KPK, Belajarlah dari Kasus IAS!
Air mata Ilham Arief Sirajuddin (IAS) tak terbendung mendengar Putusan Praperadilan Hakim PN Jakarta Selatan. Pengadilan mengabulkan sebagian permohonan Praperadilan IAS melawan KPK. Tentu tangis itu adalah air mata bahagia, air mata pemenuhan rasa keadilan.
Masih segar diingatan publik, tepat dihari terakhir jabatannya sebagai Walikota Makassar, KPK meletakkan mahkota tersangka kasus korupsi PDAM kepada IAS. Serah terima jabatan dan pelantikan pun berubah menjadi arena “haru” bagi IAS. Saat itu ribuan pasang mata menyaksikan bagaimana IAS tak mampu menahan deras air matanya, entah karena berakhir jabatannya sebagai walikota atau air mata itu karena kerja keras dan pengabdiannya selama 10 tahun menjadi Walikota Makassar dibalas dengan status tersangka oleh KPK.
Selama setahun IAS harus menghadapi asumsi negatif publik akibat belenggu status tersangka tanpa penahanan. Status tersangka kadang memunculkan cibiran dan kehilangan “trust” dari rakyat yang pernah memujanya. Namun IAS tetap tegar menghadapi persepsi publik dengan tameng kegiatan-kegiatan sosialnya. Hari penantian pun tiba, IAS menjadi orang kedua yang mampu melepaskan belenggu rantai tersangka KPK setelah Budi Gunawan (BG).
Implikasi Hukum
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014, Maka Pasal 77 KUHAP harus ditafsir bahwa penetapan tersangka sudah menjadi obyek praperadilan. Dalam putusan MK tersebut juga menitahkan tafsir bahwa penetapan tersangka harus dengan dua alat bukti sah (bewijs minimum) yang tertera dalam Pasal 184 KUHAP ditambah dengan keterangan calon tersangka. Melalui pijakan hukum inilah IAS percaya diri menantang KPK di meja hijau praperadilan. IAS yakin penetapan dirinya sebagai tersangka korupsi PDAM tidak disertai dengan dua alat bukti.
Alhasil, pengadilan menerima penetapan tersangka IAS sebagai obyek praperadilan dan dalam proses persidangan praperadilan, KPK tidak mampu menunjukkan kepada hakim mengenai dua alat bukti yang dijadikan dasar menetapkan IAS sebagai tersangka. Bahkan hasil audit kerugian negara dari BPK tidak dapat diperlihatkan oleh KPK. Sehingga beralasan hukum jika putusan hakim menyatakan bahwa penetapan IAS sebagai tersangka tidaklah sah.
Sikap KPK yang tidak mampu menunjukkan dua alat bukti akan menimbulkan kegusaran publik, yaitu bagaimana mungkin lembaga sekelas KPK dan banyak dipuja sebagai “malaikat” anti korupsi tidak mampu menunjukkan dua alat bukti dalam menetapkan IAS sebagai tersangka. Kecurigaan publik mengenai penetapan IAS sebagai tersangka bernuansa politis kini terlegitimasi oleh putusan praperadilan ini.
Suka atau tidak, secara hukum selama hampir setahun KPK dianggap telah menzhalimi IAS dengan status tersangka, padahal KPK tidak memiliki dua alat bukti yang sah. Melalui putusan praperadilan ini, hukum menganggap KPK telah merampas hak-hak yang melekat dalam diri IAS, hak atas fair trial, due procces of law, hak untuk di segerakan kasusnya.
Putusan Praperadilan ini setidaknya memiliki dua Implikasi hukum, Pertama, IAS kini menjadi orang merdeka yang tidak tersangkaut lagi dengan kasus korupsi PDAM. Nama baiknya yang terganggu karena status tersangka harus dipulihkan seperti semula sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Kedua, Jika KPK tetap berkeyakinan bahwa dapat menemukan atau memiliki dua alat bukti atas kasus IAS maka KPK dapat melakukan penyidikan ulang dari awal terhadap kasus ini. Putusan Praperadilan hanya menyatakan penetapan IAS sebagai tersangka tidak sah, sehingga implikasi hukumnya tidak menghentikan pengusutan kasus korupsi PDAM. Apabila KPK sudah memiliki dua alat bukti ditambah keterangan IAS yang mampu menunjukkan keterlibatan IAS dalam kasus Korupsi PDAM, IAS dapat kembali ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka.
Belajar dari Kasus IAS
Atas putusan praperadilan kemarin, KPK harus belajar dari kasus IAS ini, KPK harus berbenah dan mengubah strategi. Bahwa dari kasus tersebut menunjukkan bahwa secara hukum KPK belum menyiapkan dua alat bukti yang sah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. KPK selalu berdalih bahwa lambatnya pelimpahan perkara ke pengadilan karena masih merampungkan berkas perkaranya. Pola menetapkan tersangka tapi berkas alat bukti belum tuntas harus diubah. Seharusnya KPK merampungkan terlebih dahulu berkas dan alat buktinya lalu menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Berkas dan alat bukti yang sudah rampung dapat menangkis derasnya serangan praperadilan dari para tersangka korupsi. Teknisnya, jika tersangka mengajukan permohonan praperadilan maka KPK segera melimpahkan perkaranya ke pengadilan sehingga praperadilan tersangka menjadi gugur sendiri. Hal ini diatur dalam Pasal 82 poin (d) KUHAP yang menegaskan “ dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur.”
Kesimpulannya, berkas perkara dan alat bukti yang sudah rampung akan lebih memudahkan KPK untuk menghadapi tersangka di forum praperadilan maupun Pengadilan Tipikor. Lebih dari itu, berkas dan alat bukti yang rampung akan menghindari kezhaliman terhadap diri tersangka.
KPK adalah tumpuan masyarakat dalam memberantas korupsi, dia tidak boleh lelah dan tidak boleh kalah. Namun dia tetap harus professional dan menghargai hak konstitusional setiap individu. Saatnya KPK mengubah strategi, pola lama harus ditinggalkan karena titik lemah pola itu sudah diketahui oleh para calon atau tersangka korupsi.
Tindakan KPK yang tidak professional hanya akan menyisakan luka dan pelanggaran hak bagi tersangka yang tidak mungkin bisa dipulihkan kembali bahkan oleh KPK sendiri.
Siapa yang mampu mengembalikan air mata dan rasa sakit IAS selama setahun menghadapi asumsi negatif publik dari statusnya sebagai tersangka padahal ternyata tidak ada alat bukti penetapannya. Unprofessional conduct KPK berarti bentuk penzhaliman, karenanya KPK harus berubah menjadi lebih professional lagi.*
ARTIKEL INI SUDAH MUAT DI HARIAN FAJAR MAKASSAR, 14 MEI 2015