Nasib Calon Kepala Daerah Terpidana

RIAK Pilkada serentak 2018, kini mulai memanaskan persaingan suhu dari berbagi lini. Spanduk dan umbul-umbul dari setiap bakal calon kepala daerah hampir memenuhi semua sudut kota dan pinggir jalan raya.

Namun dibalik perhelatan akbar dan ajang tabur citra itu, bukan menjadi ukuran kalau bakal calon kepala daerah akan melenggang mulus dalam proses pendaftaran dan verifikasi penyelenggara pemilihan. Sedikit tidaknya, kasus di Pilkada  lalu, bakal calon kepala daerah yang berstatus terpidana, sempat dipermasalahkan hingga menyita perhatian KPU, bersama dengan DPR.

Jalan terjal pun kemudian ditempuh KPU dengan menetapkan PKPU Nomor 9 Tahun 2016 yang membuka kesempatan khusus kepada bakal calon kepala daerah yang berstatus terpidana percobaan, tetap memenuhi syarat sebagai calon  in qasu diumumkan status diri sebagai terpidana percobaan.

Kendatipun penetapan PKPU tersebut jauh di atas persimpangan asas hukum yang berlaku. Asas lex superior derogat legi generale tidak menjadi soal dikebiri, PKPU salah dalam tatanan, namun tetap menjadi pedoman dalam mengantarkan  calon kepala daerah yang berstatus terpidana percobaan meraup kemenangan, dalam bayang-bayang rakyat berdaulat.

Sumber Gambar: aws-dist.brta.in

Sumber Gambar: aws-dist.brta.in

Dapat Ditebak

Dan pasca diketoknya palu godam Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 71/PUU-XIV/2016 kemarin, Terang-benderanglah sudah, nasib calon kepala daerah berstatus terpidana percobaan di Pilkada 2018 nanti.

Putusan Mk tersebut menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g undang-undang Pemilihan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa ‘tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dimaknai tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.”

Jadi, hanyalah bakal calon yang bersatus terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah. Sementara bagi mereka yang berstatus terpidana percobaan, tidak terkualifikasi dalam syarat pembatasan dari undang-undang tersebut.

Jauh ke belakang dengan menelusuri centang dan contreng perubahan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, putusan MK tersebut tidaklah mengejutkan amat-amat. Bagi seorang pembaca teks undang-undang secara kompherensif, bukan perkara sulit untuk menebak  putusan MK itu, sebab di undang-undang pemilihan sebelumnya, memang syarat pembatasan calon kepala daerah hanya ditujukan bagi terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Siapa yang salah dibalik itu semua? Siapa lagi kalau bukan DPR dalam fungsi legislasinya, saat merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Tiba-tiba, tidak ada angin, tidak ada hujan, norma hukum atas calon kepala daerah bersatus terpidana berubah sembilan puluh derajat.

Syarat pembatasan yang awalnya hanya untuk terpidana yang diancam pidana penjara lima tahun, lalu berubah, semua dipukul rata yang berstatus terpidana tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah.

Toh bukan publik yang pusing tujuh keliling atas inkonsistensi pembaharuan undang-undang itu. Siapa yang menanam dia pula yang menuainya. Angggota DPR yang tiada lain perhimpunan antar fraksi dan keanggotaan partai politik. Hajatannya tak hanya berhenti pada fungsi legislasi, masih ada hajatan politik pemilihan kepala daerah.

Terpaksa, dan itu sudah jalan yang harus dilalui, DPR melakukan pressure ke KPU agar mengakomodasi calon yang berstatus terpidana percobaan. Terbitlah PKPU Nomor 9 Tahun 2016 yang memutarbalikkan piramida hukum perundang-undangan. Kaki menghadap ke atas, kepala menghadap ke bawah, PKPU Nomor 9 Tahun 2016 jauh lebih superior dari pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, seperti jauh lebih superiornya legislatif dari pada penyelenggara pemilihan.

Putusan MK

Nasib calon bersatus terpidana sudah jelas. Putusan pengujian Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, hanya mengunci rapat hak pilih pasif (righ to be elected) bagi calon berstatus terpidana yang diancam pidana penjara lima tahun. Selebihnya, diberikan semua jaminan konstitusional bagi setiap warga negara, bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

Benarkah pasca putusan MK tersebut, semua masalah akan berakhir dan usai sampai di sini? Jawabannya, tidak sama sekali. Hukum dan realitasnya tidak pernah bersatu padu dalam suatu kepastian. Selalu saja terdapat kekosongan hukum, kekaburan hukum, hingga pada konflik antar kaidah hukum.

Lagi dan lagi, putusan MK masih menyisahkan kekaburan hukum mengenai syarat konstitusional calon kepala daerah. Simaklah dalil-dalil keramat MK dalam berbagai putusan-putusan sebelumnya, “dikecualikan bagi mantan terpidana yang mengumumkan status dirinya ke publik sebagai mantan terpidana.”

Pengecualian di atas pengecualian. Dilarang calon kepala daerah berstatus terpidana yang diancam pidana penjara lima tahun, tetapi dikecualikan bagi mantan terpidana yang mengumumkan status dirinya sebagai mantan terpidana. Baru dikecualikan lagi, untuk mantan terpidana yang pernah melakukan tindak pidana makar dan terorisme, meskipun mengumumkan dirinya sebagai mantan terpidana, tidak ada pintu terbuka untuk terpenuhi sebagai calon kepala daerah.

Mahkamah Konstitusi masih lalai, atau entah memang tidak tahu. Berkali-kali pengujian ketentuan atas calon berstatus terpidana, namun tidak pernah diterangkan dengan jelas suatu perbedaan prinsipil antara terpidana dengan narapidana. Dipertimbangkan dan diamarkan berkali-kali: “dikecualikan bagi mantan terpidana yang mengumumkan status dirinya ke publik sebagai mantan terpidana.” Namun dilupakan tatanan kalimat atas kaidah hukum tersebut, kalau mengandung kekaburan ketika berhadapan dengan kasus konkret.

Seharusnya di kalimat itu, tertera frasa “mantan narapidana,” sehingga kalau terdapat fakta hukum in concreto, calon yang berstatus bebas bersyarat, maka suatu kepantasan jika belum layak ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah.

Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas. Demikianlah perbedaan yuridisnya.*

Artikel ini juga muat di Harian Tribun Timur, 25 Juli 2017

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...