Sesat Pikir di Balik Kasus Wahyu Setiawan

Sumber Gmbar: republika
Begitu Wahyu Setiawan (WS) terjaring OTT KPK. Publik bukan hanya dilanda kecemasan atas integritas KPU RI. Di balik itu, banyak pula kalangan muncul secara tiba-tiba sebagai “pengamat dadakan,” tahu segala hal, padahal dalam menguraikan fakta-fakta dan penalaran hukum telah sesat pikir, keliru, salah duga, dan tidak cermat.
Dipermaklumkan keadaan yang demikian, sebagaimana adagium – multi multa nemo omnia acvly – banyak orang mengetahui banyak hal, tetapi tidak seorangpun yang mengetahui segalanya.
Saat yang sama, janganlah mengabadikan kekeliruan, walaupun manusiawi tetapi tidaklah elok mempertahankannya – errare humanum est turpe in erore perseverare –
Berdasarkan hasil identifikasi yang telah saya lakukan, dalam kurun waktu dua pekan terakhir. Setidak-tidaknya ada empat kekeliruan dari beberapa pihak, perihal fakta-fakta yang berentet dengan kasus penyuapan WS oleh Harun Masuki (HM) melalui perantara; Saeful (SAE) dan Agustiani Tio Fridelia (ATF).
Pertama, tentang RA yang konon katanya belum dilantik karena sedang menunggu penggantian dari HM. Kedua, mengenai HM sudah ditetapkan sebagai pengganti antar waktu anggota DPR RI, RA. Ketiga, perihal Putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019 yang dijadikan dasar hukum dalam permohonan penggantian RA dengan HM, dianggap sebagai hasil uji materil yang ditolak.
Pertanyaan yang ketiga ini perlu diulas secara gamblang, mengingat salah satu komisioner KPU (Pramono Ubaid Tantowi), yang tidak menutup kemungkinan juga jajarannya (ke bawah) berpendapat sama, bahwa putusan MA tersebut tidak perlu diikuti dikarenakan permohonan pemohon ditolak.
Selain ketiga persoalan di atas, akan saya ulas secara singkat pula kekeliruan putusan DKPP dalam mengadili kasus pelanggaran etik, WS yang diadukan oleh Bawaslu RI.
RA Dilantik
Persoalan yang pertama, saya kira tidak terlalu rumit untuk menjelaskannya, bahwa mustahil kalau dikatakan RA belum dilantik sebagai anggota DPR periode 2019 – 2024.
Verifikasi atas kebenaran fakta bahwa RA sudah dilantik cukup dengan berpedoman pada PKPU Jadwal dan Tahapan Pemilu 2019, pelantikan anggota DPR RI yaitu pada 1 Oktober 2019.
PAW Ditolak
Selanjutnya untuk mengurai kedudukan HM, tentang benar tidaknya sudah mengganti antar waktu, RA. Tidak cukup lagi mengandalkan Peraturan KPU, namun keterangan lebih lanjut harus diverifikasi dari banyak pemberitaan.
Kalau hendak mendapatkan keterangan yang meyakinkan, silakan tonton kembali hasil konfrensi pers KPU pasca WS ditetapkan statusnya sebagai tersangka oleh KPK. Dalam konfrensi pers itu jelas sekali, Arief Budiman dkk mengatakan bahwa permintaan untuk mengganti RA dengan HM sudah tiga kali ditolak.
Dikabulkan Sebagian
Expressis verbis Putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019 dalam amarnya jelas-jelas dinyatakan mengabulkan permohonan pemohon sebagian.
Petitum pemohon yang tidak dikabulkan yakni: “Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk menetapkan Calon Anggota Legislatif terpilih untuk menduduki jabatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2019-2024 adalah Calon Anggota Legislatif yang ditentukan oleh Partai Politik pengusung sebagai pengganti Calon Anggota Legislatif yang meninggal dunia dan memperoleh suara terbanyak.”
Dalam pertimbangan putusan a quo, MA menyatakan bahwa petitum tersebut tidak menjadi kewenangannya, sehingga tidak diterima. Ingat…! Baru pertimbangan hukum, belum sampai pada bunyi amar. Dalam amar putusan, terdapat dua kalimat yang tidak bertentangan, justru saling melengkapi, “….dikabulkan sebagian … dan selebihnya tidak diterima…”
Pada hakikatnya putusan pengujian PKPU Nomor 3 dan Nomor 4 Tahun 2019 sedang menerangkan dua keadaan hukum yang terkait dengan wewenangnya, hanya bisa menguji perundang-undangan di bawah undang-undang, tidak sedang menguji keputusan (beschiking), yang tiada lain kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.
Selebihnya dalam putusan tersebut yang harus diketahui, adalah dari yang dahulunya suara sah bagi calon yang meninggal dunia dinyatakan sebagai suara sah partai. Berubah dalam pemaknaan “sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk Partai Politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon.” Pendek kata, terserah kepada partai politik mau mengalihkan suara tsb ke calon yang dikehendakinya.
Putusan Banci
Terakhir, soal keganjilan pengaduan WS ke DKPP yang digawangi oleh Bawaslu RI. Apa tujuannya Bawaslu RI, bak pahlawan di siang bolong, menjadi pihak pengadu? Apakah takut citranya rusak, gara-gara ATF sebagai perantara suap ke WS adalah mantan anggota Bawaslu RI?
Apa gunanya pula, WS diproses secara etik jika pada saat yang sama sudah mengajukan surat pengunduran diri ke Presiden RI? Bukankah Ujung-ujungnya putusan DKPP meminta Presiden untuk memberhentikan WS sebagai anggota KPU RI?
Ironisnya, putusan DKPP yang digelar secara maraton, Muhammad selaku Pelaksana Tugas Ketua merangkap Anggota; Alfitra Salam, Teguh Prasetyo, dan Ida Budhiati, masing-masing sebagai Anggota, hanya menghasilkan putusan “banci.” Hilang sifat menghukumnya sebagai (amar) putusan condemnatoir.
Biasanya dalam putusan DKPP, untuk pemberhentian KPU Kabupaten/Kota terdapat kalimat “…memerintahkan KPU RI/KPU Provinsi untuk melaksanakan putusan…” Amar putusan Nomor: 01-PKE-DKPP/I/2020 poin keempat, langsung terbunyikan “Presiden RI untuk melaksanakan putusan…”
Eksistensi daripada peradilan etik tidak lain untuk menjaga muruah institusi. Lembaga yang sedang bermasalah pejabatnya, harus segera di sanksi, agar tidak berimbas pada menurunnya kepercayaan publik. Oleh karena itu menjadi penting ke depannya untuk menghadirkan dua jenis sanksi pemberhentian dalam Peraturan DKPP Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Satu, bernama sanksi Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH), dan satunya lagi adalah Pemberhentian Dengan Hormat (PDH).