Malapraktik Kepemiluan

Sumber Gambar: tribunnews.com
Malapraktik kepemiluan jauh lebih dahsyat efeknya daripada malapraktik kedokteran. Kasus malapraktik kedokteran jelas siapa korban dan berapa jumlah korban, itupun korbannya paling dalam hitungan jari. Akan tetapi malapraktik kepemiluan, korbannya tidak kelihatan secara langsung, tetapi di suatu waktu semua rakyat bisa menjadi korban.
KPU Kabupaten
Tanpa bermaksud melecehkan institusi dan keilmuan yang saya jadikan contoh, adalah Ketua KPU Kabupaten Sinjai berlatar belakang sarjana ekonomi tiba-tiba membatalkan Paslon kepala daerah dibatas satu hari sebelum pemungutan suara Pilbup Kabupaten Sinjai 2018. Keputusan pembatalannya dikatakan belum “inkra.” Bahkan jajaran di atasnya (KPU Sul-sel) turut mengamini kalau paslon yang dibatalkan itu belum batal secara nyata, konon ia masih bisa “dihidupkan.” Itulah tingkat keparahannya, gara-gara ia menyatakan bahwa keputusan itu belum inkra, yang mana dalam ilmu hukum administrasi tidak ada yang dimaksud keputusan inkra atau tidak inkra, pada akhirnya menyebabkan korban ratusan ribu suara sah yang batal.
Contoh lain dengan tempat yang masih sama dari kasus di atas, lagi-lagi Ketua KPU Kabupaten Sinjai yang baru, bukan latar belakang sarjana hukum, bukan pula sarjana politik telah melantik tambahan anggota PPK yang diambil bukan dari calon cadangan sepuluh besar. Masalah hukumnya, suatu waktu setiap produk hukum berupa SK dan berita acara hasil penghitungan anggota PPK, akan dianggap tidak sah. Dan akibatnya suara pemilih lagi-lagi yang jadi korban, dengan bukan hanya satu suara tapi ada banyak suara yang bisa dinyatakan batal gara-gara malapraktik kepemiluan yang dilakukan oleh Komisioner tadi yang tidak memahami segala akibat hukum dari tindakannya.
Yang ahli dan memahami saja hukum kepemiluan rentan melakukan kesalahan pada tafsir dan penerapan norma hukum pemilu, apalagi yang bukan ahlinya. Dan parahnya lagi situasi kepemiluan kita saat ini, terjadi malapraktik yang disebabkan oleh yang punya latar belakang dan basis kepemiluan bergabung dengan mereka yang tidak paham sama sekali, mereka tidak memahami aspek hukum yang selalu menguntit tata kelola kepemiluan.
Kasus Oso
Simaklah kasus pembatalan Oesman Sapta Odang (Oso), di sana kita bisa menguraikan kronologi terjadinya malapraktik kepemiluan yang digawangi oleh ahli dan bukan ahli kepemiluan. Pertama, pihak yang mengajukan permohonan uji materil Undang-undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diwakili oleh kuasa hukumnya. Alih-alih ingin meminta agar calon anggota DPD yang berstatus fungsionaris harus mengundurkan diri sebelum pendaftaran bakal calon, tetapi ketentuan yang diajukan justru maksud gramatikalnya lain. Ketentuan yang diajukan untuk ditafsir oleh MK, kurang lebih bermakna bersedia untuk tidak menjadi fungsionaris partai kalau ia terpilih sebagai anggota DPD.
Kedua, MK yang mengabulkan permohonan uji materil tersebut, tidak perlu lagi saya pertegas kembali latar belakang keilmuannya, sebab memang sarjana hukumlah yang bisa dipilih sebagai hakim MK. Pun pada kenyataannya MK melanjutkan kekeliruan pemohon, dengan menimbang proses pendaftaran calon anggota DPD telah dimulai, maka menjadi wajib calon bersangkutan mundur dari fungsionaris partai. Letak malapraktik kepemiluannya, MK sudah keliru memaknai pasal yang cocok sebagai kewajiban untuk mengundurkan diri bagi calon anggota DPD yang berstatus fungsionaris partai, sudah tidak cermat pula memberikan limitasi apa yang sungguh dimaksudkannya, bahwa syarat tersebut berlaku mulai dari pendaftaran calon hingga penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) calon anggota DPD.
Ketiga, komisioner KPU RI yang hanya diisi oleh satu orang sarjana hukum bersanding dengan komisioner lainnya kembali melanjutkan malapraktik kepemiluan yang baru. Putusan MK ditadah dengan perubahan PKPU pencalonan anggota DPD, namun syarat-syarat itu tidak diberlakukan sebelum Oso ditetapkan di Daftar Calon Sementara (DCS). KPU RI memberlakukannya kemudian syarat tersebut sebelum penetapan DCT, sampai-sampai Oso tetap bersikukuh tidak mau mundur dari pimpinan partai Hanura, dengan dalil syarat untuk mundur hanya berlaku di tahapan pendaftaran calon, bukan di tahapan DCS menuju DCT.
Keempat, dua putusan pengadilan yaitu MA dan PTUN membenarkan dalil Oso, baik hakim MA maupun hakim PTUN menolak tafsir wet-historical MK, kewajiban calon anggota DPD untuk mundur dari fungsionaris partai berlaku hanya pada saat pendaftaran bakal calon. Oso yang sudah ditetapkan di DCS karena kekeliruan KPU, tidak dapat ditimpakan akibat hukumnya kepada Oso seorang. Dua putusan tersebut sebab tidak berdasarkan supremasi konstitusi, juga melakukan malapraktik kepemiluan.
Kelima, KPU RI yang tetap bersikukuh tidak mau mengeksekusi putusan PTUN, agar Oso ditetapkan dalam DCT pada akhirnya dilaporkan ke Bawaslu RI dengan dugaan pelanggaran administrasi pemilu. Oleh Bawaslu RI yang memeriksa, mengadili dan memutus laporan pelanggaran tersebut, terkesan seolah meluruskan putusan pengujian syarat calon anggota DPD, yaitu hanya berlaku setelah calon anggota DPD tersebut terpilih. Pun dalam standar penilaian maksud dan tujuan MK, tidak sejalan. Dan lagi-lagi Bawaslu yang tidak semuanya diisi oleh orang yang ahli pemilu, dianggap pula salah dalam menjatuhkan putusan. Kalau demikian, berarti Bawaslu juga melakukan malapraktik kepemiluan.
Malapraktik kepemiluan tidak hanya akan meninggalkan kekacauan hukum, kekacauan antara berbagai jenis produk hukum yudisial dan quasi yudisial. Segala produk hukum kepemiluan KPU akan menjadi batal, dan berujung pada lumpuhnya negara tanpa kekuasaan karena tidak ada pejabat negara yang layak mengisinya. Dan korbannya, siapa lagi kalau bukan rakyat Indonesia.*