Kedodoran Berantas Korupsi

Sumber Gambar: pantau24jam
Putusan Mahkamah Agung terhadap bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mempertontonkan permisifnya elite bangsa terhadap korupsi.
Majelis kasasi MA yang diketuai Sofyan Sitompoel, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani mengurangi hukuman bekas politikus Partai Gerindra itu dari sembilan tahun menjadi lima tahun. Pencabutan hak politik Edhy dikurangi dari tiga tahun menjadi dua tahun.
Elite negeri ini tampak mulai kehilangan daya dan energi melawan korupsi. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan dan kini secara kelembagaan mengandung cacat etik dan moral, lembaga peradilan seperti mengamini tren pelemahan pemberantasan korupsi.
Tak terdengar lagi gelegar elite partai untuk perang melawan korupsi. Tak terdengar suara elite di panggung kampanye bahwa korupsi telah memasuki kanker stadium empat. Elite malah getol melempar wacana menunda Pemilu 2024. Padahal, ancaman nyata bangsa ini adalah endemi korupsi!
Di tengah suasana kebatinan itulah, majelis kasasi membuat putusan mengejutkan. Menurut majelis, bekas Menteri KKP itu telah memberikan harapan besar kepada nelayan sehingga layak diberi keringanan hukuman. ”Terdakwa telah bekerja dengan baik dan memberikan harapan besar kepada masyarakat, khususnya nelayan.” MA tampaknya tak melihat ke mana uang Edhy itu mengalir. Untuk beli tanah, sewa apartemen, dan membeli barang-barang mewah.
Pertimbangan telah bekerja baik itu terasa absurd! Paradoks. Padahal, majelis banding—Haryono (ketua), Mohammad Lutfi, Singgih Budi Prakoso, Reny Halida Ilham Malik, dan Anton Saragih—dalam pertimbangannya justru memperberat hukuman. Pada 12 November 2021, majelis banding menyebut, ”Terdakwa adalah menteri yang membawahkan Kementerian Kelautan telah dengan mudahnya memerintahkan anak buahnya berbuat hal yang menyimpang dan tidak jujur.”
Edhy telah merusak tatanan kerja yang selama ini ada, berlaku, dan terpelihara dengan baik. ”Terdakwa telah menabrak aturan atau tatanan prosedur yang ada di kementeriannya sendiri,” ujar hakim banding.
Itulah fakta hukum yang harus dihormati. Tidak sampai enam bulan sejak banding dibacakan, majelis hakim MA mengubah pertimbangan hukum secara diametral. Eksaminasi terhadap putusan kasasi harus dilakukan. Argumen mana yang lebih mewakili keadilan masyarakat. Menteri Edhy bekerja baik, demikian MA, atau Menteri Edhy telah merusak tatanan, menabrak aturan, dan mudah memberikan contoh menyimpang kepada anak buahnya, kata majelis banding.
Disparitas pertimbangan hakim dipengaruhi ideologi penegakan hukum penegak hukum. Pemberantasan korupsi butuh kejuangan dan komitmen altruistik terhadap nasib rakyat menderita serta tanggung jawab terhadap generasi di masa datang. Bukan keberpihakan kepada pelaku korupsi yang katanya telah berbuat baik! Lihatlah korban. Serapi rasa keadilan karena undang-undang bukan hanya soal pasal.
TAJUK KOMPAS
Dewan Redaksi Kompas
KOMPAS, 11 Maret 202
Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/03/10/kedodoran-berantas-korupsi