Negara Sebagai Subjek Hukum Internasional

Negara dalam sejarah perkembangan hukum inter­nasional dipandang sebagai subyek hukum terpenting (par excellence)3 dibandingkan dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya. Tentunya dalam kedudukan sebagai subyek hukum internasional maka Negara memiliki hak dan kewajiban menurut hukum internasional.

Menurut J.G. Starke 4 negara adalah satu lembaga yang merupakan satu sistem yang mengatur hubungan-hubungan yang ditetapkan oleh dan di antara manusia sendiri, sebagai satu alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang paling penting di antaranya seperti satu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. Pendapat senada juga dikemukan oleh Brierly yang mengatakan bahwa negara sebagai suatu lembaga (institution) merupakan suatu wadah di mana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya.5

Selanjutnya J.G. Starke6 menambahkan bahwa di dalam menggunakan istilah negara dalam hukum internasional, supaya diperhalikan hal-hal sebagai berikut:

“Harus dipisahkan dari pengertian bahwa seluruh manusia hidup di dalam suatu wilayah. Karena pada hakikatnya dalam satu wilayah terdapat banyak lembaga, dimana negara hanya merupakan salah satu lembaga yang ada. Harus dipisahkan dari pengertian sebagi suatu bangsa, hal ini dikarenakan bahwa tidak semua bangsa adalah negara, meskipun sekarang banyak negara dibentuk atas dasar kebangsaan atau nasional. Dalam sudut pandang sosiologis, bangsa adalah terminologi yang sering digunakan, sedangkan negara dianggap sebagai istilah yuridis. Umumnya istilah bangsa, negara, dan internasional dipergunakan dalam arti identik. Contoh: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang Sebetulnya merupakan perhimpunan negara-negara hukum bangsa-bangsa; atau biasa juga menggunakan istilah hukum antar-negara. Hukum antar-negara; dan dalam pergaulan internasional istilah-istilah tersebut memiliki arti sama dengan hukum internasional.”

Perkataan negara mengandung arti yang mungkin relatif dan dapat menimbulkan penafsiran ganda. Hal ini dikarenakan beberapa peristiwa yang terjadi dalam praktek internasional dimana diketemukan negara di dalam negara, misalnya Indonesia pada zaman Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan negara bagian yang di Amerika Serikat kemudian disebut negara, atau makna “Country” di Inggris yang tidak dikategorikan sebagai arti negara, atau sate provinsi di Swiss yang mungkin dapat disebut negara dan mungkin juga tidak.

Negara sebagai subyek hukum internasional dalam arti klasik hanyalah negara yang berdaulat penuh, atau negara yang tidak lagi tergantung pada negara lain. Anggapan semacam ini, masih berpengaruh hingga sekarang, di mana masih terdapat anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakikatnya adalah hukum antar-negara. Dalam arti modern subyek hukum internasional tidak hanya terbatas pada negara yang berdaulat penuh. Melainkan termasuk pula negara bagian, kanton-kanton (Swiss), protektorat (sudah dihapus dan diganti dengan Dewan Perwalian PBB), dan dominion (British Commonwealth).

Berangkat pada deskripsi negara sebagai subyek hukum internasional dalam arti klasik dan modern, pertanyaan terpenting yang kemudian menarik untuk dibahas adalah apakah terdapat definisi standar untuk menggambarkan apakah itu negara? Meskipun banyak sarjana yang mengemukakan definisi tentang subyek hukum inter­nasional, namun tidak ditemukan suatu standarisasi definisi mengenai subyek hukum internasional. Oleh karena itu, literatur awal yang dapat menjembatani gap tersebut adalah dengan kembali kepada Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933.7 Dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai hak­hak dan kewajiban-kewajiban negara (Convention on Rights and Duties of States of 1933) disebutkan karakteristik yang harus dimiliki oleh suatu negara untuk dapat dikatakan dan atau diakui sebagai negara, adalah: “Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: (a) penduduk tetap; (b) wilayah tertentu; (c) pemerintah; dan (d) kemampuan untuk melakukan hubungan-hubungan dengan negara-negara lain”.

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

Lahir di Bulukumba 2 Juli 1955, Menamatkan S1, S2 dan Program Doktor PPS Unhas 2003- 2008. Adalah Professor Hukum yang suka Sastra terbukti sudah tiga novel yang telah terbit dari buah tangannya: “Putri Bawakaraeng” (Novel) Lephas Unhas 2003; “Pelarian” (Novel) Yayasan Pena (1999); “Perang Bugis Makassar, (Novel) Penerbit Kompas (2011). Selain sebagai Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, Golongan IV B, 1998 hingga sekarang, juga menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas; Dosen Luar Biasa Pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar 1990-2003; Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unhas untuk mata kuliah Politik dan Kebijaksanaan Luar Negeri Cina serta Hukum Internasional 2002 – sekarang. Beberapa buku yang telah dipublikasikan antara lain “Sengketa Asia Timur” Lephas-Unhas 2000. Tulisannya juga dapat ditemui dalam beberapa Harian: Pedoman Rakyat (kolumnis masalah-masalah internasional), pernah dimuat tulisannya di Harian: Fajar dan Kompas semenjak mahasiswa; menulis pada beberapa jurnal diantaranya Amannagappa, Jurisdictionary dan Jurnal Ilmiah Nasional Prisma. Kegiatan lain diantaranya: narasumber diberbagai kesempatan internasional dan nasional, Narasumber Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Jakarta 1987; Narasumber pada Overseas Study On Comparative Culture And Government Tokyo (Jepang) 1994; Shourt Course Hubungan Internasional PAU Universitas Gajah Mada Yogayakarta 1990; Seminar Hukum Internasional Publik Universitas Padjajaran Bandung 1992; Seminar Hukum dan Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri RI Jakarta 2004. Juga pernah melakukan penelitian pada berbagai kesempatan antara lain: Penelitian Tentang Masalah Pelintas Batas Di Wilayah Perairan Perbatasan Indonesia-Australia Di Pantai Utara Australia dan Kepualauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Tahun 1989; Penelitian Tentang Masalah Alur Selat Makassar dalam Perspektif Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia. Gelar guru besar dalam Bidang Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin telah dipertahankan Di Depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin “Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)” pada hari Selasa 2 November 2010 (Makassar).

You may also like...