berulang-ulang oleh Sekretaris Jenderal MK, Jenedri M. Gaffar dalam Rapar Dengar pendapat dengan MK. Nurpati hanya disebut menerima surat dari MK yang diantar oleh pegawainya pada sore hari tanggal 17 Agustus 2009 dikantor Jak-TV. Lalu dimana posisi Andi Nurpati sebagai “tertuduh”. Haruskah KPU yang bertanggungjawab atas pemalsuan surat oleh MK?. Posisi MK memang terlalu naïf, karena seharusnya sebagai negatif legislator, justru terlalu dominan menjadi positive legislators, sementara tidak ada mekanisme hukum yang bisa dilakukan oleh para pihak untuk menggugat keputusan MK, karena putusan lembaga ini bersifat final and binding.
Kekeliruan Logika Mahfud MD
Setelah ditemukan data hasil investigasi internal MK, Mahfud MD mulai tidak terlalu ngotot melibatkan Andi Nurpati, dan tidak pernah berbicara mengulang kembali nama Andi Nurpati sebagai “penjahat” tindak pidana pemalsuan.
Publik sudah mafhum, bahwa apa yang dilakukan oleh Mahfud adalah merupakan upaya untuk membangun citra dirinya, dan diduga oleh banyak orang dia sedang tebar pesona untuk kepentingan Pemilu 2014. ada berbagai data yang simpang siur mengenai kursi haram di DPR. Ada yang menyebut 115 kursi “haram” yang di tempati oleh DPR periode 2009-2014. Tetapi Mahfud sendiri menyebut ada 16 surat palsu yang tidak bisa dia tunjukan hingga sekarang. Mungkin ini sama halnya dengan tuduhan pertama yang dilakukan oleh Mahfud ke Nurpati, yakni sebagai “pemalsu” surat. Setelah membaca utuh tidak ada keterlibatan Nurpati dalam Pemalsuan, Mahfud menggeser isu-nya menjadi “menggelapkan”. Kasus ini mungkin ada dan melibatkan anggota KPU dan MK sekaligus, tetapi tidak elok seorang ketua MK menuduh sebelum ada pembuktian. Awalnya Mahfud ingin menembakan pelurunya ke KPU, tetapi dia lupa, yang menjadi bagian dari MK bukan dia sendiri, tetapi ada banyak ide, pikiran dan karakter. Ada dua manajemen, yakni manajemen Hakim yang dikomandoi oleh Mahfud, dan manajemen Sekretariat Jenderal yang dikomandoi oleh Sekretaris Jenderal yang berstatus PNS. Adakah jaminan PNS bisa mandiri dalam sistem presidensial?. Bagaimana mungkin bisa memastikan Sembilan hakim tidak memainkan kasus, sejumlah panitera tidak menggeser amar putusan, serta sejumlah pegawai yang menjadi bagian dari perangkat kerja MK?. Disinilah Mahfud jatuh tersungkur dengan logika yang dia bangun, karena arogansi kekuasaan yang terlalu dominan.
Menurut penulis, memang banyak persoalan di MK yang terkait dengan putusan mengenai Pemilu. Tinggal di falsifikasi, berapa kursi yang diperoleh oleh anggota DPR dari hasil putusan MK, dan diantara kursi yang diperoleh melalui putusan MK itu, mana yang “mungkin” bermasalah, mana yang bermasalah dan mana yang benar-benar memiliki tingkat legitimasi kebenaran secara hukum.
Hal ini dilakukan adalah untuk mengetahui benarkah pemilu tahun 2009 itu memiliki akuntabilitas demokrasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Apakah ada kemungkinan demokrasi dibajak oleh sekelompok orang yang berusaha untuk menghancurkan sistem demokrasi kita?. karena ada yang pura-pura berteriak demokrasi, tetapi justru bersikap anti demokrasi, termasuk mereka yang ditengarai sebagai negarawan.
Fajlurrahman Jurdi adalah: Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia