Darurat Kekerasan Hukum Terhadap Anak
Sebuah fakta yang bertolak belakang dalam memperingati hari anak sedunia, yang jatuh pada setiap tanggal 20 November. Entah, di wilayah mana lagi, ancaman kekerasan terhadap anak selalu menghantui. Berbagai peristiwa kekerasan terhadap anak selalu memenuhi pemberitaan, ada kekerasan fisik, ada kekerasan seksual, dan ada perbuatan yang sulit dicerna akal sehat kita, dalam suatu peristiwa seorang ibu yang tegah membunuh anak kandungnya sendiri.
Saat mana lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat selalu menjadi lingkungan yang menyeret anak dalam wajah berdimensi kekerasan, maka harapan satu-satunya hanyalah “hukum” dapat memberikan perlindungan. Tetapi apa lacur kemudian, “hukum” yang seharusnya berlaku “lembut” bagi anak, malah yang diberlakukan dalam penegakannya juga tampil dengan lex dura sed tamen scripta-nya (Undang-undang bersifat keras, sehingga tidak dapat diganggu gugat).
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA) hanya indah dalam teks, namun buruk dalam tata laksananya. Dinyatakan bahwa bagi anak pelaku tindak pidana atau Anak Berkonflik Hukum (ABH), pun kalau hendak dijatuhkan pidana penjara kepadanya hanyalah alternatif terakhir (ultimum remidium).
Itu artinya, kalau terdapat ABH yang tidak berhasil melalui proses diversi di tahap penyelidikan/penyidikan dan penuntutan, sehingga harus melalui tahap persidangan, maka menjadi wajib bagi hakim tunggal yang mengadili kasus ABH untuk mendahulukan sanksi tindakan, dari pada sanksi pidana penjara. Atau dengan kata lain, dalam suatu pengadilan anak seharusnya vonis yang mayoritas bagi ABH, lebih banyak sanksi tindakan dari pada sanksi pidana penjara.

Sumber Gambar: solopos.com
Syarat Penghukuman
Selama ini alasan penghapus pidana dikostatasi dalam dua keadaan, yaitu alasan pemaaf dan alasan pembenar. Khusus untuk ABH, tidak semuanya dapat dijatuhi hukuman yang bersandar pada alasan pemaaf atas ketidakmampuannya bertanggungjawab secara pidana. Anak yang belum dewasa (dibawah 12 tahun) oleh UUSPPA ditempatkan dalam kategori masa ketidakmampuan berpikir. Determinisme pemidanaan memberikan kualifikasi kepada ABH bersangkutan, bahwa kepadanya belum memiliki kehendak bebas untuk menentukan baik-buruk atau benar-salahnya dalam melakukan perbuatan pidana, sehingga mutatis mutandis kepadanya lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam hemat penulis mengenai batas umur ABH yang dapat dikenakan hukuman berdasarkan UUSPPA, dikenal dua syarat: Pertama, syarat mutlak yaitu syarat yang menjadi conditio sine quo non kepada hakim tunggal dalam mengadili kasus ABH yang berumur 12 sd. 14 tahun wajib menjatuhkan sanksi tindakan saja. Syarat penjatuhan hukuman ini pada hakikatnya tidak memandang jenis kejahatan yang dilakukan oleh ABH, apakah tergolong jenis kejahatan yang diperberat hukumannya, atau kejahatan khusus (seperti penyalahgunaan narkotika), asalkan usia ABH bersangkutan dikisaran 12 sd 14 tahun, mutlak hanya dapat dijatuhkan sanksi tindakan.
Kedua, syarat relatif yaitu syarat yang memberikan pilihan kepada hakim dalam menjatuhkan sanksi bagi ABH yang berumur 14 sd 18 tahun, apakah akan dijatuhkan sanksi pidana atau dijatuhkan sanksi tindakan setelah dipertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian.
Pun kemudian dengan syarat relatif penjatuhan hukuman ABH ini, tetap menjadi hal yang utama bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi tindakan, sebab sebagaimana digariskan dalam UUSPPA an sich, sanksi pidana (penjara) baru dapat diterapkan kalau sudah tidak ada jalan lain. Pidana penjara bagi ABH merupakan pilihan terakhir saja.
Mayoritas Dipenjara
Agak mencengangkan kemudian, dalam penelusuran penulis selama ini dari beberapa kasus ABH yang pernah divonis di Pengadilan Negeri Makassar. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, mayoritas ABH divonis dengan pidana penjara.
Tahun 2015 misalnya, terdapat 658 kasus ABH yang divonis dengan pidana penjara. Kemudian di tahun selanjutnya, yaitu tahun 2016 terdapat 641 kasus ABH lagi-lagi divonis dengan pidana penjara.
Darurat kekerasan hukum terhadap anak semakin terkonfirmasi jika angka penjatuhan pidana penjara tersebut disandingkan dengan angka penjatuhan sanksi tindakan, juga dalam kurun dua tahun terakhir. Ditahun 2015, sanksi tindakan yang dijatuhkan kepada ABH hanya 123 kasus. Lalu pada tahun 2016, sanksi tindakan yang dikenakan kepada ABH semakin menurun diangka dua digit, hanya 92 kasus.
Data kekerasan hukum terhadap anak yang penulis berhasil kumpulkan tersebut di atas, hanyalah bahagian kecil, dan tidak menutup kemungkinan kalau diakumulasi semua kasus ABH di seluruh negeri ini, angkanya bisa membengkak, jauh lebih besar dari perkiraan.
Harus menjadi perhatian bagi kita semua, opini publik dan opini hakim dalam bingkai keyakinan hukum, memiliki kesepahaman yang sama dalam ihwal penjatuhan sanksi bagi ABH harus mendahulukan kepentingan terbaik dan tumbuh kembangnya anak.
Berpijak dari asas hukum, tiada kesalahan tanpa kemanfaatan (geen schuld zonder nut), tiada gunanya menghukum anak pelaku tindak pidana yang belum atau kurang memiliki kemampuan berpikir penuh, sebab musabab natural biologisnya memang demikian. Peringatan hari anak sedunia kemarin, seharusnya pula menjadi koreksi bagi setiap hakim pengadilan anak, untuk memulai penegakan hukum ramah anak ditahun-tahun selanjutnya.*