Syarat Pembelaan Terpaksa

Kaisaruddin Kamaruddin: Praktisi Hukum Makassar

Istilah NOODWEER terdiri atas kata “NOOD” yang berarti “DARURAT”, dan kata “WEER” berarti “PEMBELAAN”. Jadi secara harafiah perkataan “NOODWEER” itu dapat diartikan sebagai “PEMBELAAN YANG DILAKUKAN DALAM KEADAAN DARURAT.”

Noodweer sebenarnya merupakan sebuah perkataan yang telah dipergunakan untuk menyebut lembaga pembelaan yang perlu dilakukan terhadap serangan yang bersifat seketika dan yang bersifat melawan hukum, yang dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut juga dengan istilah NOTWEHR, LEGITIM DEFENSE, atau RECHTVERDEDIGING ataupun MODERAMEN INCULPATAE TUTELAE.
Pembelaan darurat (NOODWEER) merupakan salah satu alasan yang menghapuskan pemidanaan (STRAFUITSLUITINGSGRONDEN).

Satochid Kartanegara (tt:434), memberikan pengertian ALASAN ATAU DASAR YANG MENGHAPUSKAN PEMIDANAAN (STRAFUITSLUITINGSGRONDEN) yaitu hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan bahwa seseorang yang telah melakukan sesuatu perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (jadi perbuatan yang berupa delik) tidak dapat dihukum. Salah satunya adalah PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER).

Ketentuan yang mengatur mengenai pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat (Noodweer) dapat dijumpai dalam Pasal 49 (1) KUHP sebagai berikut:
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak atau mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum (R. Soesilo, 1995).”

Pembelaan yang bisa dilakukan menurut Pasal 49 (1) KUHP adalah adanya SERANGAN YANG BERSIFAT MELAWAN HUKUM YANG BERSIFAT SEKETIKA terhadap DIRI SENDIRI ATAU ORANG LAIN, KEHORMATAN SENDIRI ATAU KEHORMATAN ORANG LAIN, dan terhadap HARTA BENDA SENDIRI ATAU HARTA BENDA ORANG LAIN.

Syarat Noodweer itu adalah: Syarat yang harus dipenuhi “serangannya”
Syarat yang harus dipenuhi “Pembelaannya”

***

SYARAT SERANGAN:

SERANGAN YANG DATANG ITU HARUS BERSIFAT MELAWAN HUKUM (WEDERRECHTELIJK).

Menurut Pompe bahwa perkataan melawan hukum (wederrechtelijke) dalam Pasal 49 (1) KUHP itu harus diartikan sebagai “bertentangan dengan hukum” yang mempunyai arti lebih luas dari pada sekadar “bertentangan dengan undang-undang”. Sehingga disamping peraturan perundang-undangan juga termasuk pengertiannya peraturan-peraturan yang tidak tertulis.

SERANGAN ITU HARUS MENDATANGKAN BAHAYA YANG MENGANCAM SECARA LANGSUNG TERHADAP TUBUH (LIJF), KEHORMATAN (EERBAARHEID) ATAU HARTA BENDA (GOED).

Syarat ini meliputi tubuh diri sendiri atau orang lain, kehormatan diri sendiri atau kehormatan orang lain dan Harta benda sendiri atau harta benda kepunyaan orang lain.
Pengertian tubuh disini adalah badan seutuhnya dan juga berkenaan dengan nyawa termasuk masalah tidak terganggunya kebebasan untuk bergerak.
Kehormatan dalam Pasal 49 (1) KUHP ini tidak seluas pengertian kehormatan secara umum yang juga meliputi nama baik. Kehormatan di sini hanyalah khusus menyangkut kehormatan kesusilaan yakni “kemaluan menurut kelamin”. Dengan demikian orang yang dihina tidak boleh melakukan pembelaan terpaksa (Noodweer).

Pengertian harta benda dalam Pasal 49 (1) KUHP, adalah benda yang berwujud. Termasuk dalam perkembangan pengertian benda adalah strom listrik, gas, data computer dan pulsa. Tidak termasuk yang bersifat immaterieel.

SERANGAN ITU BERSIFAT SEKETIKA

Serangan harus bersifat seketika atau istilah lain sekonyong-konyong atau tiba-tiba. Dalam penjelasan memorie van toelichting bahwa tidak terdapat noodweer tanpa adanya suatu bahaya yangt bersifat seketika bagi tubuh (sendiri atau orang lain), kehormatan (sendiri atau orang lain) atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain.

Itulah sebabnya mengapa pembelaan terpaksa (noodweer) itu dibenarkan utuk dilakukan karena adanya serangan yang tiba-tiba dan tidak dapat diharapkan perlindungan dari aparat Negara (Kepolisian).

Menurut van Hattum (Lamintang,1984:446), bahwa perbuatan yang telah dilakukan dalam suatu pembelaan terpaksa (noodweer) itu tidaklah bersifat melawan hukum. Perbuatan yang dilakukan dalam pembelaan terpaksa itu dapat disamakan dengan “PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI YANG DISAHKAN DENGAN UNDANG-UNDANG”. Perbuatan tersebut terpaksa disahkan oleh karena Negara telah tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya yaitu untuk menjamin keselamatan warga negaranya pada saat terjadi suatu serangan (tiba-tiba).

Andi Zainal Abidin (2010:200) mengatakan bahwa oLeh karena adanya syarat bahwa serangan itu “HARUS SEKETIKA ITU JUGA MENGANCAM”, maka pembelaan terpaksa (Noodweer) tidak boleh dilakukan dalam hal : “Serangan yang mengancam itu akan terjadi dikemudian hari atau Serangan itu telah selesai.

Seseorang yang telah memasang sepucuk senapan di suatu tempat dalam tokonya dengan cara sedemikian rupa sehingga apabila ada orang yang masuk dan mengangkat barang tokonya, maka dengan sendirinya tali yang dihubungkan dengan senapan akan tertarik dan senapan meletus mengenai orang yang mengangkat barang. Tidak dapat dikategorikan melakukan pemebelaan terpaksa (noodweer) terhadap hartanya, karena serangan itu bukan tiba-tiba atau seketika tetapi serangan itu diperkirakan akan datang. (Arrest HOOGGERECHTSHOP tanggal 14 September 1892).

Memasang kawat tembaga (tanpa isolasi) yang dialiri listrik disekeliling pagar rumahnya, juga tidak dapat diartikan sebagai pembelaan terpaksa (noodweer) terhadap harta benda (Arres HOOGMILITAIR GERECHTSHOF di Jakarta tanggal 6 Mei 1949).
Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa serangan itu merupakan serangan yang akan datang, bukan serangan yang tiba-tiba mengancam.

APABILA SERANGAN TELAH SELESAI, MAKA TIDAK BOLEH MELAKUKAN PEMBELAAN TERPAKSA. Contoh Putusan HOGE RAAD tanggal 22 Nopember 1949. “Tertuduh (terdakwa) telah melepaskan tiga kali tembakan yang menyebabkan orang tersebut jatuh tergeletak di atas tanah sambil mengerang-ngerang. Tujuh menit kemudian orang tersebut telah berusaha untuk bangkit dan tertuduh (terdakwa) telah kembali melepaskan sebuah tembakan yang menyebabkan orang tersebut meninggal dunia. PADA TEMBAKAN YANG TERAKHIR ITU SUDAH TIDAK TERDAPAT NOODWEER atau noodweer exces oleh karena serangan itu telah lama berakhir.
KETIKA SI PENYERANG TELAH BERSUJUD MINTA AMPUN TAK BERDAYA, MAKA TIDAK ADA LAGI NOODWEER.

Bagaimana dalam kasus pencurian? Selama barang yang dicuri itu masih berada dalam tangan pencuri, maka dianggap serangan masih berlangsung sehingga masih dapat dilakukan pembelaan terpaksa (Noodweer).

SYARAT PEMBELAAN:

Pembelaan itu harus bersifat perlu (noodzakelijke). 

Satochid Kartanegara (tt:467) menggunakan istilah pembelaan yang terpaksa (noodzakelijke verdodiging). Yaitu “apabila tidak ada jalan lain yang memungkinkan untuk menghidarkan sesuatu serangan”. Artinya bahwa apabila masih terdapat kemungkinan untuk berbuat lain guna menghindarkan serangan, dalam hal itu pembelaan yang dilakukan tidak dikatakan terpaksa (noodzakeljke). Rumusan itu juga berarti bahwa apabila terdapat jalan lain yang lebih ringan dari pada jalan yang ditempuhnya (yaitu pembelaan), maka jalan yang ditempuh itu bukanlah pembelaan terpaksa (Noodweer). Dalam kaitan ini, yang dipergunakan sebagai dasar untuk menentukan apakah sesuatu pembelaan itu terpaksa atau tidak, maka dipergunakan ASAS SUBSIDIARITAS sebagaimana pada poin 2 berikut.

Sebagi contoh: A hendak memukul B dengan tongkat.
Dalam hal ini B menghadapi serangan dari A yang melawan hukum dan mengancam langsung. Pembelaan yang dapat dilakukan oleh B adalah bermacam-macam. B dapat menembak A. akan tetapi apabila B masih dapat memukul A untuk menghindarkan diri dari serangan A, maka pembelaan yang dilakukan oleh B dengan cara menembak bukanlah pembelaan terpaksa (Noodweer).

Syarat kedua dari Pembelaan adalah “TINDAKAN YANG DAPAT DIBENARKAN OLEH SUATU PEMBELAAN SEPERLUNYA” Syarat ini menentukan bahwa dalam melakukan pembelaan, maka TIDAK BOLEH DILAKUKAN DENGAN CARA BERLEBIHAN. Kita harus memperhatikan ASAS PROPORSIONALITAS ataupun ASAS SUBSIDIARITAS.

ASAS PROPORSIONALITAS menentukan bahwa harus ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilindungi dengan kepentingan hukum yang dilanggar. Satochid Kartanegara (tt: 470) menuliskan EVEREDIGHEID BEGINSEL (Asas keseimbangan) harus ada keseimbangan anatara kepentingan hukum yang dibela dengan kepentingan hukum yang dilanggar.

Asas Subsidiaritas menentukan bahwa jika ada cara perlawanan yang kurang membahayakan, orang yang diserang tidak boleh memilih cara yang lebih berat dan mengakibatkan kerugian yang lebih besar pada si penyerang. Sudah tentu maksud pembuat undang-undang ialah untuk menentukan bahwa kepentingan yang dilanggar oleh si pembela tidak boleh lebih besar dari pada kepentingan yang dibelanya. Seorang pencuri buah mangga tidak boleh ditebas kakinya dengan sebilah parang apalagi menembaknya.

Jika yang diserang adalah badan (termasuk nyawa) dengan menggunakan celurit, maka masih seimbang apabila pembelaan dilakukan dengan jalan membacok juga. Tetapi misalnya seorang pencuri hand phone yang sudah tidak bersenjata membawa lari hand phone curiannya itu senilai dua juta rupiah, dapatkah dilakukan pembelaan dengan jalan membacok celurit badan si pencuri ????? ataukah cukup dengan memukul dengan tinju dan menjatuhkannya dari motornya ???? jawabnya ASAS SUBSIDIARITAS dan ASAS PROPORSIONALITAS atau ASAS KESEIMBANGAN (EVEREDIGHEID BEGINSEL). Menurut saya membacok pencuri yang tidak bersenjata sudah melampau batas pembelaan, akan tetapi biarlah hakim yang menilainya.

ORANG YANG MELAKUKAN PEMBELAAN TERPAKSA TETAP DIPROSES HUKUM

Orang yang melakukan pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat (Noodweer) tetap diproses hukum oleh karena pembelaan terpaksa bukan merupakan alasan yang menghapuskan atau menggugurkan penuntutan (Vervalvan recht tot strafvordering), melainkan merupakan alasan yang menghapuskan pemidanaan (Strafuitsluitingsgronden).

Di pengadilan akan dibuktikan apakah pembelaan terpaksa yang dilakukan itu memenuhi syarat atau tidak menurut hukum pidana. Jika memenuhi syarat pembelaan terpaksa (Noodweer), maka putusan pengadilan menyatakan bahwa sifat melawan hukum perbuatannya hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang atau hukum yang membenarkan perbuatannya atau yang memaafkan Pembuat (syarat Pembelaan terpaksa terpenuhi) sehingga tidak dapat dipidana. Akan tetapi jika syarat pemebelaan terpaksa (noodweer) tidak terpenuhi maka orang yang melakukan pembelaan terpaksa tersebut tetap dipidana sesuai delik yang dilakukannya.
Namun menurut saya meskipun orang melakukan pembelaan terpaksa itu diproses hukum, akan tetapi janganlah dia diperlakukan seperti penjahat. Apalagi jika dalam rekonstruksi perkara telah nampak adanya pembelaan terpaksa (noodweer). Proses hukum ke pengadilan adalah untuk memperoleh kepastian hukum bagi tersangka dan masyarakat, juga dimaksudkan untuk menghindari adanya penyalahgunaan alasan noodweer.

Berbeda halnya dengan alasan atau dasar yang menggugurkan hak penuntutan (Vervalvan recht tot strafvordering), BEGITU ALASAN INI ADA, MAKA NEGARA TIDAK BISA MELAKUKAN PENUNTUTAN atau dengan kata lain NEGARA KEHILANGAN HAK UNTUK MENUNTUT. Misalnya dalam hal NEBIS IN IDEM (Pasal 76 KUHP), PELAKU MENINGGAL DUNIA (Pasal 77 KUHP), DALUWARSA PENUNTUTAN (Pasal 78 KUHP), TELAH ADA PEMBAYARAN DENDA MAKSIMUM UNTUK PELANGGARAN YANG HANYA DIANCAM DENGAN PIDANA DENDA (Pasal 82 KUHP), TELAH DILAKUKAN DIVERSI (UU.No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak), dan ABOLISI atau AMNESTI.

Oleh:

Kaisaruddin Kamarudin

Praktisi Hukum Makassar

You may also like...