Sesat Larangan Atribut Keagamaan

Sumber Gambar: detik.com

IDE Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin melarang terdakwa mengenakan atribut keagamaan saat menghadiri persidangan jelas sesat pikir dan mengada-ada. Pakaian terdakwa sama sekali tak ada relevansinya dengan kualitas dakwaan, tuntutan, dan vonis perkara pidana.

Jaksa Agung boleh saja tidak suka melihat banyak terdakwa yang tiba-tiba mengenakan atribut seperti baju koko, kopiah, atau jilbab yang sebelumnya tidak pernah mereka pakai. Namun Jaksa Agung tak bisa sembarangan melarang pemakaian atribut tertentu yang merupakan hak pribadi terdakwa.

Apalagi, urusan pengaturan pakaian terdakwa juga bukanlah wewenang jaksa. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang berwenang menilai pakaian terdakwa sopan atau tidak dalam persidangan adalah majelis hakim.

Jaksa Agung tak sepatutnya membuat aturan yang didasari prasangka bahwa pemakaian atribut keagamaan adalah trik terdakwa meraih simpati hakim untuk mendapatkan vonis ringan atau bahkan bebas. Jaksa Agung juga tak perlu menghina akal sehat dengan menyebut masyarakat bisa bersimpati kepada terdakwa yang tiba-tiba tampil “alim”. Kalaupun ada terdakwa yang berusaha mencari simpati dengan memakai atribut keagamaan, itu tidak sepatutnya dijawab dengan pelarangan.

Larangan memakai atribut keagamaan yang berbasis kecurigaan itu sama absurdnya dengan larangan mengenakan atribut perempuan oleh penampil laki-laki di stasiun televisi. Larangan penggunaan atribut perempuan oleh laki-laki tersebut jelas lebih didorong kecurigaan dan fobia tak berdasar terhadap kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)–yang sejatinya punya hak yang sama dengan warga negara lainnya.

Jaksa Agung seharusnya paham bahwa kualitas persidangan—dari tahap dakwaan, tuntutan, hingga putusan—sama sekali tidak ditentukan oleh penampilan para terdakwa. Itu semua sangat ditentukan oleh profesionalisme dan independensi para penegak hukum. Karena itu, Kejaksaan Agung seharusnya lebih berfokus meningkatkan kompetensi para jaksa serta menjaga independensi mereka.

Faktanya, kita masih sering mendengar dakwaan dan tuntutan jaksa yang “tajam ke bawah” tapi “tumpul ke atas”. Masih saja ada jaksa yang memakai kacamata kuda–tidak memperhatikan rasa keadilan di masyarakat–ketika menuntut seorang nenek pencuri setandan pisang untuk dihukum penjara. Padahal si nenek mencuri demi bertahan hidup.

Sebaliknya, masih ada jaksa yang menuntut ringan terdakwa yang kejahatannya terang benderang. Ada juga jaksa yang membuat dakwaan dan tuntutan yang lemah dan penuh “bolong”, sehingga terdakwa divonis ringan atau bahkan bebas.

Masih lekat dalam ingatan bagaimana jaksa hanya menuntut satu bulan penjara atas terdakwa penyiram air keras yang membutakan mata Novel Baswedan, mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi. Alasan jaksa, terdakwa tak sengaja menyiramkan air keras ke wajah Novel.

Contoh lain yang tak kalah kontroversial, tim jaksa menuntut ringan bekas koleganya, jaksa Pinangki Sirna Malasari. Jaksa hanya menuntut empat tahun penjara atas Pinangki, yang kemudian terbukti melakukan permufakatan jahat, menerima suap US$ 500 ribu dari buron kasus korupsi Joko S. Tjandra, serta mencuci uang hasil kejahatannya.

Kejaksaan Agung seharusnya membereskan lebih dulu hal-hal substansial yang berkaitan dengan kompetensi dan perilaku para jaksa. Buat apa repot-repot mengurusi hal superfisial seperti atribut keagamaan terdakwa.

 

Editorial

Dewan Redaksi Koran Tempo

Koran Tempo, 23 Mei 2022

Sumber : https://koran.tempo.co/read/editorial/473949/sesat-larangan-memakai-atribut-keagamaan-di-persidangan?

You may also like...