KPK dan Renungan Pemberantasan Korupsi
Dalam setiap momen hari-hari besar, selalu saja disangkutpautkan dengan dua peristiwa, diantara masa lalu dan masa depan. Masa lalu akan selalu menjadi cermin, sehingga dapat memberi bayangan untuk menyiapkan rencana pada agenda-agenda selanjutnya.
Postulat tersebut pastinya juga berlaku pada momentum perayaan haris besar anti korupsi sedunia. Sucses story lembaga super body setaraf KPK selalu menjadi ukuran kinerja pemberatasan korupsi di bumi persada ini. Mahfum saja, karena memang KPK dalam setiap penilaian survey publik, selalu menempati urutan pertama yang mendapat kepercayaan publik.
Ujian KPK
Di tengah kesuksesan KPK “menerobos” semua sekat politik sepanjang 2014, hingga menjemput satu persatu pelaku korupsi. Oleh karena korupsi memang telah dianggap hostis humanis generis (musuh bersama ummat manusia). Tapi dibalik itu kerja-kerja KPK tak kurang menuai banyak kecaman.
Kecaman terutama datang dari para “bandit” koruptor, menuding KPK misalnya telah bertindak melampaui kewenangannya (abuse of the power) ketika menyeret satu-persatu para elit politik. Seribu macam cara dilakukan oleh kawanan koruptor yang memusuhi KPK, dengan memelintir tugas dan kewenangan KPK, ada yang mengatakan tindakan KPK tidak sesuai lagi dengan dinamika kehidupan ketatanegaraan.
Mulai dari koruptor yang terhimpun dalam sebuah partai politik tiba-tiba dianggap sebagai korban, yang tidak tahu-menahu telah merugikan keuangan Negara. Sampai pada aktor korupsi yang merasa dijebak oleh kepentingan kekuasaan.
Bayangkan saja, pasca tertangkapnya eks pucuk pimpinan MK diakhir 2013 silam, tiga fungsi kekuasaan Negara seolah jatuh harga dirinya hingga di titik terendah. Tak sungkan-sungkan KPK pada waktu itu menetapkan tiga tersangka yang mewakili tiga lembaga kekuasaan Negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) hingga memunculkan adagium plesetan dari konsep pemisahaan kekuasaan Montesqieu “trias corruptica,” bukan lagi trias politica.
Atas kehancuran tiga lembaga kekuasaan Negara tersebut, pun KPK kembali dipersalahkan. Alih-alih bertindak sebagai lembaga pemberantasan korupsi, juga mendapat antipati dari berbagai kalangan. KPK konon katanya gagal dalam upaya pencegahan, dan terlalu “jumawa” dalam aspek penindakan saja. Bahwa kerja-kerja KPK konon tidak pernah menuntaskan tugas preventifnya, dalam mengupayakan untuk mengamputasi episentrum korupsi.
Ironisnya, ketika KPK kemarin turut melibatkan diri dalam penyelenggaraan kempanye pemilu yang bersih, malah dari beberapa elit politik kemudian menuding KPK, lagilagi KPK dianggap bertindak melampaui batas kewenangannya.
Jadi, KPK memang sengaja dicarikan cara, agar tidak lagi “menyenter” sejumlah nama-nama elit politik. KPK dalam jebakan tidak ada pilihan terbaik, semua tindakannya selalu digiring pada kesalahan (ikut emak disalahkan bapak, ikut bapak disalahkan emak).
Jika ditilik dari akar lahirnya KPK lalu menjadi lembaga kepercayaan publik satu-satunya. Tidak menutup kemungkinan, adanya dugaan dari elit senayan (parlemen) semacam “penyesalan” telah melahirkan lembaga yang bisa menghantam sendiri dirinya. Bukankah KPK lahir karena UU yang dibentuk oleh DPR bersama Presiden? Lalu mengapa KPK yang bisa dikatakan anak kandungnya sendiri (DPR) justru mencelakakan dirinya kembali? Bahkan lebih dari itu, lahirnya pimpinan KPK secara kolektif kolegial “penalty-nya” juga ditentukan oleh sekawanan elit politik yang bernama DPR. Lalu dengan serta merta, mengapa KPK pun melibas beberapa politisi yang sudah turut berperan mengantarnya menjadi “tokoh” pemberantas korupsi?
Dalam konteks itu, tidakkah KPK merasa berutang budi terhadap DPR? Jawabannya tidak perlu memang ada utang budi dalam penegakan hukum. Sebab demi keadilan yang mengutamakan equal before the law, di sana memang tidak ada utang jasa dibayar dengan jasa. Demikianlah hukum ketika ditegakkan suatu hal yang tidak bisa dipungkiri juga akan berlaku pameo “summa ius summa injuria.”
Di hari anti korupsi ini, akhir tahun yang tidak lama lagi akan membuka pintu tahun selanjutnya. Dalam suasana elit di senayan yang masih riuh, hingga dua pasukan tempur (KIH dan KMP) terpecah belah dalam dua lembaga (DPR tandingan). Tentunya ujian penegakan hukum dalam bidang pemberantasan korupsi ke depan, sudah mulai terbaca hari ini. Kerja DPR yang akan menentukan pengganti salah satu pimpnan KPK; Busyro Muqodas, terkesan diulur-ulur. Tindakan DPR pun kemudian tidak salah jika ada yang menganggap, ada inisiatif untuk melumpuhkan KPK.
Ujian KPK sesungguhnya di tahun selanjutnya (2015) akan menemui rintangan yang boleh jadi akan jauh lebih rumit dibandingkan tahun lalu. Dalam kacamata politik, arsitektur dua kekuasaan Negara, antara Presiden dan DPR, yang jelas-jelas terpolarisasi dalam dua kekuasaan, namun DPR yang memiliki kekuataan besar (minim relasi politik dengan presiden), maka kekuatan legislative heavy akan benar-benar menunjukan kedigdayaannya.
Boleh jadi DPR akan memangkas segala kewenangan KPK melalui revisi UU KPK, hingga merekrut pimpinan KPK yang bisa membangun relasi politik dengan DPR, agar oknum DPR yang terindikasi korupsi tidak disergap oleh KPK. Lihat saja salah satu buktinya, ketika revisi UU MD3, pun DPR membangun super body-nya pula, bahwa untuk diperiksa dalam kasus hukum harus ada izin dari mahkamah kehormatan DPR.
Renungan Korupsi
Maka dari itu, atas segala ujian yang akan di hadapi KPK. Di satu sisi publik yang selalu menaruh harapan di pundak KPK agar menuntaskan kasus-kasus korupsi besar yang telah menistakan derita ummat manusia. Maka di sisi lain, tentunya akses besar kinerja KPK juga harus ditunjang oleh pengawasan publik, untuk selalu menyokong KPK dari setiap ujian yang menghadangnya, saat KPK hendak dilucuti, disunat, dan dipreteli kewenangannya.
Seyogianya para pemangku kekuasaan yang telah diberi amanah, tanggung jawab dan kepercayaan oleh rakyat, merenungi bersama; bahwa tertangkapnya sejumlah elit bukanlah tindakan kejam, apalagi bengis untuk menghancurkan kinerja setiap lembaga Negara. Renungan korupsi adalah awal untuk mengintrospeksi diri bagi sejumlah pejabat Negara, bahwa tindakan laku korupsi akan berakhir dengan kejamnya bilik penjara, hingga sanksi sosial yang sulit dihindari bagi para pelakunya.
Renungan korupsi adalah tindakan hikmat untuk mengoreksi diri, bahwa kinerja KPK yang meprodeokan hampir semua oknum elit partai, mulai dari partai nasionalis hingga partai religius merupakan tindakan penyelamatan bangsa dari jurang kemiskinan. Janganlah coba-coba untuk melakukan perbuatan korupsi, karena secara naluria kita dilahirkan pastinya untuk melihat nasib anak bangsa dalam keadaan sejahtera. Selamat hari anti korupsi. #Save KPK. (*)