Mengawasi (Hakim) Praperadilan

Lembaga praperadilan sejatinya merupakan ruang “koreksi” bagi tindakan-tindakan yang telah dilakukan penegak hukum. Pada tahap praadjudikasi penegak hukum dimungkinkan melakukan upaya mengekam kebebasan seseorang. Melanggar hak asasi manusia akan kemerdekaan, seperti penangkapan dan penahanan. Sehingga lewat sidang praperadilan tersangka, keluarga atau kuasanya dapat menguji hal tersebut.

KPK sebagai lembaga penegak hukum yang khusus dibentuk untuk memberantas tindak pidana korupsi sering juga dipraperadilankan. Contohnya gugatan praperadilan yang diajukan delapan politisi PDI Perjuangan yakni Max Moein, Jeffrey Tongas Lumban, Soekanto Pranoto, M Iqbal, Matheos Pormes, Engelina H Pattiasina dan Ni Luh Maryani Tirtasari. Mereka merupakan anggota parlemen periode 1999-2004 yang telah ditetapkan sebagai tersangka pemberian cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Perkara korupsi lainnya, kala Hakim Syarifuddin mengajukan gugatan praperadilan terkait penyitaan sejumlah uang yang bukan termasuk suap dari curator PT. Skycamping Indonesia. Meski akhirnya terbukti di pengadilan tipikor menerima suap sebesar Rp 250 Juta. Artinya KPK bukanlah lembaga penegak hukum yang takut dipraperadilankan selama termasuk dalam alasan-alasan praperadilan.

Sumber Gambar: swararakyat.com

Sumber Gambar: swararakyat.com

Dasar Argumentasi

Praperadilan diatur dalam sejumlah pasal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutus tentang; Pertama, sah atau tidaknya penagkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Kedua, Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (vide Pasal 77 KUHAP).

Kemudian penjelasan pasalnya menegaskan yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.

Sehubungan dengan langkah kuasa hukum tersangka Budi Gunawan mempraperadilankan pimpinan KPK atas dasar penetapan tersangka rekening gendut. Maka berdasarkan Pasal 77 KUHAP alasan penetapan tersangka tidaklah termasuk dalam kewenangan sidang praperadilan. Apalagi mempersoalkan alat-alat bukti, karena pemeriksaan alat bukti itu sudah masuk pemeriksaan perkara di muka pengadilan.

Sedangkan pernyataan kuasa hukumnya bahwa Budi Gunawan telah diperiksa Bareskrim Polri dan dinyatakan “clear” rekening gendut. Sehingga penyidik KPK tidak berwenang lagi, mendasarkan pada asas Ne Bis In Idem. Hemat Penulis sangatlah keliru, karena asas ne bis in idem yang terdapat di dalam Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh Hakim terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Pertanyaannya apakah Budi Gunawan untuk kasus rekening gendut pernah di sidangkan nan putusannya telah berkekuatan hukum tetap?

Akan tetapi, walaupun dasar gugatan praperadilan terhitung lemah. Putusan tetap berada ditangan hakim. Sebab itu saya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengawasi hakim praperadilan. Alasannya disatu sisi, rekam jejak hakim tunggal sidang praperadilan Sarpin Rizaldi pernah dilaporkan 8 kali ke lembaga Komisi Yudisial. Sejumlah putusan kontroversial juga mewarnai perjalanan karirnya salah satu kasus mencolok pada tahun 2009 pernah membebaskan terdakwa Camat Ciracas M Iwan dalam dugaan korupsi Rp 17,9 miliar.

Di lain sisi, bila Sarpin memenangkan tersangka Budi Gunawan secara otomatis seluruh yang ditetapkan tersangka oleh KPK akan mempermasalahkan status tersangkanya. Celah hukum yang akan dimanfaatkan untuk mengetahui alat-alat bukti penyidik KPK dan memperlambat proses-proses hukum yang sementara berjalan.

Darurat KPK

Selain memperadilankan KPK, ternyata sejumlah laporan satu persatu masuk ke Bareskrim Polri serta gelombang serangan lainnya. Menariknya hampir bersamaan muncul pasca penetapan tersangka Budi Gunawan. Pertama, penetapan tersangka pimpinan antirasuah Bambang Widjojanto karena diduga mengarahkan saksi memberi keterangan palsu di sidang pengadilan Mahkamah Konstitusi. Memang betul seorang saksi bernama Ratna Mutiara pernah divonis terbukti memberikan keterangan palsu, hanya saja ia mengaku tidak pernah diarahkan BW.

Kedua, laporan terhadap Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja. Mereka diduga menerima gratifikasi saat masih menjabat Kejati Jawa Timur serta tuduhan memalsukan akta perusahan untuk mengambil saham secara ilegal.

Terakhir, serangan bertubi-tubi kepada ketua KPK Abraham Samad. Selain laporan yang dilakukan Hasto, dan dugaan pemalsuan dokumen. Belakangan muncul kesaksian mengejutkan Zaenal Tahir. Dalam jumpa pers menegaskan bahwa dialah yang mengambil foto mesra AS dengan seorang perempuan di Hotel Clarion pada tanggal 3 atau 4 februari 2007 dengan menggunakan Nokia seri E90.

Meskipun kesaksian Zaenal Tahir kemudian sangat mencurigakan nan beralasan. HP yang digunakan ternyata baru rilis di Barcelona Spanyol pada tanggal 11 Februari 2007. Itu pun baru dirilis belum diperjual belikan di belahan dunia manapun. Nanti baru dijual resmi di Indonesia pada bulan Juni 2007 (Tribunnews,4/2).

Terlepas dari keganjilan-keganjilan, wajar bila masyarakat mempertanyakan kok bisa lolos dalam fit and propert tes di komisi III DPR untuk pimpinan KPK jilid III. Karena yang dituduhkan adalah kasus-kasus sebelum menjabat pimpinan KPK. Ataukah semua tuduhan demi menggerus kepercayaan publik. Agar tercipta darurat KPK yang berujung pada hilangkannya kesempatan membuka terang-benderang kasus BLBI dan semakin menggilanya laku korupsi di tanah air.

***Save KPK Demi Indonesia

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...