Hak Asuh Ibu
NEGARAHUKUM.COM___Apakah Pasal 105 kompilasi Hukum Islam yang mengatur masalah hak asuh ibu oleh anak yang dibawah umur (mumayyis) itu salah ? jawabannya, dalam kacamata psikologi tidaklah salah, juga tidak benar. Karena itulah ilmu empirik yang memang sifatnya bebas nilai. Apalagi psikologi tidak berbicara dalam wilayah kepastian hukum, tidak berbicara tentang adil-tidaknya aturan itu. Bahkan pembahasan psikologi selalu berbicara dalam kemungkinan saja (posible/ imposible). Maka prediksi yang digunakan ibarat ramalan cuaca dari gejala-gejala yang diamatinya.
Senada dengan apa yang dikemukakan oleh oleh Mark Conztanzo bahwa psikologi tertarik untuk menemukan kebenaran sedangkan sistem hukum lebih tertarik untuk memberikan keadilan. Jadi keterkaitan psikologi sebagai alat bantu dalam hukum adalah berperan memberikan penjelasan yang lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia, karena tujuan hukum adalah mengatur perilaku manusia.
Nampaknya di Negara manapun di dunia ini tidak ada yang membantah kalau terjadi perceraian dalam rumah tangga. Maka jawaban dari siapa yang kompeten untuk mengasuh anak pasti adalah hak asuh Ibu. Bahkan Negara liberal yang sangat individualis-pun. Berdasarkan berbagai riset psikologi membenarkan jika anak yang berada di bawah umur (tahun-tahun rentan memang selayaknya hak asuh ibu saja yang memeliharanya).
Merunut ke belakang dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh pakar psikologi menguraikan bahwa hak asuh ibu lah yang paling memegang peranan penting di saat anak sedang dilahirkan hingga menanjak usia remaja. Dari masa pencarian identitas (self identity) hingga masuk ke fase pertumbuhan usia dewasa (yakni sang anak dapat dikatakan mandiri/ tanpa bergantung total dari pelayanan kebutuhan fisik/ afektif, biologis dan kognitif dari kedua orang tuanya).
Doktrin hak asuh ibuan itu pertama kali dituangkan oleh tokoh psikoanalisis yang bernama Sigmun Freud. Pikirannya yang paling penting dan masih berpengaruh kuat hingga sekarang adalah teorinya tentang perkembangan sosial seorang sangat ditentukan oleh pengalaman awal pada masa kanak-kanaknya. Menurut Freud, tingkat pemuasan pada masa kanak-kanaknya akan mempengaruhi tingkah laku seseorang dikemudian hari.
Teori yang mengemukakan bahwa hak asuh ibu yang layak mengasuh sang anak jika suatu waktu terjadi perceraian. Didasarkan pada teori Oedipus Complex Freud. Dianalisis secara biologis, bahwa sang ibulah yang merasakan masa-masa kehamilan, masa pertumbuhan hormon di saat fase kehamilan. Sedangkan sang ayah justru tidak merasakan apa-apa dari awal hingga lahirnya sang anak tersebut.
Oleh karena itu kedekatan emosional terhadap sang anak juga sudah pasti lebih dirasakan sang ibu. Ibulah yang menyusui sang bayi, menyuapi makanan, menggantikan popok, mengerti apa yang dibutuhkan si bayi jika ia menangis. Sementara ayah lebih banyak mengurusi pekerjaan luar, berurusan dengan lingkungan kantor kerja, maka waktu untuk bersama dengan anak-anaknya sangat minim.
Senada dengan Bowlby dalam The Nature Of Childs Tie To His Mother juga mengemukakan alasan sehingga hak asuh ibu layak untuk dipertahankan beralasan: bahwa sikap ketergantungan anak-anak pada ibu terbentuk karena ibu peka menanggapi setiap aktivitas bayi seperti menangis, senyum, menyusu dan manja. Ibu adalah orang yang pertama dan utama yang menjalin ikatan batin dan emosional dengan anak. Hanya ibulah yang dapat dengan cepat mengerti dan mampu menanggapi setiap gerak-gerik bayi. Ibu segera tahu kalau anaknya hendak menangis, senyum atau lapar. Bahkan Bowlby pernah mengkritik lembaga rumah yatim piatu yang dianggapnya sebagai tempat yang tidak menumbuhkan perilaku sosial dan emosional pada anak, terutama karena anak-anak di tempat-tempat itu tidak mengalami suasana keibuan. Pandangan Bowlby ini juga disambut hangat oleh beberapa ahli psikologi lain seperti Rene Spitz dan Margaret Ribble tentang hak asuh ibu untuk anak.
Teori yang dimukakan kedua tokoh psikologi tersebut di atas tentang hak asuh ibu banyak juga diperkuat dengan riset laboratorium. Oleh psikologi menamakannya sebagai psikologi eksperimental. Yakni suatu metode dengan pengendalian dan pengaturan yang cermat ke dalam suatu laboratorium, dimana kondisi-kondisi dapat dimanipulasi dengan menggunakan peralatan tertentu, misalnya bagaimana mengangkat keabsahan dengan menggunakan alat bukti, pengabsahan dari hasil riset yang cermat dan prosedural.
Riset eksperimental yang dapat menjadi argumentasi kuat oleh kalangan psikolog sehingga doktrin keibuan dapat dijadikan dasar hak asuh ibudapat diamati pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Ivor De Vore yang meneliti bagaimana Babon jantan hanya sedikit tertarik kepada anaknya. Babon ini hanya berperan melindungi anak dari ancaman bahaya dan menjaga sistuasi kemanan secara keseluruhan. Begitupula jenis kera lain memperlihatkan gambaran yang sama. Harry Harlow dan koleganya mengadakan penelitian dengan mengamati bagaimana reaksi kera jantan dan kera betina terhadap anaknya dalam percobaan laboratorium. Hasilnya begitu jelas, ada perbedaan sikap diantara keduanya. Kera Betina empat kali lebih sering bersama anaknya dari pada kera jantan, dan kera jantan sepuluh kali lebih sering menjauhi anaknya dari pada kera betina. Bukti ini menunjukan jenis kera jantan itu kurang terlibat dalam mengasuh anak dibandingkan kera jenis betina.
Selain pertimbangan psikologis dan biologis yang dijadikan alasan sehingga hak asuh ibu oleh anak anak lebih banyak diberikan kepada ibu. Juga didukung oleh doktrin tender years (masa anak-anak dalam tahun rentan). Sebelumnya Doktrin tender years jauh lebih awal didahului dengan doktrin yang disebut property rights yang berkembang di dalam hukum Inggris (Braat: 1979). Doktrin ini beranggapan bahwa anak merupakan properti (Ackerman: 1999). Pada penerapannya, ketika ada persengketaan hak asuh anak, ayah dipandang sebagai pihak yang paling berhak untuk mendapatkan hak asuh anak. Pertimbangannya, karena laki-laki merupakan pihak yang dianggap paling berhak bagi properti/ hak kepemilikan, maka hak asuh jatuh di tangan ayah.
Seiring Perkembangnya zaman, pada saat era revolusi Industri muncul paradigma yang disebut sebagai tender years.[7] Berbeda dengan doktrin property rights, kali ini ayah tidak lagi dianggap sebagai pihak yang paling berhak untuk mendapatkan hak asuh anak. Ayah dipandang sebagai orang tua yang kurang mampu memenuhi kebutuhan anak yang usianya masih berada pada tahun-tahun peka tersebut (Ackerman: 1999). Preferensi hak asuh pun bergeser menjadi hak ibu. Doktrin tender years semain kuat pada akhir abad kesembilan belas menjadi standar utama untuk memutuskan hak asuh anak. Doktrin ini diartikulasikan pada tahun 1989 di dalam kasus People V, Hickey : “bayi yang berada dalam tahun-tahun yang membutuhkan kelembutan secara umum akan tinggal dengan ibunya, selama tidak ada keberatan terhadap ibu, bahkan meskipun si ayah tidak bersalah, karena ketidakmampuan untuk memberikan kelembutan secara alamiah dibutuhkan bayi, yang hanya dapat diberikan oleh ibunya , dan aturan ini akan berlaku lebih keras di dalam kasus anak perempuan dengan umur yang lebih lanjut.”
Selain itu, doktrin pengasuhan ibu juga dapat diamati pada kegiatan hakim (Inggris dan Amerika) mencari argumentasi hukum penatalaksanaan hak asuh terhadap ibu dengan berpedoman pada yang disebut Preferred Custody Arrangement (Preferensi Penatalaksanaan Hak Asuh). Preferensi ini mengatakan bahwa hak pengasuhan primer wajib diutamakan kecuali jika tidak dapat dibuktikan bahwa pengaturan semacam itu tidak cocok dengan kepentingan terbaik sang anak (Cohran: 1991). Primary Caretaker Preference (Preferensi Pengasuhan Primer) menyatakan bahwa pengadilan harus memberikan hak asuh primer kepada orang tua yang menjadi penanggung jawab primer dalam proses membesarkan anaka mereka sebelum terjadi perceraian. Pengadilan menyatakan bahwa kontinuitas pengasuhan dan kehangatan, konsistensi dan kontinuitas hubungan primer penting bagi kesejahteraan anak (Cochran: 1991).
Preferensi pengasuhan primer sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan alasan psikologis dan biologis jika ditelaah metode yang digunakannya. Karena yang menjadi pertimbangan penetuan hak asuh juga didasarkan, kepada siapa yang lebih banyak memerhatikan kemauan si anak, siapa pengasuh utamanya, siapa yang menyiapkan makanan, mencucikan pakaiannya, memandikan, dan mendandani anaknya, menidurkan dan membangunkan anaknya di pagi hari. Jelas dari sudut psikologis dan kecenderungan sebagian besar keluarga nyata yang berperan dalam posisi tersebut adalah pihak ibu. Bahkan diperkuat dengan riset Hetherington, Bridges, Insabella (1998) di Negara bagian Amerika ternyata satandar pengasuhan primer lebih banyak juga memberikan hak asuh kepada ibu di 84 % kasus.
Dalam Kompilasi Hukum Islam-pun Pasal 105 yang menetapkan Hak Asuh Ibu berarti dapat dikatakan bahwa KHI juga menganut doktrin tender years. Bukanlah suatu kebetulan jika Kompilasi Hukum Islam menganut doktrin tersebut. Oleh karena rohnya aturan tersebut dari perdebatan, konsorsium, fatwa para kalangan agama yang dikonstatir ke dalam undang-undang tersebut. Salah satu yang sering dijadikan alasan sehingga anak yang masih dibawah umur adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr : Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetek sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw: “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”
Meskipun dalam hukum positif menganut doktrin tender years. Terhadap penentuan hak asuh anak yang di bawah umur. Namun yang menjadi dasar dari siapa yang berhak melakukan hak pengasuhan tetap harus mengutamakan kepentingan terbaik pada sang anak.
Doktrin tender years juga sudah kian bergeser hingga saat ini. Jika dulunya hak kedua orang tua yang diutamakan maka saat ini bergeser ke hak anak. Karena itu, pertimbangan psikologi dan alasan biologis yang sudah mematok hak asuh mestinya ada pada ibu. Daya keberlakuannya tidaklah mutlak mengikat hakim jika menangani kasus perebutan hak asuh. Apalagi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana dalam undang-undang tersebut hak tumbuh kembang anak yang paling penting untuk diutamakan. Dengan memakai asas hukum lex specialis derogate legi generally dan lex posterior derogate legi priori tentunya undang-undang perlindungan anak mestinya lebih diutamakan oleh hakim.