Hakim yang (Tidak) Agung

Pemilihan calon hakim agung sudah memasuki tahap finalisasi. Komisi III DPR meloloskan empat orang calon hakim agung, setelah melaui fit and proper test. Mereka nanti akan ditetapkan Presiden sebagai hakim agung, guna mengisi jabatan kosong di kamar pidana, dan perdata institusi pengadilan tertinggi dari semua lingkup peradilan di Indonesia.

Akan tetapi, dibalik penetapan calon hakim agung. Masyarakat sempat dibuat geger.  Pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung yang sebelumnya berjalan lancar, harus ditunda (18/9/2013). Seorang pewarta memergoki calon hakim agung diduga menyuap anggota Komisi III dari Fraksi Partai Kesatuan Bangsa Bachrudin Ansori. Meski berlomba-lomba membantah, insiden “lobi toilet” sudah tersiar luas.

Sumber: matanews.com

Sumber: matanews.com

Terlepas benar_tidak isu suap tersebut. Publik sudah menjatuhkan penilaian dan kembali mengukuhkan pernyataan pimpinan KPK Jilid III. Bahwa DPR RI merupakan lembaga legislatif terkorup se-ASEAN. Berdasarkan data dari tahun 2008 hingga agustus 2013, ada 34 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR ditangani KPK. Di saat yang sama, hajatan “mulia” yang diharapkan melahirkan hakim-hakim agung juga ikut tercoreng.

Ironi

Mahkamah Agung adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maka Mahkamah Agung merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Selain itu, Mahkamah Agung juga bertugas melakukan pengawasan penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan dibawahnya dalam melakukan kekuasaan kehakiman, pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. Serta berwenang member petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan disemua badan peradilan yang berada dibawahnya (vide Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun 2009).

Ironis rumah terakhir para pencari keadilan ini tidak jarang diterpah pemberitaan miring. Mulai dari sukses KPK jilid III dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) seorang pegawai Mahkamah Agung atas dugaan menerima suap dari pengacara Mario C. Bernardo terkait pengurusan kasus kasasi perkara Hutomo Wijaya Onggowarsito untuk selanjutnya diserahkan kepada seorang hakim agung.

Hingga dikabulkannya Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus korupsi BLBI Sudjiono Timan. Terpidana yang sebelumnya diganjar 15 tahun perjara karena dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dengan kerugian negara lebih dari Rp 2 Triliun.

Belakangan putusan kasus Sudjiono Timan melahirkan pro kontra khalayak umum. Majelis Hakim berdalih upaya PK sudah sesuai prosedur. Di lain sisi, penulis sendiri lebih sepakat atas pandangan bahwa putusan PK kasus Sudjiono Timan cacat hukum dan harusnya tidak diterima dari awal. Pertama, peninjauan kembali kasus ini diajukan melalui isteri Sudjiono Timan yang dalam kapasitasnya sebagai ahli waris. Padahal dalam perkara ini Sudjiono Timan masih hidup.

Berarti pihak yang mengajukan PK tidaklah terpenuhi. Sejalan dengan Pasal 263 ayat 1 KUHAP menegaskan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Kedua, Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1998 kemudian diperbarui melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2012 disebutkan, Pengadilan supaya menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau pengacara yang menerima kuasa dari terdakwa/ terpidana yang tidak hadir (in absentia) tanpa kecuali. Artinya permintaan isteri atau kuasa hukum Sudjiono Timan seharusnya di tolak karena nama terpidana sudah lama masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).

Sistem Rekrutmen

Buruknya citra penegak hukum di institusi Mahkamah Agung, tentu tidak bisa dilepaskan dari sistem rekrutmen para hakim-hakim agung. Hal tersebut karena sebelum ditetapkan oleh Presiden menjadi hakim agung, haruslah terlebih dahulu nama calon diusulkan Komisi Yudisial kemudian dipilih Dewan Perwakilan Rakyat melalui proses uji kelayakan dan kepatutan.

Pada saat proses fit and proper test inilah yang menjadi biang_keladi bobroknya hakim agung. Praktik suap_menyuap guna meloloskan calon hakim agung sering mewarnai seleksi. Anggota DPR lebih memilih calon hakim agung berdompet tebal dibandingkan kualitas. Padahal seyogianya seorang hakim agung haruslah memiliki integritas, kepribadian tidak tercela, adil, professional dan berpengalaman di bidang hukum.

Selain itu proses pemilihan calon hakim agung di komisi III DPR berpotensi disusupi  kepetingan partai politik. Anggota komisi tentu lebih memilih calon yang nantinya bisa “mengamankan” diri dan kolega.  Apalagi sudah menjadi rahasia umum, banyak kader partai politik terbelit kasus korupsi.

Oleh karena itu agar tidak tercipta “hakim agung boneka”, hakim yang setiap saat akan didikte partai politik karena tersandera pihak legislatif. Maka pemilihan hakim agung ke depan tidak boleh lagi melibatkan pihak komisi III DPR. Ingat, Mahkamah Agung merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, sehingga harus bebas dari  intervensi pihak manapun. (*)

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...