Hermeneutika hukum
Kemandirian peradilan indonesia terletak pada proses persidangan yang terlaksana secara sistematis (gardian models) dan penerapam hukum secara deduktif. Hakim sebagai pengemban hukum praktis dalam melahirkan putusan, akan mendasarkan keputusannya pada keputusan yudisial, disertai dengan interpretasi dan konstruksi hukum. Metode interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwa konkret, dimana masih berpegang teguh pada bunyi teks itu. Sedangkan metode konstruksi hukum dilakukan dalam hal peraturannya tidak ada, dimana terdapat kekosongan hukum/Undang-undang.
Menurut Sumaryono (1999:36) hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol. Bagi Ricoeur langkah pemahaman itu ada tiga yaitu: pertama, langkah pemahaman simbol atau pemahaman dari simbol kesimbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langka filsufis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
Penerapan hermeneutika terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat atau bunyi hukum dan semangat hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. Subtilitas inteligensi (ketepatan pemahaman), dan subtilitas Explicandi (ketepatan penjabarannya) adalah sangat relevan untuk memahami naskah yang normatif (Sumaryono, 1999: 29).
Disamping itu hermeneutika hukum dapat digunakan untuk konstruksi hukum, dimana hermeneut berperan sebagai pengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta.
Dalam kegiatan penemuan hukum, dibedakan atas dua tahap yaitu tahap sebelum mengambil putusan (ex ante) dan tahap sesudah pengambilan keputusan (ex post). Tahap sebelum pengambilan keputusan disebut heuristika yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului tindakan pengambilan keputusan hukum, pada tahap ini berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat (Jazim Hamidi, 2005: 49)
Penemuan hukum yang terjadi sesudah keputusan disebut legitimasi dan legitimasi selalu berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang diambil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hermeneutika hukum dapat melakukan interpretasi yang tajam, mendalam dan holistik dalam bingkai satu kesatuan antara teks, konteks, dan kontekstualisasinya, yang tidak hanya melakukan tafsiran secara legalistik formal, tetapi juga melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi suatu sengketa itu muncul