Pemuda dan Korupsi

Setiap tanggal 28 Oktober, kita memperingati hari sumpah pemuda. Para pelakon instansi pemerintahan, lembaga pendidikan sampai kelompok-kelompok kepemudaan menyambut penuh suka cita. Mereka mengambil bagian dengan caranya masing-masing, ada yang melalui upacara bendera (sumpah pemuda), demonstrasi  di jalan, dan ada pula “membungkus” dalam kegiatan seminar kepemudaan. Hanya saja sumpah pemuda kemudian berakhir hari itu juga. Peringatan lebih kepada acara seremonial belaka, tanpa memaknai substansi dan sejarah lahirnya.

Membumikan

Oleh karena itu, peringatan sumpah pemuda wajib menjadi spirit kebangkitan bagi pemuda masa kini. Pernyataan pemuda bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu jangan hanya slogan semata. Membumikan nilai-nilai persatuan dan kesatuan merupakan suatu keniscayaan. Hal itu sangatlah penting melihat kondisi pemuda kekinian. Pertama, kondisi generasi muda yang “hobi” tawuran, baik antar geng motor, pelajar, pemuda kampung sampai fanatisme kesukuan.

Sumber: cloud8824.wordpress.com

Sumber: cloud8824.wordpress.com

Pemahaman sempit kalangan pemuda, mencari ruang aktualisasi diri lewat tawuran. Bangga ketika mereka saling menyerang, merusak fasilitas publik tak terkecuali gedung-gedung sekolah. Bekas luka menjadi simbol kejantanan. Kata “ditakuti” merupakan tujuan, meski tak jarang menelan banyak korban.

Padahal mereka harusnya paham akan sejarah sumpah pemuda itu sendiri. Bagaimana pemuda_pemudi menyatukan diri, meneriakkan kata Indonesia walau dalam kondisi terjajah. Sadar betul akan pentingnya persatuan dan kesatuan di tengah kemajemukan suku, bahasa, serta daerah.

Lewat Kongres Pemuda II yang digagas Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon. Sama-sama mengikatkan diri untuk tidak bercerai-berai, dengan hanya satu tujuan, satu Indonesia menuju kemerdekaan. Artinya melihat konteks pemuda (pelajar) hobi tawuran atau lazim dikenal dengan istilah generasi kekerasan, menandakan pengingkaran akan butir sumpah pemuda bertumpah darah dan berbangsa satu yakni Indonesia.

Kedua, telah terjadi krisis identitas, tepatnya pemuda tak berkrakter. Lahirlah pemuda-pemudi ciyus_miapah?, dan anak layangan (alay). Di mana kata-kata lebay akan selalu keluar dari mulut mereka. Setiap pertanyaan akan dijawab ciyus? miapah? Diperparah lagi ketika berlomba-lomba mengadopsi bahasa-bahasa Vicky Prasetyo. Atau lazim didengar dengan istilah vickynisasi. Suatu fenomena baru gaya bahasa anak muda yang sok intelek tetapi salah menempatkan kata. Sebut saja “konspirasi kemakmuran, kudeta cinta, labil ekonomi dan statunisasi”.

Ironisnya meski penggunaan bahasa Vicky dikritik habis pakar-pakar bahasa, karena merusak tata bahasa Indonesia. Tetap saja bahasa vickynisasi sering terdengar ditengah-tengah masyarakat. Malah menembus ruang-ruang persidangan kasus korupsi impor daging di Pengadilan Tipikor Jakarta. Kala itu hakim pengadilan tipikor Nawawi terpaksa menegur saksi Ilham Arief Sirajuddin yang dianggap berbicara ala Vicky. Bila melihat fenomena penggunaan bahasa ciyus? miapah?, vickynisasi. Maka sekali lagi telah tercipta pengingkaran terhadap point ketiga ikrar sumpah pemuda.

Ikrar Antikorupsi

Selain terjangkit penyakit laten ciyus? miapah?, vickynisasi dan tawuran yang massif. Pemuda juga sudah mulai “doyan” korupsi. Beberapa tahun terakhir, pemberitaan media banyak mengulas sepak terjang pelaku korupsi baru. Bila dulu praktik korupsi dilakukan generasi tua. Kini, justru kaum muda ikut meramaikan permain kotor menggarong uang negara.

Beberapa tokoh muda satu persatu duduk dikursi pesakitan. Dalam pemberantasan korupsi, lembaga antirasuh KPK telah mencatat sejumlah generasi muda baik sebagai tersangka maupun yang sudah menjalani pemeriksaan sidang tindak pidana korupsi. Kasus korupsinya pun tergolong megakorupsi misalnya kasus wisma atlet, dan proyek pembangunan sport center Hambalang.

Atas dasar contoh kasus korupsi tersebut, seyogianya peringatan hari sumpah pemuda tidak lagi acara seremonial_ kosong makna. Akan tetapi, hari itu harus menjadi momentum kebangkitan generasi (baca: pemuda). Suatu generasi berkarakter, penerus cita-cita para pendahulu negeri ini.

Bila pemuda masa lalu berjuang memerdekakan Indonesia untuk terlepas dari belenggu penjajah, melalui semangat persatuan dalam bingkai ikrar sumpah pemuda. Maka saat ini harusnya kita pun bersama-sama, bersatu dan mengikrarkan sumpah pemuda antikorupsi. Karena musuh sekarang bukan lagi penjajah dari negara lain melainkan perilaku korup. Perilaku maling yang berdampak luas, merusak perekonomian bangsa, menghambat pembangunan, merusak mental para generasi muda serta semakin menjauhkan kita dari tujuan negara yakni kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada momentum peringatan hari sumpah pemuda ke-85 tahun, penulis tidak lupa mengajak para pemuda-pemudi seluruh Indonesia untuk turut berikrar sumpah pemuda antikorupsi yang berbunyi; Satu, kami putra dan putri Indonesia antikorupsi, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia bersih. Dua, kami putra dan putri Indonesia antikorupsi, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia bebas korupsi. Tiga, kami pura dan putri Indonesia antikorupsi, menjunjung bahasa persatuan, bahasa kejujuran. Semoga dengan berikrar memerangi korupsi, Indonesia bisa merdeka dari belenggu penjajah bernama koruptor.

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...