Pengertian Sengketa, Internasional Dalam Kasus Laut Cina
Sengketa perairan teritorial di kawasan Laut Cina adalah sengketa internasional (international dispute). Oleh karena itu sebelum tiba pada analisa yang lebih jauh mengenai sengketa perairan teritorial Laut Cina terlebih dahulu diungkap serba sedikit tentang sengketa internasional (International dispute) sebagai pengantar memasuki sengketa perairan-teritorial Laut Cina. Setalah memaparkan secara umum, gambaran sengketa-internasional, kemudian dianalisa, serara khusus model-model sengketa Laut Cina sebagai obyek pembahasan pokok dalam tulisan ini. Apalagi dalam penyelesaian sengketa internasional Laut Cina mempunyai ciri kekhususan berdasarkan pengamatan para akhli hukum internasional karena merupakan kombinasi penyelesaian sengketa hukum dan politik (to combined both settlement disputes Judicial and politic ).
Kesimpulan sementara dari rumusan para ahli mengemukakan bahwa sengketa internasional adalah sengketa yang melibatkan antara dua negara atau lebih terhadap suatu obyek yang dipersengketakan. Obyek yang dipersengketakan pada umumnya dapat berupa masalah kedaulatan negara, masalah perbedaan panutan ideologi dan persaingan dalam bidang ekonomi. Tanpa mengindahkan obyek sengketa internasional maka berdasarkan rumusan yang sempit ini, subyek sengketa internasional adalah negara. Negaralah yang dapat dikategorikan sebagai subyek dalam sengketa internasional. Sekalipun demikian beberapa ahli tetap melibatkan individu atau badan-badan hukum lain sebagai subyek dalam sengketa internasional. Starkemisalnya menuliskan bahwa timbulnya sengketa negara-negara pada umumnya dengan timbulnya sengketa antara individu-individu, kecuali akibatnya sengketa pertama dapat lebih berbahaya.
Sengketa internasional secara umum terbagi dalam dua jenis yaitu; sengketa dalam hukum internasional (legal dispute) dan sengketa politik (political dispute). Pembagian umum sengketa internasional ini sebenarnya merupakan pembagian yang cukup klasik, tetapi bertahan sampai sekarang. Dalam hal ini Oppenheims-Lauterpach mengemukakan bahwa:
“International differences can arise from a variety of grounds. They are generally divided in to legal and political. Legal differences are those in which the parties of the dispute base, their respective claims and contentions on ground recognised by International Law. All other controversies are usually referred to as political or as conflicts of interest.”
Lebih jauh dikemukakan: “Political and legal differences can be settled either by amicable or by compulsive meansMost State have now undertaken wide obligations in sphere of compulsory Judicial settlement.. The majority of then are bound by the obligations of the so-called optional clause of the Statute of the International Court of Justice and even more comprehensive commitments. But this instrument do not substantially affect the rule expressly affirmed by the court that no universal international legal duty as yet exist far state or settle their differences through arbitration or judicial process.”
Sebetulnya pandangan Oppenheims Lauterpacht di atas tidak memberi kejelasan yang tepat dimana letak perbedaan antara kedua sengketa hukum dan politik dalam skala internasIonal. Kekaburan yang lama juga dilakukan oleh sarjana-sarjana lain. Dalam praktekpun tergambar secara terang-benderang tentang bagaimana sesungguhnya penyelesaian sengeta menurut hukum (judicial settlement) dan penyelesaian sengketa secara politik. (Political settlement). Jika berpatokan dari cara penyelesaian untuk mengukur jenis sengketa maka kesulitan penting dari keduanya karena cara-cara penyelesaian sering terjerumus pada tumpang-tindih keduanya. Apalagi kadang-kadang penawaran penyeIesaian hukum tidak disepakati secara bersama.
Keputusan Mahkamah Internasionalpun sering tidak diindahkan oleh salah satu pibak. Sedangkan tindakan kekerasan hanya bisa dilakukan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan menurut penelitian Dewan Keamanan PBB pasal 34:
“The Security Counsil may investigate any dispute, or any situation which might lead to international friction or give rise to a dispute, in the order to determine whether the continuance of the dispute or situation is likely to endanger the maintenance of international peace and security”
Yaitu yang memang benar-benar membahayakan keamanan dan terciptanya perdamaian internasional.
Sekalipun timbul kekaburan dalam menganalisa secara parsial kedua jenis sengketa ini tetap beberapa sarjana mencoba memberinya perbedaan terutama patokan mereka pada tafsiran Piagam PBB. Sebagaimana dituliskan oleh Starke25 peraturan-peraturan dan prosedur yang telah diterima oleh hukum internasional berkenan dengan pertikaian itu sebagian berupa kebiasaan atau praktek dan sebagian merupakan konsepsi-konsepsi yang membentuk hukum seperti Konpensi Den Haag 1899 serta 1907, guna penyelesaian secara damai dari pertikaian-pertikaian internasional (Pacific Settlements of International Disputes) serta Piagam PBB yang dibuat di San Francisco 1945. Pandangan Starke ini kurang lebih banyak dijadikan patokan para ahli berikutnya sebagai sandaran untuk menganalisa sengketa hukum internasional utamanya kebiasaan-kebiasaan dalan praktek dan konsepsi hukum tentang sengketa internasional.
Apabila diambil pedoman pandangan di atas maka terutana dalan praktek dan konsepsi hukum landasan pokok yang pada umumnya dijadikan patokan para ahli untuk menganalisa sengketa hukum internasional adalah pasal.33. Bab VI Piagam PBB :
“The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution- by, negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice,” (ayat 1).
Patokan pasal 33 ayat 1 ini merupakan landasan secara umum dari keseluruhan Bab VI Piagam PBB yang disebutnya Penyelesaian Sengketa Secara Damai (Pacific Settlement of Dispute), dan menjadi analisa panjang para ahli.
Yang cukup mengesankan dari analisa-analisa para ahli hukum internasional adalah ditariknya semua konsepsi pasal 33 ini sebagian cara penyelesaian menurut hukum, tanpa mengindahkan bahwa terdapat anak kalimat dalam pasal ini mengenai penyelesaian secara hukum (judicial settlement). Dalam praktekpun seringkali beberapa unsur dalam pasal 33 diwarnai dengan “Solusi politik”. Terutama sekali dalam hal “seek a solution by negotiation and mediation”‘ kadang-kadang negara-negara yang menjadi penengah sering “berpihak,”. Contoh, kedudukan Amerika Serikat dalam menyelesaikan Perang Arab-Israel. Pandangan ini sesungguhnya cukup kontroversial karena dominasi penyelesaian, sengketa secara damai dianggap pula sebagai penyelesaian sengketa secara hukum.
Jika semua unsur yang terdapat dalam pasal 33 Piagan ini diterima sebagai patokan penyelesaian merurut hukum (judicial settlement) yang berarti timbulnya sengketa internasional yang berpatokan pada pasal ini, lalu sengketa politik itu bagaimana ?
Sengketa Politik Internasional
Tentang sengketa politik ini menarik dikemukakan catatan kaki; (footnotes) dari’ Oppenheims Lauterpacht bahwa sengketa politik apabila dipengaruhi oleh tiga kategori persengketaan yaitu:
- It may be based on the view that some disputes or political or, non-justiciable because owing to the defective development of International Law they can not be decided by existing rules of law;
- It may be grounded in the opinion that certa in disputes are “political” inasmuch as they affect so vitally the independence and sovereignity of States as to render unsuitable a decision based exclusively on legal considerations,
- It may have reference to the attitude of the partly putting forward a claim or a defence
Dengan demikian kiranya semua unsur yang tidak termasuk dalam kategori penyelesaian hukum dianggap sebagai sengketa politik. Dalam sengketa mengenai status kedaulatan negara kadang-kadang secara “politis” negara-negara yang bersengketa menempuh penyelesaian sendiri secara sepihak sebagai alasan untuk keutuhan wilayah dan kemanan nasionalnya. Oleh patokan Oppenheims-Lauterpacht inilah yang dijadikan acuan sarjana-sarjana berikutnya yang pada umumnya menganggap bahwa sengketa dengan jalan kekerasan adalah sengketa politik. Kekerasan tentunya dilakukan secara sepihak atau bersama-sama negara seide tanpa melibatkan negara lain sebagai lawan sengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara-cara militer sepihak dianggap jalan “politik” bukan hukum. Yang menarik lainnya dalam analisa Oppenheims Lauterpacht adalah apa yang ditulisnya tentang “a claim for a change in the law are disputes as to ‘conflicts of interest, and as such political and non-justiable.” Dengan demikian suatu tuntutan yang tadinya dalam kategori sengketa hukum dapat berubah menjadi ‘konflik berdasarkan keinginan sendiri’ dan dengan demikian terjerumus menjadi sengketa politik. Sebagai contoh kasus Teluk Sidra di Laut Tengah (Mediteranean) yang sebetulnya merupakan kasus hukum tetapi berubah menjadi sengketa politik (conflict of in terest) karena masing-masing pihak, baik Lybia maupun Amerika Serikat ingin menyelesaikan dengan caranya sendiri-sendiri. Kadang-kadang suatu konsepsi hukum hanya dijadikan sebagai dalih untuk kepentingan politik apabila masing-masing negara teIah terjerumus ke dalam suatu konflik. Amerika Serikat misalnya hanya menjadikan pasal 10 ayat 4 dan 5 Konvensi Hukum Laut sebagai dalih untuk menyerang Lybia dalam kasus Teluk Sidra. Dengan demikian perubahan solusi dari hukum ke politik sangat berpengaruh dalam suatu. sengketa.
Di Laut Cina pengaruh perubahan solusi semacam itu sangat potensial. Pengamatan-pengamatan para ahli memperhadapkan kita pada penganalisaan yang sama membingungkannya. Konteks penyelesaian hukum dalam praktek lebih nihil dibanding penyelesaian politik. Realitas politik, dalam penyelesaian sengketa di kawasan tampak lebih dominan. Seperti telah dikemukakan dalam bab pendahuIuan bahwa di Laut Cina selain masalah sengketa yurisdiksi negara-negara telah diperparah juga dengan perbedaan Ideologi politik dari negara yang saling bersengeta. Persengetaan dengan dasar ideologi mempengaruhi seputar kawasan yang membentang dari Selat Proliv-Semenanjung Kamchatca di Utara Timur Laut sampai ke kizaran Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Seperti telah diketahui bahwa ideologi yang saling berhadap-hadapan di sepanjang kawasan Laut Cina adalah dasar ideology sosialis-komunisme dan kapitalis-liberalisme. Persilangan dasar ideologi ini banyak berpengaruh terhadap keseluruhan implikasi perimbangan politik di kawasan Asia-Pasifik.
Yang menarik terhadap studi sengketa politik di Laut Cina ini adalah terdapatnya persilangan sengketa dasar ideologi politik ini pada sepanjang garis pantai sehingga seorang ahli politik Amerika Serikat George F. Kennan mengeluarkan teorinya yang terkenal yang disebut “Rimland Theory” (teori daerah pinggiran). Teori ini mengemukakan bahwa pengaruh-pengaruh politik dasar pantai di Laut Cina (coastline political influences) sangat bergantung dari dua sisi yang sama berat. Sisi satunya yaitu pendekatan posisi daratan. (Mainland position approach) dimana akar tunggang komunisme bertumbuh. Dengan demikian dalam posisi daratan ini terdapat negara-negara Uni Soviet yang bergaris pantai di Laut Jepang; Korea Utara yang bergaris pantai di Laut Jepang dan Laut Kuning; Republik Rakyat Cina yang bergaris pantai dari Laut Kuning, Laut Cina Timur sampai di Laut Cina Selatan; Vietnam yang bergaris pantai dari Teluk Tonkin di Laut Cina Selatan hingga Teluk Taiwan. Negara-negara yang menduduki posisi daratan ini semuanya menganut faham sosialis-komunisme. Sedangkan sisi yang satunya lagi yaitu pendekatan dalam posisi kepulauan (archipelago position approack) dimana akar kapitalis-liberalisme bertumbuh. Dalam posisi kepulauan ini, terdapat negara-negara Kepulauan Jepang di sisi. Timur Laut Jepang dan Laut Cina, Timur; Republik Cina Taiwan di Pulau Formosa di Laut Cina Timur; Negara Kepulauan Hongkong dan Macao di Laut Cina Timur. Kepulauan Pilipina di sisi Timur Laut Cina Selatan dan Malaysia Timur (Serawak) serta Brunei disisi Timur Laut Cina Selatan. Negara-negara kepulauan ini menganut paham non-komunis.
Rimland Theory inilah yang dijadikan landasan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dalles. (dimasa pemerintahan Presiden Eisenhower) tahun 1952, melakukan politik pengepungan komunisme yang terkenal dengan sebutan Containment Policy. Politik ini berusaha membendung pengaruh-pengaruh komunis meluas ke wilayah kepulauan di sepanjang Pasifik. Politik pembendungan ini ditancapkan dari Laut Jepang membentang sampai di Laut Cina Selatan. Akibat adanya pagar pembendungan politik ini tidak ayal lagi menimbulkan banyaknya insiden politik dan militer di kawasan. Provokasi yang dilakukan secara sporadis dan terus-menerus dari satuan-satuan angkatan laut dan udara Uni Soviet memasuki wilayah perairan dan udara Jepang di sepanjang Laut Jepang. Klaim Uni Soviet atas ketiga selat yang masuk kedalan perairan Jepang yaitu Selat Soya (yang menghubungkan antara Pulau Hokaido dan Kepulauan Kuril di Utara); Selat Tsugaru (yang menghubungkan antara Pulau Honsu dan Pulau Hokaido) dan Selat Tsushima (yang menghubungkan antara Pulau Tsushima yang diklaim Korea Selatan dan Pulau Shikoku) yang menganggap ketiga selat itu adalah selat internasional. Klaim Uni Sovet itu merupakan alasan politik karena hanya pada ketiga selat itulah kapal-kapal selamnya (yang bertenaga nuklir) bisa Iewat memasuki Samudra Pasifik. Akibat lain dari containment policy ini adalah meletusnya Perang Vietnam tahun 1967 sampai dengan kekalahan Vietnam Selatan tahun 1974. Perang Vietnam ini dapat dipandang sebagai insiden politik dan militer yang paling berdarah dan paling bersejarah di Asia Pasifik dan Timur Jauh.
Yang cukup menarik adalah terjadinya alur (trend) negara-negara komunisme di daratan Laut Cina dalam paskah Perang Vietnam. Terjadi konflik Sino-Soviet dan Sino-Vietnam. Perubahan alur ini membuat Amerika Serikat mendekati Cina apalagi dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia yang dianggap ancaman potensil dari strategi Amerika Serikat di Asia Tenggara. Cina mererima baik uluran tangan Amerika Serikat dan di sepakatilah suatu perjanjian hubungan baik antara Cina dan Amerika Serikat yang disebut Shanghai-Communique (Komunike Shanghai) tahun 1972. Isi dari Komunike Shanghai itu berbunyi:
- Kedua negara berhasrat mengurangi bahaya konflik militer internasional;
- Tidak satupun diantara mereka ( baik Cina maupun Amerika Serikat) akan mengusahakan hegemoni di Kawasan Asia Pasifik atau di sesuatu kawasan lain di dunia dan masing-masing pihak menentang usaha-usaha oleh sesuatu negara lain atau kelompok negara lain untuk membangun hegemoni semacam itu;
- Tidak satupun diantara mereka bersedia berunding atas nama sesuatu pihak ketiga, atau masuk kedalam persetujuan-persetujuan atau saling pengertian dengan lainnya yang ditujukan kepada negara lain;
- Amerika Serikat mengakui posisi Cina bahwa hanya ada satu Cina dan Taiwan adalah bagian dari Cina;
- Kedua belah pihak percaya bahwa pemulihan hubungan Cina-Amerika Serikat bukan saja demi kepentingan rakyat-rakyat Cina dan Amerika, akan tetapi juga memberikan sumbangan bagi usaha menciptakan perdamaian di Asia dan di dunia.
Walaupun telah disepakati Komunike Shanghai ini masih ada ganjalan dalam hubungan kedua negara yaitu mengenai Status Taiwan (pasal 4 dari Komunike). Apalagi dalam Komunike Bersama (Joint Communique) antara Amerika Serikat dan Cina pada Agustus 1982 disepakati tiga pasal mengenai Status Taiwan yaitu:
- here is but one China, and Taiwan is part of China;
- The Chinese on both sides of the Taiwan Strait should resolve their dispute peacefully;
- U.S. sales of militery equipment to the government on Taiwan should be for defensive purposes only, and should be reduced as the threat of the use of force to resolve the conflict recerdes.
Melihat kedua komunike di atas maka terdapat ganjalan yang sangat mendasar dari hubungan kedua negara yaitu masalah status Taiwan. Sampai hari ini Amerika Serikat masih segan melepas Taiwan sementara Cina terus-menerus menuntut agar Taiwan diserahkan pada Cina.
Akibat lain dari Komunike Shanghai ialah semakin memburuknya hubungan Cina dengan Vietnam. Seringnya terjadi konflik perbatasan antara kedua negara terutana serangan pasukan-pasukan Cina kedalam wilayah Vietnam pada 17 Pebruari 1979. Insiden-insiden berdarah antara Cina dan Vietnam sebetulnya telah ada ketika Cina melancarkan penyerbuan ke Pulau Hainan di Teluk Tonkin dan melakukan okupasi di pulau itu pada Juli 1974, penyerbuan itu kemudian dilancarkan sampai ke Kepulauan Paracel dan menduduki gugus kepulauan tersebut. Selain dari itu pula semakin memanasnya insiden-insiden perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan, tidak saja insiden-insiden di daratan, tetapi juga di laut yaitu Laut Kuning dan Laut Jepang.
Berdasarkan beberapa pemikiran di atas merupakan akumulasi untuk memasuki sengketa Laut Cina seperti telah dikemukakan di atas maka sengketa Laut Cina merupakan sengketa yang seringkali status hukumnya tidak jelas, disamping itu pengaruh solusi politik yang demikian besarnya. Beberapa wilayah yang sering menimbulkan kerawanan dan mengancam perdamaian serta keselamatan ummat manusia. Bukan saja masalah tuntutan wilayah kedaulatan yang berpengaruh besar atau merupakan faktor dominan dalam sengketa tetapi lebih dari itu faktor ideologi yang berbeda yang seringkali menimbulkan kesenjangan dalam penyelesaian sengketa di Laut Cina.