Kasus Yuyun, Kembalilah ke Hukum Pidana Islam

Eskalasi kejahatan seksual sebagaimana sang pelaku kerap dicap “predator seksual anak” ibarat puncak gunung es. Kadung hanya dimaknai seputar data beserta dengan angka-angkanya. Simaklah pada kekerasan seksual yang menyebabkan gadis belia asal Bengkulu itu mati mengenaskan, Yuyun. Lalu muncullah kejadian lainnya; ada di Manado, ada di Lampung, di Krawang, dst. Ringkasnya, satu persatu semua kejadiannya “mengerikan.”.

Bagai gayung bersambut, pemerintah akhirnya mengambil sikap. Ini sudah “darurat anak” sehingga setiap kekerasan seksual terhadap anak, manakalah pelakunya berasal dari golongan pedofilia dan/atau residivis, dapat dikenakan hukuman pemberatan melalui “kebiri kimiawi”.

Saya tidak menyalahkan sikap pemerintah dengan niatannya menerbitkan Perppu yang melengkapi Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), melalui hukuman “kebiri” bagi pelaku kejahatan seksual anak. Hanya saja, cukup disayangkan! Mengapa hukuman semacam “kebiri” berkiblat pada negara yang tergolong sekuler, diantaranya: Australia, Jerman, dan Rusia? Padahal lebih dari pada itu, negeri kita sendiri yang mayoritas Muslim, justru menjadi ironis di saat tidak mau kembali menerapkan syariat Islam dalam soal menuntaskan masalah kejahatan yang demikian.

sos-yuyun

Sumber Gambar: geotimes.co.id

Pidana Islam

Dalam tulisan ini, terkait dengan kematian Yuyun dalam dugaan tindak pidana pemerkosaan yang menyebabkan kematian. Kiranya terdapat beberapa hal yang perlu ditemukan jawabannya berdasarkan hukum pidana Islam: (1) Bagaimanakah hukum pidana Islam memandang batas umur anak sehingga dianggap dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya?; (2) Jenis kejahatan/pidana apakah yang terjadi dalam peristiwa tersebut?; (3) Bagaimanakah hukuman yang layak bagi sang pelaku?

Terlepas dari hukum pidana yang kita anut selama ini, pada hakikatnya hukum pidana Islam membatasi kemampuan bertanggung jawab atas jarimah berdasarkan “klasnya” masing-masing, yaitu: (1) Masa tidak adanya kemampuan berpikir (kesepakatan para Fuqaha, masa ini dimulai sejak lahir sampai berumur 7 tahun); (2) Masa kemampuan berpikir lemah (antara 7 tahun s.d 15 tahun); (3) Masa kemampuan berpikir penuh (15 tahun ke atas). (Hanafi, 1967: 398)

Pada kelas pertama, tidak dapat dijatuhi hukuman baik berupa pidana maupun pengajaran, hanya dapat dikenakan hukuman ganti rugi atas derita yang disebabkan oleh perbuatannya. Sementara pada kelas kedua, hanya dijatuhi hukuman pengajaran juga dengan pertanggung jawaban ganti rugi pula. Sedangkan pada kelas ketiga, barulah dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas jarimah yang diperbuatnya, tanpa memandang macam dan jenisnya jarimah-nya.

Kalau memakai standar di atas, maka ada kemungkinannya sebagian dari pelaku yang masih tergolong anak dalam kasus Yuyun, dihukum dengan pengajaran dan ganti rugi, dan sebagiannya lagi “kemungkinan besar” sudah dapat menjalani hukuman pidana

Secara pribadi, saya lebih sepakat pada ukuran dewasa berdasarkan usia balig seseorang. Yang dapat diindentifikasi, kalau laki-laki (sudah pernah mimpi basah), kalau perempuan sudah mengalami masa menstruasi. Sekiranya lebih rasional menerapkan standar ini, karena ukuran “biologis” jelas berpengaruh pada kematangan seseorang untuk berpikir dan menentukan pilihan. Ini sesuatu hal yang natural sifatnya, sehingga kalau terdapat anak berusia belia, andaikata sudah mengalami keadaan “balig” lalu melakukan kejahatan, hukamannya dikembalikan kepada sifat dan jenis kejahatannya saja.

Kembali pada kasus Yuyun, sebenarnya tidaklah sulit mengidentifikasi jenis kejahatan dari sang pelakunya. Terdapat dua jenis hukum dalam peristiwa itu, yaitu hukuman hudud dan  hukuman jarimah qisas.

Hukuman hudud-nya terdapat pada perbuatan pemerkosaan dan minum minuman keras. Pemerkosaan oleh hukum pidana Islam dipersamakan dengan perzinaan yang penghukumannya dapat melalui hukuman rajam, hanya saja korban tidak dapat dikenakan hukuman karena ia tiada bersalah. Sedangkan perbuatan minum-minuman keras dapat dijatuhi hukuman jilid/cambuk (40 jilid). Lalu, hukuman  jarimah qisasnya terdapat pada perbuatan sang pelaku yang menyebabkan kematian. Dengan demikian, bagi sipelaku harus dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya. ia dibunuh kalau membunuh.

Hukum Mati

Soal hukuman yang layak untuk diterapkan bagi si pelaku pemerkosaan hingga menyebabkan terjadinya kematian pada Yuyun. Banyak kalangan selalu bersilang pendapat, terutama pada konteks; si pelakunya ada yang masih berusia “anak” dan pelakunya juga melakukan perbuatan diawali dengan meneguk minuman keras.

Padahal kalau kita mau kembali pada hukum pidana Islam, semuanya bisa terjawab dengan sempurna. Anak sebagai sang pelaku kejahatan, silahkan mengukurnya berdasarkan klasnya masing-masing sebagaimana yang telah diuraikan di awal tulisan ini. Sedangkan pada pelaku dewasa, kenapa kita mesti ruwet berpikir? Bukankah perbuatan yang paling terberat dari peristiwa itu, adalah pada pembunuhan sengaja-nya? Sehingganya, hukuman yang pantas dalam ketentuan “syari” yaitu hukuman qisas, tepatnya hukuman mati. Bahkan kalau mau konsisten dengan syariat, seorang yang sudah dihukum mati pun, seharusnya jasad si pelaku “disalib”sebagai prevensi; biar  orang lain “takut”  melakukan kejahatan demikian.

Kita tidak perlu memperdebatkan dalam peristiwa tersebut, si pelaku melakukan pemerkosaan dan pembunuhan dalam keadaan tidak sadar. Toh seharusnya si pelaku sudah tahu kalau minum-minuman keras bisa berdampak pada perbuatannya yang mengancam kehidupan orang lain. Itulah sebabnya “khamar” dilarang/diharamkan karena jelas kerugian yang ditimbulkannya.

Di atas segalanya, kurang tepat kalau gara-gara kematian tragis dan mengenaskan bagi Yuyun. Lalu dijadikan sebagai alasan menerapkan hukuman kebiri bagi predator seksual anak. Sang pelaku bukan hanya melakukan pemerkosaan, tetapi juga pembunuhan. Sudah lebih dari cukup kalau diterapkan hukuman mati bagi setiap pelaku pemerkosaan sebagaimana dapat dikenakan hukuman mati bagi pelaku pembunuhan.

Memang pemerkosaan dalam kategori hukuman hudud, bukan hukuman jarimah qisas sebagaimana yang berlaku pada kejahatan pembunuhan. Tetapi dibenarkannya hukuman “rajam” bagi “pezina” tetap masih beralasan untuk menerapkan hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan, apalagi korban pemerkosaannya, adalah anak.

Predator seksual anak jangan dikebiri, tapi sebaiknya hukum mati. Demikianlah hukum pidana Islam, bukan sekedar hukum untuk manusia saja, tetapi semua demi meraih segala syafaat dan ridho Allah SWT. Wallahu A’lam Bissowab.*

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...