Urgensi Hak Asuh Ibu Untuk Dul
PERISTIWA naas, kecelakaan tol di Jagorowi minggu kemarin, yang menyeret nama Abdul Qadir Jailani (alias Dul), anak musisi Pentolan dewa 19 itu, merupakan puncak dari kesalahan pola asuh, yang terlalu cepat diambil alih oleh seorang ayah, walau pada kenyataannya, mulai dari Pengadilan Agama hingga MA (belum PK) hak asuh berada dalam kuasa Maia Estianti (ME), namun tetap dipaksakan agar ketiga anaknya (Al, EL dan Dul) yang menjadi pemegang kuasa asuh adalah sang ayah (Ahmad Dhani: AD).
Memang saya telalu cepat, gegabah mengambil kesimpulan ini, kalau AD dianggap gagal menerapkan pola asuh, agar sedianya sang aak yang masih perlu mendapat porsi kasih sayang (afeksi) dari ibunya. Dengan menolak eksistensi dari putusan pengadilan, supaya anak tersebut diasuh oleh seorang ayah. Kesimpulan saya ini masih perlu penelitian yang panjang agar menghasilkan kesimpulan yang logis, dan cermat. Namun yang pasti dari peritiwa itu, setidaknya dapat menjadi pelajaran berharga buat kita semua. Agar tidak boleh mengabaikan, kenapa ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 justru menegaskan kalau anak yang masih berumur mummayis (dibawah 12 tahun) selayaknya diasuh oleh ibunya.
Tender Years
Dalam ilmu psikologi ada yang disebut tender years. Yakni suatu fase diimana anak masih berada dalam tahun-tahun yang rentan. Rentan disini bisa dimaknai seorang anak yang masih berada dalam standar dibawah umur, rentan dapat bersikap, berperilaku, yang membahayakan dirinya sendiri, dan puncaknya juga dapat membahayakan orang lain.
Di akhir abad ksembilan belas istilah tenders years dianggap sebagai sebuah doktrin, yang lebih mengutamakan pengusaaan hak asuh hanya untuk seorang ibu. Doktrin itu lahir berkat kasus antara People v. Hickey di Amerika Serikat. Salah satu pertimbangan dalam putusan atas kasus itu, menyatakan “bayi yang berada dalam tahun-tahun yang membutuhkan kelembutan secara umum akan tinggal dengan ibunya, selama tidak ada keberatan terhadap si ibu, bahkan meskipun ayah untuk memberikan kelembutan secara ilmiah dibutuhkan bayi, yang hanya dapat diberikan oleh ibunya, dan aturan ini akan berlaku lebih keras di dalam kasus anak-anak perempuan dengan umur lebih lanjut.” (Einhorn, 1986; Constanzo, 2000).
Mari kita lihat, pada kasus yang terjadi pada rumah tangga AD dan ME. Sikap ME yang tidak mau membiarkan anaknya masuk dalam pusaran perkelahian kedua orang tua. Akhirnya ia dengan sukarela melepas ketiga putranya, kuasa asuh berada dalam kuasa AD. Pun dengan seraup kekayaan AD, semua kebutuhan materi, dapat dipenuhi untuk ketiga anaknya. Ketiga anaknya dihadiahi masing-masing satu mobil mewah.
Nampaknya, internalisasi kasih sayang orang tua, tidak cukup hanya dengan setumpuk materi saja, melainkan juga kasih sayang seorang ibu. Ingat, “kelembutan hati”, sentuhan jemari, sentuhan kasih seorang ibu merupakan sesuatu yang adikodrati, hanya bisa dimiliki oleh seorang ibu, yang berjenis kelamin perempuan.Meskipun anak laki-laki, tetap signifikan untuk mnegatakan, dia juga memerlukan kehangatan dan kelembutan ibu, yang lebih dapat mempoisisikan, menjadi bahagian diri dengan anakanya, menjadi miliknya (belonging to). Sembari “rasa” yang bermain dalam diri sang ibu. Adalah keunggulan, sebuah kurnia, anugerah Tuhan yang dapat disalurkan melalui metode diskusi kepada anak-anaknya.
Memang doktrin hak asuh tunggal (hanya hak asuh ayah atau hanya hak asuh ibu). Di era abad kedua puluh mulai mengalami pergeseran, sudah banyak peneltian yang mengutarakan, banyak juga ayah yang berani mengasuh sendiri, putra-puterinya, tapi itu hanya sebahagian kecil. Rata-rata mereka yang mengasuh anaknya kemudian berhasil sehingga anaknya menjadi dewasa. Ditemukan mereka adalah ayah yang dulunya diasuh oleh nenek atau ibu tunggalnya (single parent). Oleh karena itu dalam konteks ini, lagi-lagi keterlibatan sang ibu, dengan jiwa ibu yang cenderung perasa, lagi menggunakan hatinya, diturunkan terhadap metode mendidik anak dari ayah tersebut.
Oleh karena didominasi perasaan yang lebih banyak mendominasi seorang perempuan, maka dengan sendirinya, cenderung memiliki kecemasan (boleh dikatakan berlebihan), selalu was-was, sehingga selalu “takut” atas kondisi anaknya ketika di lepas tanpa pengawasan oleh dirinya, atukah orang yang dapat memberi kepercayaan atas keselamatan anaknya.
Bandingkan misalnya cirri khas seorang laki-laki (posisi ayah) lebih cenderung untuk menggunakan pikiran (mind, brain). Kalau anaknya tidak pulang-pulang ke rumah, seorang ayah tidak memiliki efek kecemasan yang berlebihan, paling dikatakan; “mungkin saja dia sedang bermain dengan teman-temannya, sedang jalan-jalan ke Mall, dan seterusnya.”
Logikanya, merupakan sifat pembawan yang alami, urgensi hak asuh ibu yang tidak bisa ditawar-tawar. Untuk mengatakan dalam posisi mengasuh anak, kalau seorang ibu lebih ketat (sangat ketat) atas kondisi, keselamatan fisik dan jiwa anak-anaknya. Dibandingkan seorang ayah, yang jauh lebih memberi kepercayaan terhadap anaknya kalau anak itu dapat sendiri mengurus dirinya.
Pelajaran
Akhirnya kesimpulan sementara, dapat dibangun, kalau sedianya ketiga anak ME dan AD, berada dalam kuasa hak asuh ME, saya berani mengatakan tidak mungkin akan dibiarkan anaknya (Dul) lalu-lalang di luar kota, tidak pulang secepatnya pada saat malam begitu larut, apalagi membiarkan anaknya yang masih berumur 13 tahun membawa mobil di tengah keramaian.
ME akan sangat ketat merawat anak-anaknya, mungkin dia akan menelephon anaknya misalnya, dengan bertanya “kenapa belum pulang”, ataukah kalau hal itu tidak bisa mengetahui keberadaan anaknya belum pulang juga, maka akan dihubungi semua teman-teman dekatnya, hanya untuk mengetahui kondisi anaknya itu.
Hingga kini Dul, kian hari kondisi kesehatannya juga sudah membaik dalam perwatan pasca menjalani operasi berkali-kali. Ditemani oleh ibu tercintanya, Maia Estianti. ME tidak juga terjebak dalam konflik rumah tangga, semua dilakukan demi kepentingan terbaik atas anaknya (the best interest of the child). Yang jelas, dari kasus perebutan kuasa hak asuh anak, AD dan ME yang pernah terjadi pasca perceraian keduanya. Patut menjadi pelajaran untuk kita semua. Jangan pernah abai, menyepelekan posisi seorang ibu, dalam menerapkan pola didik asuh yang lebih istimewa dibandingkan oleh seorang ayah. Ibu adalah permata untuk anaknya, demikianpun sebaliknya. Tidak salah untuk mengatakan keistimewaan didikan seorang ibu untuk anaknya, tidak hanya akan memberi manfaat untuk anakanya saja, melainkan dunia yang terbuka, ajaran untuk menebarkan cinta kasih, semua diperoleh dari “adikodrati” sang ibu yang berhasil mendidik anaknya.
Dalam kasus kecelakaan maut yang menelan korban hingga 7 orang di jalan tol Jagorawi minggu kemarin, saya ingin mengatakan ini adalah awal dari sikap acuh tak acuh, mengabaikan kalau seorang ibu lebih dapat dipercaya merawat dan mengasuh anaknya dibandingkan seorang ayah. Oleh karena itu, perkara perebutan kuasa hak asuh anak (child custody) antara ME dan AD dapat membuka mata lebar, sang hakim yang mengadili kasus tersebut, yang sudah sampai pada tahap peninjuan kembali (PK). Peritiwa kecelakaan ini merupakan fakta hukum, fakta psikologis, memang sang ibu lebih pantas didahulukan untuk mengasuh anakanya kalau anak itu masih di bawah umur.