Kado Tragis KPK di Hari Ibu Bernama Atut
Mari kita semua sepakat, bahwa kelebihan sekaligus anugerah terindah yang dimiliki oleh Ibu adalah sikapnya yang lemah lembut, perasa, perhatian, dan gampang sekali menaruh simpati terhadap siapapun. Demikianlah para psikolog bercerita ketika menguraikan kelebihan yang dimiliki oleh seorang ibu, cenderung berbeda dari sifat-sifat kebapakan yang didalamnya melekat sifat-sifat, seperti; keras, tangguh, tegar, dan lebih banyak menggunakan “logika” ketika bertindak dari pada menggunakan rasa yang peka.
Namun kesimpulan itu kemudian bertolak belakang dengan fakta yang terkuak saat ini. Kalau seorang ibu dikatakan lemah lembut, perasa, memiliki rasa simpatik. Mengapa ada seorang ibu menyimpang dari sifat-sifat dan kepribadiannya yang adikodrati ? Dialah Atut Chosiyah, Gubernur Banten kini telah ditetapkan sebagai tersangka, dan akhirnya pada hari “jumat keramat” kemarin, “diseret” ke Rutan Pondok Bambu, guna mempertanggungjawabkan segala perbuatan jahatnya. Dari perbuatan yang memalak hak-hak rakyat banten, hingga rakyat itu hidup dalam kepapa-an.
NASIB ATUT TRAGIS
Saya mengatakan tragis nasib Atut, berangkat dari beberapa perangainya selama ini, dia adalah satu-satunya gubernur perempuan yang pertama di Indonesia dicokok oleh komisi anti rasuah, jelas Atut mencatatkan namanya pertama kali dalam lembaran sejarah, Gubernur pertama yang harus merasakan kejamnya hotel prodeo KPK.
Atut juga akan meninggalkan segala kemewahannya selama ini, yang selalu tampil di hadapan para pendukungnya di rakyat Banten, dengan muka cingklong dan baju berharga ratusan jura rupiahnya, kini wajah dan tubuhnya hanya mencolok bajo orange bertuliskan “tahanan KPK. Polisi yang dulunya menaruh hormat, tunduk, kalau perlu berbungkuk kepadanya, pasca penetapan Atut oleh KPK sebagai tahanan Rutan Pondok Bambu, saat ini malah Atut yang harus patuh pada perintah polisi itu, yang mengamankannya dari serbuan dan kejaran para pemburu berita.
Rumah, mobil, dan perabot rumah tangga Atut yang dulunya serba mewah, juga ditinggalkan. Di bilik tahanan dia hanya sekali-kali bisa menanti makanan kesukaannya, yang serba mewah itu, kalau sekiranya anak dan menantunya, Airin rela mengantarkan segala jenis makanan faforitnya.
Boleh jadi , Atut malah merasakan derita lebih kejam dari pada kehidupan rakyatnya saat ini, yang pernah dibiarkan menderita. Rakyatnya yang sakit, kena gizi buruk, dan anak sekolah yang harus bertaruh nyawa bergelantungan di jembatan yang hanya tinggal seutas tali lebih bahagia dari pada kehidupan Atut. Anak bangsawan terkenal ini, dari seoraang ayah yang bernama Chasan Sochib, dia tidak bisa lagi mengirup udara segar, lebih dari kebiasaannya yang selama ini, hobi melancong ke berbagai pusat kota mode dunia, untuk menggenapi koleksi butiknya yang berharga ratusan juta rupiah. Maklum saja, kalau bahasa tubuh yang ditampilkan oleh Atut di layar para pemirsa, tampak sedih, mulut serba terkunci rapat, hingga wajahnya sedikitpun tidak ada sinar kebahagian. Shock kata itu paling tepat mewakili apa yanag ditampilkan saat ini. Mungkin, perempuan yang menjabat sebagai salah satu ketua KPPG-sayap politik Golkar- khusus membidangi perempuan itu sudah membayangkan sedari awal kejamnya para hakim Tipikor. Bukankah, kian hari saat ini, setelah Angelina Sondakh di Vonis 12 tahun penjara, para koruptor semua pada was-was, jantungnya pasti berdetak kencang, membayangkan para hakim Tipikor yang tidak mau lagi menaruh rasa ibah terhadap penilap uang rakyat. Atut tidak ketinggalan pun akan merasakan nasib yang sama dengan Angie, bahkan mungkin lebih kejam dari pada Angie yang sama-sama kaum Hawa telah menyimpang dari adikodratinya.
Nasib nahas Atut, tidak hanya berhenti di situ. Para kerabat, keluarga, dan koleganya di luar sana, tidak bisa tidur membayangkan kinerja KPK, yang akan membuntuti segala pernak-pernik Atut, siapapun yang terlibat, turut serta, membantu Atut, ikut andil mengumpulkan pundi-pundi kekayaan gubernur Banten itu, juga akan mengikuti jejaknya, akan bernasib sama, berakhir di Rutan Pondok Bambu. Mungkin Airin Rachmi Diany paling merasakan rasa was-was itu, dia pun pasti tahu kalau dirinya sedang dibidik oleh KPK.
Jika demikian yang terjadi, maka pertanyaan yang patut diajukan untuk semua keluarga Atut. Untuk apa para sanak keluarganya masih ada yang mencatutkan namanya sebagai calon anggota legislator di Republik ini ? Masih adakah kira-kira rakyat Indonesia, terlebih-lebih rakyat Banten yang akan menjatuhkan suara pada nama yang garis darahnya tercatat “warna dan golongan” darah Atut. Rasanya, dugaan kalau masih ada yang memilih para kerabat atut, mungkin tidak tahu parangai jahatnya seorang ibu, dari ibu pertiwi yang sedang dipimpinnya.
IBU PERTIWI
Dengan berpikir sederhana, tidak terlalu rumit, masih ada yang mengatakan perilaku dan perangai Atut tidak ada yang salah. Bukankah kewajiban untuk menafkahi sanak keluarga adalah perintah Tuhan yang sebagaimana difirmankan dalam setiap kitab-kitabnya. Tapi tunggu dulu, Atut tidak hanya menjadi Ibu untuk keluarganya, dia juga sudah diberi kepercayaan oleh rakyat Banten untuk menjadi “ibu” dari Provinsi tersohor itu. Atut seyogianya, jangan lupa kalau dirinya tidak hanya menjadi ibu untuk anak-anaknya, tapi dia juga ibu dari negeri yang dinamakan ibu pertiwi.
Sekiranya para Pelopor dan Panitia Pelaksana Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 -25 Desember 1928 masih hidup. Atut hanya akan digugat sosoknya sebagai ibu pertiwi yang membiarkan rakyatnya, hidup di negeri yang seolah-olah tak bertuan. Hal inilah yang bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh Atut jika dibandingkan dengan para perempuan pergerakan di zaman itu. Ada nama Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari, Ny. Soekonto, dan lain-lain, para perempuan dari seluruh Indonesia itu rela meninggalkan keluarganya demi memperjuangkan harkat dan martabat perempuan, lebih dari itu perkumpulan para tokoh perempuan tersebut, juga menyuarakan hak-hak akan kebebasan dari penjajahan, dan kesejahteraan untuk semua rakyat Indonesia.
Semoga kado tragis KPK, yang “meringkus” nama Atut di Rutan Pondok Bambu. Kelak, dikemudian hari mampu mengembalikan, merehabilitasi kemanusiaan Atut. Atut masih dimungkinkan kembali ke sifat adikodratinya. Ibu yang sebenarnya ibu, bukan hanya ibu untuk keluarganya, tapi juga ibu untuk bumi pertiwi ini yang bernama Indonesia. Jangan heran suatu waktu, kalau Atut dianugerahi umur yang panjang, meski umurnya waktu itu sudah uzur. Dia akan membaur, menjadi rakyat biasa, tanpa kemewahan, dengan mengabdikan seluruh hidupnya, hanya untuk kaum mustadhafin. Dirgahayu Hari Ibu. (*)