Inkonsistensi Pembatalan (Pasangan) CaKada di MK

PSU YALIMO

Sumber Gambar: jubi.co.id

Sungguh tak ada yang fenomenal dari seluruh Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) kepala daerah di MK hingga saat ini, selain kasus PHP Yalimo. Beberapa daerah, memang ada yang dikabulkan permintaan PSU gelombang keduanya, tetapi di sana tidak ada diskualifikasi peserta pemilihan dengan rentetan PSU seluruh wilayah, hingga pembukaan pendaftaran kontestan calon dan/atau pasangan calon baru.
Dalam penelusuran penulis, yurisprudensi terkait dengan diskualifikasi calon dan/atau pasangan calon di MK karena terbukti sebagai mantan terpidana yang pernah diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun. Hingga saat ini terdapat empat preseden yang dapat menjadi pembelajaran bagi pembentuk UU, tak terkecuali KPU sebagai pembentuk ius operatum UU Pemilihan di masa mendatang. Khususnya regulasi yang mengatur mengenai persyaratan calon kepala daerah yang berstatus mantan terpidana.

Pertama, kasus diskualifikasi pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Bengkulu Selatan atas nama H. Dirwan Mahmud dan H. Hartawan, S.H. (Putusan MK No 57/PHPU.D-VI/2008). Kedua, kasus diskualifikasi Calon Walikota Tebing Tinggi atas nama H. Mohammad Syafri Chap, tanpa ikut dibatalkan calon wakilnya, Ir. H. Hafas Fadillah, MAP., M.Si (Putusan MK No: 12/PHPU.D-VIII/2010). Ketiga, Kasus diskualifikasi Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Boven Digul atas nama Yusak Yaluwo, S.H., M.Si., dan Yakob Weremba, S.PAK (Putusan MK No: 132/PHP.BUP-XIX/2021). Keempat, kasus diskualifikasi Calon Bupati Yalimo atas nama Erdi Dabi, tanpa ikut dibatalkan Calon Wakilnya John W. Wilil (Putusan MK No: 145/PHP.BUP-XIX/2021).

Pembatalan Pasangan (Cakada)

Dari keempat kasus tersebut di atas, perbedaan mencoloknya terletak pada peserta pemilihan yang terdiskualifikasi. Kasus Tebing Tinggi dan Yalimo hanya pembatalan calon, sementara pada kasus Kota Waringin dan Boven Digul menggunakan mekanisme pembatalan pasangan calon.

Pertanyaan kompleksitas atas putusan demikian, apa sesungguhnya “rasio hukum” dibangun oleh mahkamah, sehingga terjadi defrensiasi perlakuan atas “peristiwa hukum” yang sama? Apa karena bersandar pada kuantitas pasangan calon yang masih tersedia, sebagai syarat pembatalan calon atau pasangan calon? Ternyata tidak juga, karena dalam kasus PHP Bengkulu selatan, pasangan calon dibatalkan dengan keadaan masih tersedia tujuh pasangan calon lain (meskipun enam paslon lainnya itu ditarik dari peserta pemilihan diputaran pertama sebagai peserta PSU).

Beda lagi dikasus PHP Kota Tebing Tinggi, meski kuantitas sisa empat pasangan calon, namun yang terjadi hanya pembatalan calon. Putusan Boven Digul samar-samar mundur selangkah ke Putusan PHP Bengkulu Selatan, meski masih tersisa tiga pasangan calon, yang terjadi malah pembatalan pasangan calon.

Lalu Putusan PHP Yalimo, kira-kira berkaca dimana? Satupun ketiga yurisprudensi sebelumnya tidak menjadi “stare decision” untuk Putusan MK No: 145/PHP.BUP-XIX/2021. Dalam putusan ini malah MK memerintahkan kepada KPU Yalimo untuk membuka pendaftaran kembali pasangan calon, sehingga terbuka kemungkinan adanya pasangan calon baru dalam pemungutan suara ulang.

Padahal jika mahkamah bersandar pada Putusan PHP Tebing Tinggi, maka PHP periode pemilihan serentak 2020 terkait dengan pembatalan calon yang berstatus terpidana di MK, setidak-tidaknya inkonsistensi itu mustahil terjadi. Dengan catatan, untuk PHP Boven Digul seharusnya yang dibatalkan hanya calon Bupati Yusak Yaluwo, dan kepada calon wakil Bupati Yakobus Waremba diberi kesempatan untuk melakukan Penggantian Calon Bupati untuk menjadi peserta pemilihan dalam gelaran PSU yang diperintahkan MK.

Berbanding lurus dengan itu, di PHP Yalimo, sudah tepat pembatalannya hanya berlaku untuk Erdi Dabi sebagai Calon Bupati, namun ketidaktepatannya mengapa MK tidak memerintahkan kepada KPU Yalimo untuk memberikan kesempatan kepada John W. Wilil mencari pengganti Calon Bupati yang baru. Tidak perlu MK memerintahkan pembukaan pendaftaran pasangan calon yang baru, karena dengan adanya penggantian calon tersebut dapat dipastikan Lakius Peyon – Nahum Mabel akan menemukan pasangan kontestasinya.

Pilihan semacam ini, tidak hanya bersimbah untung buat John W. Wilil, juga dapat memberikan jaminan kepastian bagi Lakius Peyon – Nahum Mabel. Sebab semua parpol pendukung, baik yang sepuluh parpol pengusung LaHum maupun tiga parpol pengusung ErJon tidak ada kesempatan lagi menarik dukungannya. Pendek kata, seandainya pilihan ini yang digunakan oleh MK, maka potensi “jual perahu” gelombang kedua otomatis dapat pula terproteksi.

Kesimpulan akhirnya, meskipun MK memerintahkan PSU untuk seluruh wilayah, tidak ada masalah dalam hal terjadi pembatalan calon. Sebab sejatinya memang berkali-kali demikian sikap mahkamah. Konsisestensi yang harus dipertahankan, selagi terjadi keadaan hukum salah satu calon dari pasangan calon tertemukan sebagai mantan terpidana, maka tindakan yang harus dilakukan adalah pembatalan calon diikuti dengan penggantian.

Putusan PHP Yalimo yang telah mengisi “kekosongan hukum” atas keadaan baru, salah satu calon terbukti sebagai terpidana sebelum PSU. Sudah pasti akan menjadi PR bersama para teoritisi dan praktisi hukum. Di masa mendatang, apakah preseden yang telah diciptakan oleh MK ini dapat dijadikan sebagai “pedoman hukum” bagi pembentuk UU dan bagi KPU? Apakah KPU dapat mengambil keputusan juga diperiode-periode pemilihan berikutnya, berupa melakukan pembatalan calon, membuka pendaftaran kembali pasangan calon baru, dan PSU seluruh wilayah, dalam hal menemukan calon terpidana sebelum digelar PSU baik karena perintah MK maupun karena rekomendasi Bawaslu? Pilihan-pilihan semacam itu pasti sukar dilakukan, mengingat tahapan PSU dengan tahapan pendaftaran pasangan calon, akan membuka kembali tahapan sebelumnya yang sangat terikat dengan ruang dan waktu.

Dibatalkan atau Diberhentikan?

Satu dan lain hal yang tidak boleh pula terlupakan dengan Putusan PHP Yalimo ini. Seolah-olah keberlakuan pembatalan calon akan berlaku pula di fase antara penetapan paslon terpilih dengan pelantikan calon terpilih. Dengan memperhatikan salah satu pertimbangan MK yang menyatakan: “Dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dinyatakan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: …”. Hal demikian harus dibaca bahwa selama seseorang berstatus calon kepala daerah dan BELUM DILANTIK menjadi kepala daerah maka kepadanya terus melekat kewajiban untuk memenuhi syarat pasangan calon dimaksud (pragraf 3.15.1: Hlm 125 – 126).” Klausula pertimbangan ini dapat diartikan bahwa dapat saja calon dibatalkan, jika status terpidananya terjadi setelah KPU mnegeluarkan SK penetapan paslon terpilih dan belum dilakukan pelantikan. Pembatalan akan berubah dengan mekanisme pemberhentian kalau sekiranya calon berstatus terpidana setelah dilantik.

Tidakkah pertimbangan MK tersebut bertentangan dengan Pasal 164 ayat 8 UU Pemilihan: “Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap PADA SAAT pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota. Pasal ini dapat diartikan dalam dua makna: (1) Calon atau paslon yang berstatus terpidana setelah penetapan paslon – sebelum atau setelah pemungutan suara – sebelum pemungutan suara ulang – sampai dengan setelah penetapan calon terpilih tetap dilantik, lalu diberhentikan; (2) Calon berstatus terpidana yang bisa dilantik hanya calon yang status terpidananya bersamaan hari inkranya dengan hari pelantikannya, kemudian diberhentikan.

Berikut juga dengan Pasal 64 PKPU 9 tahun 2018: “Dalam hal SEJAK PENETAPAN PASANGAN CALON TERPILIH SAMPAI DENGAN PENGUSULAN PELANTIKAN, salah satu Calon terpilih ditetapkan sebagai terdakwa atau terpidana, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota mengusulkan pengesahan dan pelantikan terhadap Pasangan Calon dengan melampirkan bukti keterangan bahwa salah satu calon terpilih telah ditetapkan sebagai tersangka atau terpidana pada saat pengusulan Pasangan Calon.” Arti lebih lanjut pasal ini, mengisyaratkan bahwa kalau terdapat keadaan calon terpidana, diantara masa penetapan paslon TERPILIH sampai dengan hari pelantikan, tetap dilantik, kemudian diberhentikan.

Diantara pertentangan ketentuan-ketentuan tersebut. Saya berdiri pada pendapat bahwa kalau sudah penetapan hasil pemilihan ada calon yang terpidana maka tidak perlu dibatalkan, silakan ditetapkan sebagai paslon terpilih kemudian diikuti pelantikan, lalu diberhentikan. Begitupula kalau sudah ditetapkan sebagai paslon terpilih, baru salah satu calon dinyatakan terpidana, silakan juga dilantik, lalu diberhentikan.

Namun dalam hal setelah penetapan hasil pemilihan, ada perintah PSU, ada calon terpidana sebelum digelar PSU, calon dinyatakan batal. Dan lebih baik calon yang tersisa saja dipilih di PSU, menang suara silakan ditetapkan sebagai calon terpilih. Kemudian untuk wakilnya silakan dipilih dengan mekanisme UU Pemda. Pada keadaan-keadaan ini saya berbeda dengan Putusan MK di PHP Kota Tebing Tinggi dan PHP Yalimo. Ada calon terpidana sebelum PSU sangat sulit dilakukan penggantian, apalagi hendak membuka kembali pendaftaran paslon. Selain bisa mengganggu logistik surat suara, calon pengganti itu menjadikannya tidak memiliki kedudukan sederajat dengan pasangan calon lawannya pada soal popularitas berdasarkan kegiatan kampanye yang telah dilakukannya secara paripurna.

Pada titik ini, saya menerima dengan sepenuh hati ketentuan dalam Pasal Pasal 82 huruf e PKPU No. 3/2013 tentang Pencalonan Pemilihan (sebagaimana telah diubah dengan PKPU No. 9 tahun 2020 Perubahan Keempat PKPU Pencalonan Pemilihan): ”Dalam hal salah satu calon dari Pasangan Calon berhalangan tetap atau dijatuhi pidana berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 29 (dua puluh sembilan) hari sebelum hari pemungutan suara, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak dapat mengusulkan calon pengganti, salah satu calon dari Pasangan Calon yang tidak berhalangan tetap atau tidak dijatuhi pidana berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ditetapkan sebagai Pasangan Calon. (bandingkan dengan Pasal 54 ayat 7 dan Pasal 54 A ayat 2 UU Pemilihan)”

Dengan catatan perlu dilakukan revisi pula atas Pasal 90 ayat 1 huruf b PKPU No. 9 tahun 2020: PASANGAN CALON dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota, apabila PASANGAN CALON terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara PALING SINGKAT 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum hari pemungutan suara.

Dengan perubahannya yaitu: “CALON/PASANGAN CALON dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota, apabila CALON/PASANGAN CALON terbukti melakukan tindak pidana (HAPUS SAJA FRASA KEJAHATAN) yang DIANCAM PIDANA PENJARA 5 (LIMA) TAHUN (TIDAK PERLU MENGGUNAKAN FRASA PALING SINGKAT) atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum hari pemungutan suara. Kemudian dalam pasal selanjutnya harus dibuat ketentuan yang berbunyi, pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat di atas termasuk PULA pemungutan suara ulang.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...