Memuja Hukum, Mengutuk Bangsa Sendiri (Sebuah Renungan dalam Kasus Nurmayani)
Rilis berbagai media memberitakan kalau Nurmayani Salam yang berprofesi sebagai guru Biologi SMPN 1 Bantaeng itu (Sul-Sel), mendekam di bui gara-gara mencubit paha siswinya.
Ada yang menyayangkan penahanan Nurmayani, ada pula yang mengutuknya. Pun kondisinya kemudian menjadi dilematis, di satu sisi dengan mengaca dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), memang tindakan Nurmayani, telah salah. Namun di sisi lain dengan pijakan kerangka “etik moral” bangsa sendiri, terutama dalam budaya patron-klien kita sebagai nasyarakat timur, terlebih dalam suku Bugis-Makassar, mencubit seorang anak dengan tujuan ingin melihatnya menjadi anak berperangai “baik” justru dan kerap dianggap sebagai bagian dari pola mendidik anak.

Sumber Gambar: lapakpoker.net
Memuja Hukum
Pengalaman saya, sebagai anak kampung, lahir di sebuah pelosok desa amat terpencil. Dulu, seringkali saya menyaksikan seorang ibu rumah tangga memukuli anaknya yang masih belia, bahkan memukul paha anaknya itu hingga menjadi lebam, gara-gara ketahuan mencuri uang lima puluh rupiah. Entah kejadian seperti ini, masih sering terjadi di saat aktifnya gerakan perlindunga anak, tetapi yang pasti tindakan seorang ibu memukuli anak kecilnya, bukan karena kadar uang yang dicurinya, namun ini soal penanaman nilai kepada sang anak, kalau mencuri itu merupakan perbuatan tercela, dilarang, singkatnya itu perbuatan yang dapat diganjar dengan dosa.
Pertanyaan kemudian yang menggejolak dalam batin kita sendiri, kalau Nurmayani mencubit siswinya dengan maksud untuk menanamkan pula nilai kebakan; apakah wajar untuk mengatakan kalau Ia telah melakukan kekerasan? Lagi-lagi sulit menjawabnya, karena soal mendidik itu bisa dengan gaya kurasif, bisa pula dengan gaya persuasif.
Dan mahfumlah adanya, kalau ada yang mengutuk cara Nurmayani mendidik siswinya, dengan sepintas lalu memakai “kacamata kuda” hukum perlindungan anak yang notabene sebagai hukum positif kita. Yaitu hukum yang asalnya dari “Barat” yang kerap distigmatisasi amat sekuler.
Siapa yang bia menolak, kalau kita punya dokumen hukum perlindungan anak berikut dengan Undang-Undangnya banyak terpengaruh dengan Konvensi Hak Anak (KHA), United Nation Convention On The Right Of The Child (UCRC), yang juga telah kita ratifikasi? Bukankah genus dari Undang-Undang yang seringkali kita agungkan itu, asli produk Barat?
Entah lupa atau sengaja dibuat-buat lupa, mengarusutamakan Undang-Undang Perlindungan Anak yang sudah kita miliki saat ini, sama halnya dengan memuja dan menerima corak dan orientasi hidup Barat yang kental dengan paham individualistiknya. Namun kita mengutuk bangsa sendiri. Sungguh sangat bertolak belakang dengan karakter dan tradisi masyarakat kita sendiri, yang satu padu, komunal, tepo seliro, tolong-menolong, dan selalu bergotong royong.
Alih-alih lebih mementaskan pola asuh dan gaya mendidik, jangan sampai menganggangu keadaan fisik dan psikis anak-anak kita, tetapi ujuk-ujuknya melahirkan perkara yang lebih runyam lagi, sebab “anak” ditarik jauh dari relasi ketergantungannya dengan jasa seorang ibu, jasa seorang guru, yang seharusnya diganjar dengan balas budi.
Tak perlu kaget dan heran, kalau setiap hari kita disesaki dengan pemberitaan, seorang anak yang masih berusia belia tetapi terlibat dalam pemerkosaan, seorang anak yang tegah membunuh ibu kandungnya sendiri karena perkara butuh uang guna membeli gadget keluaran terbaru, seorang anak sudah berstatus siswa yang maha, lalu menikam dosennya sendiri hingga tewas karena dendam yang sedemikian sudah lama menggumpal.
Setiap perkara yang menyedihkan dan menyesakkan dada ini, tidak pernah disadari jikalau akar penyebabnya, karena interaksi antar sesama semakin menurun intensitasnya. Ada kalanya kita lebih senang untuk menghabiskan waktu berjam-jam dengan berselancar di dunia maya, di media sosial; kelihatan akrab, saling menyapa, bersenda gurau, sekali-kali dengan membuli kawan sendiri. Namun dibalik semua itu, dunia maya, media sosial, telah mencerabut rasa kebersamaan kita, telah mematikan rasa kasih sayang dan tepo seliro kita, telah membumihanguskan hati nurani, sikap memaafkan menjadi luntur karena hanya memelihara dendam, juga kebencian.
Sadari Secepatnya!
Andaikata rasa memiliki dan kebersamaan itu masih ada, tidak mungkin Nurmayani mendekam dipenjara, sebab keadaban kita mengatakan: bukankah berdamai itu lebih baik. Andaikata rasa keterikatan dan kasih sayang itu masih terpelihara, maka seorang siswi yang kena cubitan pun dari guru sekolahnya, ia tidak akan terguncang jiwa, dan bermanja-manja di depan orang tua kandungnya, agar guru yang telah menyiksanya diganjar dengan hukuman penjara.
Yang terjadi justru sebaliknya, anak-anak kita datang di sekolah hanya mengutamakan, cerdas secara intelektual, surplus kecerdasan kognitif tetapi minim kecerdasan emotif. Akibatnya apa? Tat kala anak-anak berkelahi dengan temannya sendiri, gurunya di sekolah yang ketimpa sial. Dengan nada sindir, ada yang pura-pura bertanya: kemana gurunya? Kenapa gurunya tidak mendidik siswa-siswinya dengan baik?
Bukan bermaksud saya membela Nurmayani Salam, bukan pula bermaksud membela siswi yang diduga menjadi korban kekerasannya. Tetapi ini soal matinya rasa kebersamaan dan kekeluargaan kita sebagai karakter khas bangsa sendiri yang telah tergantikan dengan pemujaan “hukum barat” sebagai hukum yang cenderung individual dan sentralistik. Akibatnya apa? Solidaritas sesama perlahan luntur, guru dengan seenaknya menghukum siswinya, melampaui batas kewajaran. Siswi dengan gampang memolisikan gurunya. Individualisme pula telah menjatuhkan kita dalam pusaran, setiap permasalahan harus berhadapan dengan polisi, penuntut, pengadilan, dan pemenjaraan.
Membela atau mengutuk Nurmayani, bukanlah karena kita terbawa dengan arus pemberitaan media. Bukan pula karena kita sangat memuja hukum positif kita, dengan segala prevensinya membuat seorang jera, tidak lagi mengulangi perbuatannya. Tetapi semuanya, kita harus sadari secepatnya, belumlah terlambat, bahwa mementingkan hak secara sendiri-sendiri, kasih sayang akan semakin luntur, kebencian akan berlipat-lipat, dendam akan semakin menggunung. Lalu, kita sebagai bangsa pemaaf, suka menolong, bergotong royong, kekeluargaan. Jangan-jangan hanya akan menjadi sejarah yang membuat kita tidak dapat lagi mengulanginya. Berhentilah memuja hukum, luangkan waktu belajar dari bangsa sendiri.*