Desentralisasi dalam “Cengkraman” Korupsi
Negara Indonesia pada era reformasi telah membangun suatu komitmen yang tinggi tentang penegakan supremasi hukum di tanah air. Semangat reformasi kemudian bergema dan memberikan angin segar bagi setiap lapisan masyarakat yang tentunya para pencari keadilan. Pemerintah tidak lagi memberikan suatu keistimewaan (previllage) berupa “kekebalan hukum” bagi para kroni-kroninya yang telah melakukan tindak pidana korupsi seperti pada masa orde baru.
Di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah telah mengambil sikap yang keras terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah menjadi penyakit dan menggorogoti setiap sendi dalam masyarakat. Pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan sebagai suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Suatu kejahatan luar biasa karena telah merugikan keuangan negara dan tentunya mengakibatkan rakyat Indonesia semakin menderita.
Sikap tegas dari pemerintahan Indonesia untuk memerangi korupsi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Terbukti praktik korupsi semakin merajalela. Hingga negara Indonesia tepat bila dikatakan surga bagi koruptor. Pernyataan ini sangat beralasan. Bila dilihat dari indeks persepsi korupsi Indonesia versi Transparency International dan Political and Economic Risk Consultantcy Ltd (PERC).
Baru-baru ini Transparency International kembali merilis indeks persepsi korupsi Indonesia yang mengalami sedikit lompatan skor dan menempatkan Indonesia pada angka 3,0 pada 2011 rangking 100 dari 182 negara. Hasil survei tersebut berdasarkan penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional pada 2011. Sebelumnya pada tahun 2009 dan 2010, indeks persepsi korupsi Indonesia menempati angka 2,8 dengan rangking 110 dari 178 negara. Sedangkan versi Political and Economic Risk Consultantcy Ltd (PERC) Indonesia memiliki indeks persepsi korupsi 8,32 pada 2009 dan 9,10 pada 2010, serta menempatkan sebagai negara terkorup di Asia.
Sejarah mencatat praktik korupsi di Indonesia sudah tumbuh subur dari masa ke masa. Praktik korupsi seiring dengan jalannya sistem penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang diharapkan dapat menyejahterakan rakyat Indonesia. Suatu niat suci tetapi telah disalahartikan.
Dari masa ke masa praktik korupsi di Indonesia semakin meningkat dan meluas. Hal tersebut seiring dengan kondisi pemerintahan yang berlaku. Praktik korupsi pada masa orde lama tidaklah tercium karena kondisi politik dan ekonomi pada saat itu belumlah stabil. Berbeda halnya pada masa orde baru praktik korupsi lebih banyak dipertontonkan para elit negeri ini. Orde baru dengan penerapan sistem perekonomian yang berorientasi pada karakteristik “top down” mengakibatkan praktik korupsi berkutat di wilayah Presiden dan para kroni-kroninya. Tingkat kesejahteraan juga hanya berputar di pusat.
Setelah tumbangnya rezim orde baru semangat barupun tumbuh. Era reformasi membawa angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu perubahan yang sangat menonjol terlihat dari segi penyelenggaraan pemerintahan yang bukan lagi terpusat di Ibukota negara (sentralisasi). Politik sentralisasi kemudian mengarah ke sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi yang memberikan kewenangan besar kepada pemerintah daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri (otonomi daerah).
Pemerintah Daerah dan Praktik Korupsi
Semenjak politik desentralisasi diberlakukan pada bulan Januari 2001 telah membawa perubahan yang cukup besar bagi daerah dalam proses pengelolaan kekuasaan. Proyek politik desentralisasi telah memberikan “porsi” kekuasaan yang besar terhadap daerah. Implikasinya adalah kelompok elit politik lokal lebih memiliki akses dalam mengontrol sumber daya kekuasaan, dan lebih banyak terlibat dalam proses politik.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 merupakan dasar hukum berlakunya sistem desentralisasi. Pemerintah Daerah diberikan hak dan kewajiban dalam mengatur daerahnya sendiri (asas otonomi). Tujuan utama dari desentralisasi untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewahan suatu daerah. Pemerintah daerah dan DPRD menyelenggarakan tugas pemerintah dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya.
Kekuasaan besar yang dimiliki pemerintah daerah, sangat rawan untuk disalahgunakan. Lord Acton seorang bangsawan Inggris terkenal dengan kalimat pendeknya mengemukakan “kekuasaan cenderung korup”. Diktum ini sesuai dengan wajah penguasa dengan konsep desentralisasi sekarang ini. Desentralisasi telah membentuk “Raja-Raja” baru di daerah. Pihak eksekutif maupun legislatif (DPRD) telah melakukan perselingkuhan dalam melanggengkan praktik korup. Dua lembaga yang memiliki otoritas dalam hal mengatur dan mengelolah anggaran.
Fakta tumbuh suburnya praktik korupsi yang dilakukan pemerintah daerah dapat juga dilihat berdasarkan laporan Dr. M. Umar Hasibuan (Staf Khusus Menteri Dalam Negeri) juga mengemukakan bahwa aktor utama terjadinya praktik korupsi di daerah dilakukan oleh Walikota/Bupati. Sejak tahun 2004-2011 tercatat 16 wali kota/plt wali kota menjadi tersangka, 1 wali kota menjadi saksi, dan 8 wakil wali kota terkait dengan dugaan kasus korupsi di masing-masing daerah kekuasaannya. Pada kurun waktu tersebut 84 Bupati dan 19 wakil Bupati tersangkut dengan kasus korupsi. Keseluruhan kepala daerah/ wakil kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dalam kurun waktu 2004-2011 ada 128 orang.
Praktik korupsi yang dipertontonkan pemerintah daerah (Walikota/Bupati) telah berjalan cukup lama. Kontrol kekuasaan yang dimiliki telah dipergunakan sedemikian rupa untuk merampok uang negara. Kepiawaian kepala daerah dalam melakukan praktik korupsi, “berbanding lurus” dengan praktik korupsi yang dilakukan anggota DPRD. Hal tersebut dapat dilihat dari temuan Indonesian Corruption Watch (ICW). Lembaga penggiat antikorupsi ini, pada tahun 2010 merilis data anggota legislatif/ DPRD yang melakukan praktik korupsi sepanjang tahun 2004-2009 berjumlah 1.243 anggota.
Praktik korupsi yang massif di daerah telah dilakukan kepala daerah dan anggota DPRD secara berjamaah. Modus praktik korupsi yang dilakukan juga bermacam-macam. Persekongkolan mereka dalam “menganggarong” uang daerah terdiri dari beberapa modus. Pertama, penyelewengan uang anggaran APBD. Modus ini dilakukan dengan menilep uang APBD dengan merekayasa pos-pos penggunaan anggaran. Misalnya pos eksekutif direkayasa sedemikian rupa sehingga disulap menjadi pos legislatif.
Kedua, penggelembungan atau mark up terhadap dana proyek. Dana proyek pembangunan dianggarkan sangat tinggi dari nilai yang sesungguhnya, sehingga selisih anggaran tersebut “ditilap” oleh eksekutif dan legislatif. Keempat, biaya operasional fiktik. Salah satu modus operandi ini banyak dilakukan pada dana kunjungan kerja atau studi banding. Hasil kunker atau ngelencer tersebut tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Kadangkala ada kunker fiktif, artinya tidak pernah dilakukan tetapi dana dicairkan dengan bukti fiktif, misalnya tiket pesawat fiktif.
Pencegahan Korupsi
Praktik korupsi telah menjamur di tanah air. Mulai dari Sabang hingga Merauke, korupsi melenggak-lenggok bagai penari. Korupsi bukan lagi perbuatan kotor pejabat di pusat. Akan tetapi, korupsi telah sampai ke pelosok-pelosok daerah. Korupsi telah menghancurkan seluruh tatanan yang ada.
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Suatu kejahatan sudah mendarah daging. Praktik korupsi merasuk kedalam lembaga eksekutif dan yudikatif. Serta telah mengobrak-abrik lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, langkah pencegahan (preventif) agar tidak terjadi praktik korupsi haruslah juga luar biasa.
Adapun langkah-langkah pencegahan agar praktik korupsi di daerah tidak tumbuh subur. Pertama, menumbuhkan budaya “malu” dalam diri setiap orang untuk tindak melakukan korupsi. kedua, menghapus Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 mengenai tindakan penyelidikan dan penyidikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus mendapatkan izin tertulis dari Presiden. Ketiga, tindak memilih calon Kepala Daerah dan anggota DPRD yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Keempat, mengucilkan pelaku tindak pidana korupsi dalam pergaulan di masyarakat.
Seharusnya kita semua mengapresiasi langkah KPK jilid III. Tindakan penangkapan anggota DPRD Riau hingga pencekalan Gubernur Riau. Skenario baru pemberantasan korupsi ala Abraham Samad. Ataukah pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu hanyalah slogan semata.