Anak Pelaku Tindak Pidana Pemilu, Perlukah Diversi?

Indra Eka Putra
Koordiv Hukum penindakan Pelanggaran dan penyelesaian sengketa Bawaslu Konawe.

Pada 1 Agustus 2019 kemarin, Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara melakukan evaluasi penanganan pelanggaran pidana pemilu. Tentu dalam kegiatan dimaksud dihadiri juga oleh institusi kepolisian sebagai penyidik tindak pidana pemilu dan kejaksaan sebagai penuntut pada tindak pidana pemilu. Tiga institusi ini tergabung dalam Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) sebagai forum evaluasi penegakan hukum pemilu di masa mendatang.

Kali ini penulis fokus pada hal “Penerapan diversi dan in absentia’ dalam penegakkan hukum pemilu terhadap anak. Hal yang menggelitik penulis untuk menuangkan dalam “diskursus” karena malam itu (dalam forum evaluasi sentra gakkumdu tersebut) tidak sempat terbahas tuntas tentang beberapa hal diantaranya: (1) Kasus dugaan pidana pemilu yang dilakukan oleh anak sesuai dengan ketentuan UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)hanya ditangani oleh 1 kabupaten dari 17 Kabupaten, bahkan sejauh ingatan penulis,, tak banyak (jika tidak bisa dikatakan tidak ada) daerah yang menangani hal serupa. Ini soal kuantitas atau jumlah belum soal perihal atau substansi atau materi pembahasan dan masalah yang dihadapi dalam menangani kasus “pidana pemilu anak” tersebut, yang ketentuan tekhnisnya belum diatur rigid dan detail dalam Perbawaslu atau UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu); (2) Soal penerapan in absentia dan diversi anak yang menjadi fokus dari tulisan ini yaitu kasus a quo yang ditangani oleh Sentra Gakkumdu Bombana dimana terdapat dilema soal penerapan in absentia kepada anak pelaku tindak pidana pemilu yang dalam waktu yang sama mempunyai HAK untuk DIVERSI sesuai dengan ketentuan UU SPPA; dalam kasus a quo, anak yang menjadi pelaku tindak pidana pemilu tersebut sesuai dengan bukti awal dari Bawaslu Bombana dan Sentra Gakkumdu telah dinyatakan cukup bukti untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu penyidikan dengan status anak sebagai tersangka, namun faktanya anak tersebut tersebut tidak dapat menghadiri proses pemeriksaan yang dilakukan oleh tim Sentra Gakkumdu karena tidak diketahui keberadaannya, meskipun terhadap kondisi demikian Perbawaslu punya mekanisme In absentia terhadap orang atau pelaku yang tidak menggunakan haknya untuk diperiksa dalam status terklarifikasi, tersangka maupun terdakwa dipengadilan.

Hal lain yang menjadi menarik adalah bahwa setiap anak yang dihadapkan dalam proses hukum (apapun) telah diatur dalam ketentuan tersendiri (Vide: Pasal 6 dan Pasal 7 UU SPPA). Dalam  UU SPPA ditegaskan bahwa setiap anak yang diproses hukum wajib dilakukan diversi terhadapnya oleh penegak hukum di setiap tingkatan pemeriksaan (baik penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh jaksa penuntut umum maupun Persidangan oleh pengadilan). Itu berlaku baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan. Pertanyaannya bagaimana dengan UU Pemilu yang juga lex special dari undang-undang lain karena terkait dengan ihwal pemilu yang bersifat khusus tersebut dan mempunyai mekanisme tersendiri dalam penanganannya.

Bagaimana pula dengan proses yang dilakukan di Bawaslu (proses klarifikasi) yang tidak disebutkan melalui UU SPPA. Bagiamana juga dengan in absentia yang diatur dalam Perbawaslu 31 Tahun 2019 tentang Sentra Gakkumdu sebagai SOP penanganan tindak pidana pemilu oleh Tim sentra Gakkumdu.

Kesemua yang penulis sebutkan di atas adalah yang sempat menjadi bahan diskusi dengan teman-teman Sentra Gakkumdu dalam forum evaluasi tesebut karena faktanya bahwa baik Perbawaslu dan KUHAP yang menjadi landasan yuridis pelaksanaan penyidikan tidak juga jelas  mengatur tentang bagaimana jika pelaku tindak pidana tersebut terkait tindak pidana pemilu, dan bagaimana jika pelaku tindak pidana pemilu tersebut adalah anak yang juga diatur khusus berdasarkan UU SPPA. Bagaimana pula jika dalam UU SPPA yang khusus mengatur tentang peradilan anak tidak menjangkau soal “jika yang dilakukan oleh anak ini adalah pidana pemilu” yang ketentuan dan SOP-nya telah diatur dalam Perbawaslu?

Solusi Hukum

Pertama, dalam kasus a quo yang ditangani oleh Gakkumdu Bombana dengan peraturan tekhnisnya tidak dijangkau oleh KUHAP maupun Perbawaslu,  semestinya “informasi tentang hak diversi anak” segera didahulukan kepada orang tua pelaku ketimbang soal in absentia pada saat klarifikasi dilakukan oleh Bawaslu. Hal itu bertujuan agar sedari awal keluarga pelaku dapat mendapat banyak pilihan terkait proses hukum yang dilakukan oleh seorang anak yang belum mengerti soal-soal yang dilarang dan akibat hukumnya, agar tidak ada upaya untuk melarikan diri karena takut akan sanksi pidana yang akan dikenakan kepadanya nanti. Langkah ini tentu mesti tetap dituangkan dalam Perbawaslu tentang Sentra Gakkumdu.

Kedua, jika kondisi terjadi sebagimana kasus Bombana, Sentra Gakkumdu tetap mengkampanyekan kepada keluarga pelaku tentang diversi tersebut, agar jika kemungkinan dapat dihadirkan kembalinya anak pelaku untuk mengikuti proses hukumnya maka anak tersebut akan taat karena orang tua yang menjamin dan karena tersedianya proses diversi di semua level pemeriksaan tadi (minus proses klarifikasi di Bawaslu);

Ketiga, dalam hal dilema Bawaslu yang menjadi pelapor sekaligus pihak yang akan menyepakati proses damai dengan pelaku anak tersebut (atau diversi), penulis berpandangan khusus in qasu Bawaslu dapat menerima diversi tersebut, sepanjang sang anak baru pertama kali melakukan hal demikian, dan bukan menjadi “mesin” atau bagian agenda setting dari oknum peserta pemilu. Penulis juga berpandangan bahwa Bawaslu tidak akan mendapat “cap miring” terkait berdamai dengan pelaku kejahatan pemilu tersebut sekali lagi karena in qasu pelakunya adalah anak yang secara psikologis oleh masyarakat dianggap tidak tahu atau sekadar dimanfaatkan oleh orang lain. Ini memang pilihan sulit!

Keempat, ihwal peraturan mana yang lebih lex special antara UU SPPA yang mengatur tentang diversi anak atau UU Pemilu yang didalamnya terdapat Sentra Gakkumdu dengan mekanisme in absentia dalam penanganannya. Terkait hal ini penulis berpandangan bahwa mestinya UU SPPA didahulukan keberlakuaannya (lex superior derogate legi inferiori) karena dalam UU Pemilu sebenarnya tidak sempurna mengatur tentang in absentia, tetapi in ebsentia diatur dalam Perbawaslu 31 Tahun 2019. UU SPPA telah menyebutkan secara tegas tentang hak diversi anak di setiap level pemeriksaan, sekali lagi  kondisi ini terjadi karena fasilitas regulasi pemilu terkait pelaku anak tidak terjangkau;

Kelima; UU Pemilu atau UU pemilihan mesti memasukan hal diversi anak sepanjang anak tersebut bukan pelaku yang berulang dan bukan bagian dari setting agenda para peserta pemilu, serta sinkronisasi peraturan pelaksana dari kedua Undang-undang yang sama-sama lex special tersebut terkait keadaan bersamaan antara In absentia dan diversi tersebut.

Pada akhirnya idealisme setiap komisioner Bawaslu dalam upaya penegakan hukum pemilu tak bisa ditawar-tawar. Apalagi pada posisi ini, Bawaslu pasca pembahasan pertama harus bertindak sebagai pelapor atas dugaan tindak pidana pemilu yang dilakukan dengan proses perdebatan yang biasa terjadi di Sentra Gakkumdu serta panjang berlikunya mengumpulkan alat bukti untuk menyatakan kesimpulan “layak” sebuah kasus dilanjutkan ke tahap penyidikan dan ujung-ujungnya hanya  akan “berdamai” dengan anak pelaku tindak pidana pemilu. Keberanian untuk menerapkan diversi dibanding in absentia adalah terapan kemanfaatan yang progresif. Wallahu a’lam bis sawab

 

Oleh:

Indra Eka Putra

Koordiv Hukum penindakan Pelanggaran dan penyelesaian sengketa Bawaslu Konawe.

 Artikel Ini Telah Muat Sebelumnya di Kendari Post, 28 Agustus 2019

You may also like...