Cegah Money Politic di Hari (H) Pilkada

Hari (H) Pilkada dalam tahap “pemungutan suara” di 269 daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak pada akhir tahun ini, kini sudah dipelupuk mata. Pun tensi politik Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah makin saja menggeliat. Laku curang dalam bentuk “suap politik” uang (money politic) untuk pemilih, sepertinya masih menjadi “tradisi” dari beberapa Paslon untuk memenuhi hajat kemenangannya. Padahal, kalau dikaji dari sisi hukumnya, terhadap tindak perbuatan tersebut sudah “dikrminalasasi” sebagai delik pemilihan (Pasal 73 UU Pilkada Junto Pasal 149 KUHP). Bahwa yang namanya “money politic” Pilkada bisa menjerat baik Paslon/tim kampanye, maupun Pemilih.

Kendatipun demikian, ditataran praktik (das sein) “money politic” masih banyak yang melakukannya. Karena konon, “apa yang salah bagi mereka untuk memoles dirinya?” Kalau juga itu adalah salah satu jalan sehingga bisa dikenal, disuka, dan akhirnya bisa dipilih. Pada poin ini, saya mencoba sepakat untuk sementara “membolehkan” meski merupakan perbuatan “haram” yang bertentangan dengan prinsip “bebas” dari anak kandungnya demokrasi.

Akan tetapi soalnya kemudian menjadi lain, setelah perhelatan pemungutan suara. Memetik hikmah dan pelajaran dari Pilkada sebelumnya, maka sudah dipastikan banyak yang terang-terangan “kalau Paslon tertentu (biasanya Paslon pemenang) telah terlibat dalam bagi-bagi uang untuk pemilih”. Ingat! Nada protes ini biasanya banyak dilakukan oleh Paslon yang kalah.

Di sinilah yang menjadi penting untuk ditelaah sebagai “legal issue” yang akan menyandera proses penyelenggaraan Pilkada, untuk menobatkan Kepala Daerah yang benar-benar terpilih secara demokratis. Pilkada menjadi tidak demokratis, disebabkan oleh pemerosesan hukum untuk tindak Pidana Pemilihan “money politic” mengalami kejanggalan dalam ketentuannya.

Kejanggalan yang terjadi terkait dengan money politic, andaikata terjadi pada hari (H) Pilkada, hari pemungutan suara: Pertama, UU Pilkada menyediakan waktu pemerosesan hukum untuk delik pemilihan “money politic” tidaklah kongruen dengan masa “penetapan hasil pemilihan” sebagai batas bagi KPUD mendiskualifikasi Paslon yang terbukti “perbuatan jahatnya” berdasarkan Putusan Pengadilan. Kedua, ada kemungkinan; lagi-lagi persoalan “money politic” ini dijadikan alasan oleh Paslon untuk menggugat di MK, bahwa telah terjadi penghilangan suara atas dirinya karena kecurangan oleh pihak pemenang secara: Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM).

Sumber Gambar: beritakotakendari.com

Sumber Gambar: beritakotakendari.com

Money Politic

Pada hakikatnya UU Pilkada yang berlaku saat ini bisa dikatakan “sedikit” mengalami kemajuan dibandingkan dengan ketentuan Pilkada sebelumnya yang digariskan dalam UU Pemerintahan Daerah (Pemda). Pengaturan tentang ketentuan “money politik” berdasarkan UU Pilkada sekarang, bisa mendiskualifikasi Paslon manakala terbukti “money politic” yang dilakukannya.

Tetapi kesempurnaan itu, tampaknya tidak terpikirkan ketika “tempus” delik pemilihan (money politic) dilakukan di hari pemungutan suara. Ketidaksempurnaannya nyata-nyata bisa terjadi dari rentang waktu penyelesaian perkara a quo hingga berkekuatan inkra di pengadilan.

Hal ini diperlukan kejelian dalam hitungan waktu untuk hukum pidana formil yang berlaku terhadap delik pemilihan; “money politic”. Bahwa memang benar adanya KPUD bisa mendiskualifikasi Paslon yang terbukti melakukan praktik bagi-bagi uang, tetapi dalam memperoleh “pembuktian hukum” itu, tidaklah semuda baginya membalikan telapak tangan. Sebab mengapa? Hukum pidana formil yang berlaku untuk delik pemilihan (money politic) dalam rangka memperoleh pembuktian hukum, menggunakan waktu yang lamanya bisa melampaui hari penetapan hasil pemilihan.

Paling tidak, proses penyelesaian delik pemilihan berdasarkan hukum acara khusus yang telah disedikan oleh UU Pilkada. Mulai dari penyelidikan, penunututan, Putusan Pengadilan (PN-PT) maksimal = 42 (empat Puluh dua) hari. Sehingganya, melalui analogi yang sederhana, taruhlah misalnya: pada tanggal 9 Desember 2015 nanti terdapat Paslon yang membagi-bagi uang untuk pemilih. Lalu pada esoknya, tanggal 10 langsung diproses oleh Penyelidik Tindak Pidana Pemilihan, dan ternyata diproses hukum = 42 hari, baru ada putusan inkra “menyatakan Paslon tersebut terbukti melakukan suap politik terhadap pemilih.” Dan Sebagai konsekuensi hukumnya: Dapatkah KPUD membatalkan/mendiskualifikasi Paslon itu kalau terbukti? Tentu tidak mungkin, sebab rentan waktu dari mulai diprosesnya perkara itu, justru bisa melewati waktu jadwal akhir “penetapan hasil pemilihan.”

Proses hukumnya yang memakan waktu 24 hari, dengan standar hitung dari tanggal 10 Desember 2015 hingga tanggal 23 Desember 2015 untuk rekapitulasi suara Pilkada Kabupaten/Kota —- dan tanggal 27 Desember 2015 untuk rekapitulasi suara Pilkada Provinsi. Lalu, diharapkan KPUD mendapat salinan “putusan pengadilan” sebagai dasar untuk mendiskualifikasi Paslon pelaku money politic, sudah pasti hari “penetapan hasil pemilihan” telah selesai.

Cegah Suap

Maka dalam konteks itu, andaikata terjadi gugatan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lagi-lagi MK akan diperhadapkan dengan gugatan TSM yang disebabkan oleh “suap politik” Pilkada. Penyebabnya, adalah KPUD yang bisa menyelesaikan permasalahan ini sebagai perkara delik pemilihan dengan seyogianya membatalkan Paslon tersebut, tetapi nyatanya tidak dapat dilakukan gara-gara waktu untuk mendiskualifikasi terbatasi oleh limit waktu hingga masa “penetapan hasil suara” saja.

Meskipun KPUD mendapat rekomendasi dari pengadilan atas putusan delik “suap politik” telah terbukti pada Paslon bersangkutan, tetapi kalau rekomendasi itu baru diperoleh setelah selesai masa penetapan hasil pemilihan. KPUD tidak bisa berbuat apa-apa. Dan MK mau tidak mau akan dibebani putusan: “akankah Ia menjadi pihak yang mendiskualifikasi Paslon pelaku suap politik itu.” Kalau memang diharapkan KPUD bisa mendiskualifikasi Paslon pelaku “money politic” walaupun Calon bersangkutan bisa menjadi pemenang mayoritas suara pemilihan, maka dibuthkan kerja sama yang baik antara Penyidik, Penuntut, dan Hakim Pengadilan atas delik pemilihan a quo. Dengan, secerdik-cerdiknya menghemat waktu dalam pemerosesan hukum delik pemilihan tersebut. Sehingganya, KPUD bisa mendapat legitimasi dari pengadilan secepatnya, demi mendiskualifikasi Paslon yang benar-benar telah mencoreng daulat rakyat pemilih. Alternatif terakhir, pun kalau kita “pesimis” dengan kinerja penegak hukum delik pemilihan ini, kita harus menolak (mencegah) disuap oleh Paslon. Sebab “pemilihlah” yang menjadi “gerbong” terakhir, akan terselenggaranya Pilkada secara demokratis.*

Artikel ini Telah Muat Sebelumnya di Harian Tribun, 7 Desember 2015

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...