Terkoyaknya Hukum Administrasi Kita
Semula penyebabnya karena DPR menendang “bola panas” peretujuan pencalonan Kapolri Budi Gunawan (BG) ke Presiden, sehingga bua simalakama mau tidak mau harus diterima Presiden. Kalau BG tidak jadi diangkat sebagai Kepala Polri (Kapolri), Presiden telah menjatuhkan derajat posisi Hukum Tata Negara di titik terendah. Sedangkan kalau BG diangkat, Presiden juga telah memecahkan rekor sejarah untuk pertama kalinya kita akan memiliki Kapolri dalam status sebagai tersangka.
Akhirnya, situasi dilematis yang sedang melanda Presiden Jokowi “terpaksa” memilih jalan untuk menunda pelantikan BG. Walaupun jalan yang dipilih itu bukan menyelesaikan masalah, tetapi malah akan meninggalkan PR (Pekerjaan Rumah) di belakang hari.
Selain menunda pelantikan BG, satu dan lain hal yang sebenarnya tidak ada dampak hukumnya terkait “sengkarut hokum” yang sedang menimpa calon Kapolri BG. Ternyata Presiden juga memberhentikan Kapolri Jenderal Pol Sutarman, kemudian menunjuk Wakapolri Komjen Pol. Badrodin Haiti sebagai Pelaksana tugas (Plt) Kapolri.
Atas peristiwa itu, di sanalah sebetulnya Presiden telah melakukan tindakan hukum bertentangan dengan kewenangannya.
Tindakan hukumnya merupakan tindakan hukum administrasi negara yang mengikat sekaligus membatasi Presiden sebagai pejabat eksekutif dalam melakukan perbuatan hukum (legalitas) dari dua persitiwa tersebut. Presiden telah melakukan tindakan hukum yang dapat dikategorikan “cacat materil” sebab syarat-syarat yang mestinya dipenuhi oleh Presiden berdasarkan ketentuan UU Kepolisian NRI, dalam hal pemberhentian Sutarman danpenundaan pelantikan BG ternyata banyak ketentuan yang disimpangi.
Surat Keputusan (SK) pemberhentian Sutarman maupun tindakan Presiden menunda pelantikan BG, kedua-duanya berada dalam lapangan Hukum Adminitrasi Negara. SK pemberhentin Sutarman merupakan ketetapan positif dan tindakan Presiden yang menunda pelantikan BG, lalu tidak menerbitkan SK pengangkatan terhadapnya, hal itu diklasifikasikan sebagai ketetapan negatif/fiktif.
Ketetapan Positif
Dalam Hukum Administrasi Negara sudah umum diakui berlakunya asas vermoeden van rechtmatigheid. Yang berarti bahwa tindakan hukum/ keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan tetap dianggap sah sepanjang tidak ada pembatalan. Jadi, SK pemberhentian Jabatan Kapolri Sutarman, sepanjang tidak pernah berkeberatan dan mempermasalahkannya, dan oleh pengadilan TUN tidak pernah membatalkan SK itu, maka akan tetap sah pemberhentian tersebut.
Andaikata Sutarman hendak mempermasalahkan SK pemberhentiannya, maka sangat dimungkinkan untuk diperadilankan (PTUN. Bahwa dapat dikatakan SK pemberhentian Sutarman telah terjadi cacat materil dalam penerbitannya. Sehingga Sutarman dapat saja “menuntut” haknya yang dirugikan karena terbitnya SK itu.
Hal ini akan nampak jelas unsur kecacatannya, tat kala dicermati bunyi dari Pasal 11 ayat 5 UU Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Kepolisian NRI; “dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat Pelaksana tugas (Plt) Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan DPR.”
Ternyata berdasarkan ketentuan tersebut, syarat pemberhentian dan syarat untuk memberhentikan Kapolri dibatasi oleh beberapa alasan yang sah. Diantaranya: masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir; atas permintaan sendiri; memasuki masa pensiun; berhalangan tetap; dan dijatuhi pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Pada saat seluruh alasan pemberhentian demikian hendak ditelusuri dalam pemberhentian Sutarman, satupun tidak terdapat syarat yang dibenarkan, agar Sutarman yang menjabat sebagai Kapolri sudah harus diberhentikan. Jabatan Sutarman belum juga berakhir masa periodenya, karena nanti berakhir pada Oktober 2015. Termasuk Sutarman tidak pernah ada tersiar kabar ke media atau minimal diumumkan oleh Presiden Jokowi, kalau dirinya hendak berhenti atas permintaan sendiri. Konklusinya; satupun syarat-syarat pemberhentian itu, sama sekali tidak ada yang terpenuhi.
Ditambah lagi, kalau diperhatikan frasa “kepentingan mendesak” dalam Pasal 11 ayat 5 UU Kepolisian NRI, semakin menunjukan Presiden Jokowi dikala menerbitkan SK Pemberhentian Sutarman, lalu mengganti dengan Plt. malah telah mengoyak tatanan Hukum Administrasi Negara kita.
Presiden Jokowi dengan “pongahnya” langsung memberhentikan Kapolri Sutarman begitu saja. Sadarkah Sang Presiden kalau penunjukan Plt. dan memberhentikan Kapolri (yang hanya berlaku sementara) sudah berada dalam standar “kepentingan mendesak”? Presiden rupanya “ceroboh” atas persyaratan itu. Sebab yang dimaksud “kepentingan mendesak” dalam ketentuan tersebut “ada suatu keadaan yang secara yuridis mengharuskan Presiden menghentikan sementara kapolri karena melanggar sumpah jabatan dan membahayakan keselamatan negara.” Dan apa yang sedang menimpa Sutarman sama sekali tidak pernah terbukti dirinya melanggar sumpah jabatan dan melakukan tindakan yang kiranya akan membahayakan keselamatan Negara.
Oleh karena itu, dalam spektrum Hukum Adminitrasi Negara, pada sesungguhnya SK pemberhentian Sutarman cacat secara materil. Substansi dari SK demikian, tidaklah memenuhi standar yang telah ditetapkan dalam UU Kepolisian. Dan Jika saja Sutarman hendak mempermasalahkan SK tersebut. Maka SK yang diterbitkan Presiden, inilah yang disebut ketetapan positif. Begitu ketetapan itu berlaku atasnya dan sudah diterima olehnya, Ia dapat menggugatnya melalui sarana hukum PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
Ketetapan Negatif
Meskipun tindakan hukum oleh Presiden terhadap Sutarman dan BG kedua-duanya menjadi wilayah beschikking (ketetapan), namun perbedaannya terhadap peristiwa hukum administrasi yang terjadi pada BG, terletak pada SK tersebut yang belum diterbitkan oleh Presiden. Karenanya, SK itu belum diterbitkan, sehingga “analogi hukumnya” mengatakan “ketetapan negatif”. Yaitu ketetapan yang semestinya diterbitkan oleh Presiden namun tidak diterbitkan.
Tat kala BG merasa penundaan atas pelantikannya dianggap “mengoyak” haknya untuk menduduki jabatan Kapolri. Lalu “kandas” di tengah jalan karena Presiden urung tak menerbtikan SK pengangkatan Kapolri. BG kiranya dapat bermohon kepada Presiden, agar segera menerbitkan SK pengangkatan Kapolri atas namanya. Dan jika hal itu tetap dindahkan oleh Presiden, maka sesuai dengan UU PTUN dalam waktu empat bulan, pun Presiden Jokowi bisa dijadikan sebagai tergugat melalui PTUN, karena telah “mengoyak” hukum admnistrasi yang seyogiayanya berlaku terhadap BG.
Namun perlu diingat, boleh jadi memang terdapat unsur kesengajaan Presiden Jokowi menggunakan kewenangan diskresi terhadap “pengangkatan dan pemberhentian Kapolri” dengan bahasa “penundaan pelantikan”. Hingga kalau BG pun memberanikan diri mem-peradilankan Presiden Jokowi. Sedari awal, sudah pasti Jokowi sudah menyimpan peluru yang bernama asas kepatutan, asas kepentingan umum, dst (AAUPB: Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik) yang menjadi alasan baginya tak menerbitkan SK pengangkatan Kapolri untuk BG.
Bukankah BG yang sudah berada dalam status tersangka, andai SK pengangkatan tetap diterbitkan oleh Presiden, SK itu akan tergolong sebagai ketetapan yang tidak memenuhi asas kepatutan, lagi asas kepentingan umum? Inilah sekelumit “taktik” Presiden Jokowi untuk “cuci tangan” dari “bola liar calon kapolri” yang tersandung rasuah. Semua itu dilakukan dengan harapan, citra dan kepercayaan para Jokowi lover’s tetap dalam satu komando. *