Menimbang Visi Antikorupsi Capres
Pemerintah Indonesia akan segera melakukan pergantian pucuk pimpinan. Presiden dan Wakil Presiden ketiga yang dipilih secara langsung. Kuatnya aroma persaingan antara mereka belakangan ini tidak terhindarkan, disebabkan karena partai politik sebagai pemegang hak konstitusional hanya melahirkan dua kontenstan pada pemilihan umum 9 Juli mendatang.
Pertarungan gagasan-gagasan baru, visi-misi tentu sangatlah ditunggu. Gagasan kebangsaan guna mewujudkan tujuan negara. Suatu pekerjaan rumah yang ditugaskan pendiri bangsa kepada para generasi-generasi pelanjut, yakni kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Meski tak bisa dinafikkan black campaign maupun negative campaign lebih mendominasi layar kaca.
Komitmen dan Realitas
Terlepas dari saling “serang” tersebut. Penulis justru lebih tertarik mengkaji program pemberantasan korupsi masing-masing kandidat sambil membenturkan dengan fakta di lapangan. Visi-Misi yang menjadi jualan unggulan dalam meraup suara kalangan pemilih. Di saat yang sama dianggap jitu karena masyarakat sudah mulai gerah melihat maraknya laku korupsi yang menggoroti bangsa. Sangat massif terjadi di seluruh lingkup kekuasaan, baik kekuasaan ekskutif, yudikatif, maupun legislatif.
Mereka belajar betul dari pemilihan legislatif 9 April 2014, betapa partai politik yang melanggengkan laku korupsi tak berdaya meloloskan kader-kadernya ke parlemen. Sebut saja partai penguasa yang harus terseok-seok mengembalikan citra partai. Walhasil pemenang pemilu legislatif kala itu, hanya bisa menempati posisi keempat. Jauh dari target, padahal memiliki relasi kuasa besar.
Kembali kekonteks membedah visi pemberantasan korupsi Capres. Dalam sebuah program TV Swasta bertema “Jokowi atau Prabowo”, menjadi perdebatan hangat para panelis ketika pembawa acara menampilkan visi-misi pemberantasan korupsi masing-masing calon. Poin yang sangat krusial dan masyarakat membutuhkan kejelasan.
Perlu diketahui dibidang penegakan hukum dan korupsi Jokowi-Jusuf Kalla menekankan berkomitmen membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, berpihak pada pemberantasan korupsi dan reformasi lembaga penegak hukum, memberantas korupsi korupsi di legislasi dengan menindak tegas oknum pemerintah yang menerima suap, mewujudkan pelayanan publik yang bebas korupsi melalui teknologi informasi yang transparan. Membentuk regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi seperti RUU perampasan asset, RUU perlindungan saksi, RUU kerjasama timbal balik, dan RUU pembatasan transaksi tunai. Mendukung keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi, memastikan sinergis antara Kepolisian, Kejaksaan Agung dan KPK. Memprioritas penanganan korupsi di sektor penegakan hukum, politik, pajak, bea cukai, dan industri Sumber Daya Alam. Menerapkan system integritas nasional untuk mencegah korupsi dan terakhir membuka keterlibatan publik dan media massa dalam mengawasi upaya tindakan korupsi.
Sedangkan Prabowo berkomitmen mencegah dan memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dengan menerapkan manajemen terbuka dan akuntabel. Penguatan peranan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi secara sinergis. Tidak tanggung-tanggung menambahkan tenaga penyidik, fasilitas penyelidikan.
Secara substansi visi keduanya sangatlah baik nan mendukung pemberantasan laku penggarong uang negara. Akan tetapi, komitmen di atas kertas akan terbantahkan bila melihat realitas koalisi partai pengusung.
Pertama, mayoritas diusung partai politik yang kadernya memiliki persoalan hukum sama yakni korupsi. Misalnya kasus pengurusan kuota impor daging sapi, kasus korupsi Al Quran, kasus Dana Haji yang mentersangkakan Menteri Agama Suryadharma Ali. Dan kabar terbaru nama Ketua Partai Bulan Bintang MS Kaban sering disebut oleh tersangka Anggoro Direktur PT Massaro dan saksi-saksi di persidangan tindak pidana korupsi, menerima suap saat menjabat Menteri Kehutanan.
Kedua, koalisi parpol yang getol ingin melemahkan lembaga antirasuah KPK. Sudah menjadi rahasia umum sejumlah politisi khususnya komisi III DPR sampai saat ini masih melakukan operasi senyap (silent operation) melumpuhkan KPK. Mengamputasi kewenangan KPK lewat Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena upaya merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditentang masyarakat luas.
Sebelumnya Fahri Hamzah kader Partai Keadilan Sejahtera malah lebih keras lagi, meminta pembubaran KPK kala masih dipimpin Antasari Azhar yang dilanjutkan Busyro Muqqodas. Dan lucunya justru meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka sangat pro pemberantasan korupsi serta mendukung KPK.
Sistem Pemerintahan Bersih
Kontradiksi penggagas dan program kerja pemberantasan korupsi mustahil akan melahirkan pemerintah yang bersih dan lebih baik. Sikap kritis dari masyarakat harus lahir. Karena kita akan menjadi penentu masa depan bangsa. Pilihan rasional berdasarkan visi-misi dan track record mengurus pemerintahan bukan hanya dilatarbelakangi sikap primordial_kesukuan. Apalagi sebelumnya sudah tercium aroma politik transaksional. Dimana dukungan partai pengusung ternyata berdasarkan bagi-bagi kursi menteri, bila sang kandidat terpilih. Atau dengan kata lain mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dibanding kepentingan masyarakat luas.
Perbaikan bangsa bisa dilakukan dengan membuat sistem baru. Pemerintahan bersih menjadi harga mati, sesegera mungkin harus diwujudkan. Pemerintahan yang kabinetnya diisi orang-orang baru nan baik. Menteri yang tidak tersandera kasus hukum. Sehingga lebih fokus mengurus rakyat.