Proses Pemeriksaan Praperadilan
Pengadilan Negeri sebagai pengadilan yang memiliki fungsi yustisial untuk mengadili permohonan praperadilan. Permohonan praperadilan identik dengan gugatan expartee dalam hukum acara perdata. Yahya harahap (2002b: 6) menyebutnya sebagai gugatan yang menempatkan pejabat penyidik atau penuntut sebagai terdakwa semu. Pengadilan negeri akan menilai apakah suatu tindakan penyelidik atau penuntut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Hakim tunggal yang mengadili permohonan praperadilan akan membuat penetapan atas permonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka/ keluarganya (kuasa hukumnya). Atau dapat juga permohonan praperadilan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas penghentian penyidikan/ penghentian penuntutan.
Secara jelas proses pemeriksaan (hukum acara) permohonan praperadilan pertama-tama diajukan oleh:
- Tersangka, keluarganya, kuasanya tentang tidak sahnya penangkapan atau penahan
- Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan.
- Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan tentang tidak sahnya penghentian penuntutan, yang diajukan ke pada ketua pengadilan negeri (Pasal 79, Pasal 80 KUHAP) dengan menyebut alasan-alasanya.
Setelah permintaan untuk pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan dicatat dalam register perkara praperadilan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, maka pada hari itu juga panitera atau pejabat yang ditunjuk untuk itu. Menyampaikan surat tersebut kepada ketua/ wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang segera menunjuk hakim tunggal dan paniteranya yang akan memeriksa perkara praperadilan tersebut.
Segera setelah menerima penunjukan, dalam waktu tiga hari setelah dicatatnya perkara (bukan setelah ditunjuk), hakim praperadilan tersebut harus menetapkan hari sidang dalam suatu penetapan serta memanggil saksi-saksi. Penetapan tersebut, dikirimkan kepada penuntut umum untuk dilaksanakan. Kepada termohon dilampiri salinan/ foto kopi surat permintaan praperadilan, agar ia meneliti dan mempelajarinya. Yang dipanggil ke persidangan praperadilan, selain tersangka/ terdakwa yang mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan, juga termohon, pejabat-pejabat yang berwenang.
Pemeriksaan persidangan dilakukan dengan cepat dan berita acara dan putusan praperadilan dibuat seperti pemeriksaan singkat. Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah harus memutuskan perkara. Perhitungan waktu tujuh hari adalah terhitung dari sejak dimulainya pemeriksaan.
Dalam hal suatu pemeriksaan praperadilan sedang berlangsung, tetapi perkaranya sudah dimulai diperiksa maka pemeriksaan praperadilan dinyatakan gugur.
Terhadap putusan praperadilan tidak dimintakan banding (Pasal 83 KUHAP), tetapi khusus terhadap kasus tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan maka penyidik/ Penuntut Umum dapat meminta putusan akhir ke pada Pengadilan Tinggi. Selanjutnya diperlakukan ketentuan-ketentuan pada acara banding, baik mengenai tenggang waktu serta tata cara lainnya.
Putusan Pengadilan Tinggi di sini, harus segera diberitahukan kepada semua pihak yang bersangkutan oleh Panitera Pengadilan Negeri.
Sebagaimana dikemukakan di atas, putusan pengadilan merupakan putusan akhir. Dengan demikian, untuk putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, dengan alasan bahwa ada keharusan penyelesaian secara cepat dan perkara-perkara praperadilan sehingga jika masih dimungkinkan kasasi maka hal tersebut tidak akan dicapai. Selain itu praperadilan sebagai wewenang pengawasan horizontal dari Pengadilan Negeri (Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 31 Maret 1982 No. 277 K/ Kr/ 1982).
Putusan verstek dalam acara praperadilan tidak dikenal. Bentuk keputusan praperadilan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahan dalam putusan, sedangkan mengenai pemberian ganti rugi dan rehabilitasi adalah penetapan (vide: Pasal 96 ayat 1 KUHAP).
Berdasarkan Pasal 77, hakim tidak dapat dipra-peradilankan. Hal ini ditegaskan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 8 Desember 1983 Nomor: SEMA 14 Tahun 1983.