Esatafet Hukum di Tangan PERADI
Pekan ini, Makassar akan bertabur bintang Advokat yang wajahnya sering menghiasi media nasional. Bukan hanya itu, sejumlah perwakilan Advokat dari seluruh penjuru nusantara akan berbaur dalam satu ruang berjudul “Musyawarah Nasional Ke-2 PERADI.”
Wadah tunggal Advokat bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) akan memilih, Siapakah pelanjut tahta Otto Hasibuan memakai mahkota Ketua Umum? Para Lawyers ini akan memadu konsep, menggagas ide, atau mungkin “menabur tunai” untuk memperebutkan suara yang kini dipegang oleh pemegang mandat dari tiap pimpinan cabang PERADI. Kecuali ada arus kuat yang mengubah haluan menjadi one man, one vote.
Momentum rutin ini akan selalu dijadikan asa baru agar lembaga ini mampu berdiri dan bergandengan tangan bersama aparat penegak hukum lainnya membangun bangsa. Organisasi profesi yang bergelar “officium nobile” ini harus mampu menghembuskan angin segar bagi perbaikan dan pembaruan sistem hukum Indonesia.
Tak pelak, PERADI harus berbenah diri mengaudit peran organisasi dan mengevaluasi pengabdian kepada masyarakat dan negara. Jika demikian maka PERADI butuh revitalisasi peran dan tongkat estafet tanggung jawab moral, tanggung jawab hukum yang harus dimiliki oleh calon empunya; mahkota PERADI.
Penguatan Internal
PERADI bukanlah “main state organ” atau “auxiliry state organ”, sehingga bebas dari intervensi negara. PERADI adalah organ mandiri yang rodanya diputar oleh anggota dan pengurusnya. Karenanya, secara kelembagaan PERADI harus kuat sebab dia tidak ditopang oleh anggaran negara.
Berkaitan dengan penguatan internal ini maka beberapa hal yang dapat dibenahi. Pertama, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI akan berdiri tegak jika tokoh-tokoh dan pengurus nasional berhasil membangun rekonsiliasi antara mereka. Walau kadang tak terlihat namun dapat dirasakan perpecahan pengurus nasional karena ada aroma ego “organisasi asal” pendiri PERADI dan persaingan eksistensi, akhirnya pecat-memecat terjadi secara halus. Sempalan organisasi pun terbentuk menjadi benalu menggerogoti kekokohan PERADI sebagai wadah tunggal. Bagi Advokat daerah, DPN pun menjadi “one man show” meninggalkan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Santer terdengar isu, DPC tertatih memutar roda organisasi karena tidak ada share pembiayaan dari DPN
Kedua,penguatan database pengurus pusat maupun daerah, database identitas, administrasi dan kantor hukum anggota. Langkah ini harus dalam bentuk Elektronic (E- Database) yang terkoneksi secara online ke semua aparat penegak hukum. Sebagian Advokat sudah lelah berdebat dengan pihak penegak hukum lainnya, karena kartu dan Berita Acara Sumpah (BAS) asli harus diperlihatkan. Adalah hal yang memberatkan jika BAS harus selalu dibawa aslinya. E-Database online juga mampu mendeteksi kartu advokat imitasi yang dibuat oleh pihak tidak bertanggung jawab. Demikian pula calon Advokat akan lebih mudah menemukan tempat magang hanya dengan membuka E-Database.
Ketiga, penguatan hak imunitas, hak ini sesungguhnya sudah tertuang dalam Pasal 16 UU No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang menegaskan “Advokat tidak dapat dituntut secara pidana maupun secara perdata ketika menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di persidangan.” Dalam praktik, ketentuan ini belumlah melindungi Advokat secara maksimal. Kasus Bambang Widjojanto (BW) dan Ayu Anggraini (Makassar) menjadi deretan contoh betapa Advokat dapat “diciduk” kapan saja. MoU POLRI dan PERADI yang mengharuskan “restu” pengurus PERADI bagi Advokat yang akan diperiksa di kepolisian banyak diabaikan.
Maka hak imunitas ini harusnya diperkuat melalui penambahan ketentuan yang menyatakan Advokat tidak dapat disidik oleh Polisi tanpa izin dari PERADI, jika berkaitan dengan perbuatan menjalankan profesinya. Ketentuan ini sama dengan Jaksa yang tidak dapat disidik tanpa izin dari Jaksa Agung jikalau berkaitan dengan perbuatan menjalankan tugasnya. Namun seyogianya perlindungan Advokat melalui hak imunitas ini harus berbanding lurus dengan profesionalisme dan penegakan kode etik.

sumber Gambar: 1.wp.com
Pengabdian Eksternal
Ada stereotype yang berkembang pada sebagian masyarakat kita menganggap Advokat adalah pekerjaan yang dekat dengan keculasan dan mafia. Stereotype ini meruntuhkan label officium nobile (pekerjaan mulia) Advokat. Dikatakan mulia karena memperjuangkan kebenaran dan keadilan masyarakat. Mungkin stereotype itu muncul karena masyarakat sering melihat Advokat berdiri pada mereka yang berduit dan menjadi tembok bagi penguasa otoriter menindas masyarakat kecil. Maka menjadi tugas bagi pelanjut tahta, Otto Hasibuan untuk menyebarkan citra positif eksistensi Advokat.
Sesungguhnya ada hak masyarakat tidak mampu yang melekat dalam kewajiban Advokat. Hak itu oleh Undang-Undang dinamakan bantuan hukum. Pasal 22 Ayat 1 UU No 18 Tahun 2003 menegaskan “Advokat harus memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.” Pemilik tahta PERADI harus membuat kebijakan yang terstruktur, sistematis dan massif agar bantuan hukum ini dapat diakses oleh setiap orang yang tidak mampu. Image bahwa Advokat hanya milik orang kaya harus dilunturkan oleh massifikasi bantuan hukum.
PERADI pun harus menghembuskan nafasnya dalam setiap upaya perbaikan dan pambaruan sistem hukum. Setidaknya ada 3 hal yang dapat dilakukan berkenaan dengan hal ini. Pertama, PERADI harus memberikan sumbangsi pemikiran dalam setiap penyusunan Undang-Undang, Kedua, PERADI harus menjalin kerja sama dengan Fakultas Hukum dalam bentuk kuliah-kuliah umum atau sejenisnya untuk mendobrak pemikiran law in book para Dosen dengan pengalaman law in action agar pemahaman hukum Mahasiswa lebih komperhensif. Ketiga, PERADI harus membangun sinergitas dengan penegak hukum lainnya ke arah pembaruan. Misalnya MoU dengan pengadilan tentang sistem penjadwalan sidang agar persidangan tidak berlarut-larut dan bertumpuk.
Akhirnya, impian-impian di atas akan digantungkan pada pucuk pimpinan PERADI yang baru. Kepadanyalah asa disematkan untuk mengembalikan marwah Advokat sebagai officium nobile dan menancapkan PERADI pada pori-pori jalan lurus penegakan hukum Indonesia. Selamat Bermusyawarah, tegakkan hukum meski langit akan runtuh.*
Tulisan ini merupakan Refleksi Munas Ke-2 PERADI di Kota Makassar, Telah Muat di Harian Fajar Makassar, 26 Maret 2015