Kebiri Menghancurkan Bahtera Rumah Tangga

Sanksi tindakan berupa kebiri kimiawi dan pemasangan cip dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.

Seperti itulah bunyi ketentuan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Anak, telah disahkan oleh Pemerintah beberapa hari yang lalu. Bahwa bagi pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang mana pelakunya residivis dan/atau perbuatannya menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, maka bagi pelaku dapat dikenakan hukuman kebiri.

Terdapatnya frasa “dapat” dalam ketentuan itu, menunjukan kalau hukuman “kebiri kimiawi dan pemasangan cip” hanya hukuman yang bersifat alternatif, terserah pada pertimbangan dan keyakinan hakim untuk menerapknnya.

Hanya saja, kalau ternyata hukuman tersebut diterapkan suatu saat, maka masa berlangsungnya hukuman kebiri kimiawi dan pemasangan cip, yaitu pelaku sudah berstatus sebagai mantan narapidana yang akan menjalani dua tahun pengebirian dan pemasangan cip di salah satu anggota tubuhnya.

Sumber Gambar: kompas.com

Sumber Gambar: kompas.com

Perceraian Vs KDRT

Yang membuat saya kemudian risau dengan hukuman semacam ini, tapi semoga saja kerisauan saya hanya mengada-ada. Terserah saja kepada pembaca menyikapinya. Bagaimanakah nasib eks narapidana dalam statusnya sebagai suami di hadapan istrinya kalau menjalani masa pengebirian selama dua tahun?

Sudah pasti tidak akan memberikan “nafkah batin” buat istrinya. Beruntung saja kalau istrinya masih penyabar. Namun kalau tidak, dengan alasan tak pernah lagi mendapatkan nafkah batin selama 6 (enam) bulan berturut-turut dari suaminya, ia mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan; apakah pengadilan dapat mengabulkan gugatannya? Bukankah tidak adil rasanya menjadikan “dengan tidak mendapatkan nafkah batin bagi istri” sebagai alasan perceraian, sebab sang suami sedang menjalani hukuman dari negara.

Itu baru satu dampak dari pengebirian terhadap seseorang. Mari kita sama-sama memposisikan diri dalam keadaaan menjalani bahtera rumah tangga, Bagaimana gelisahya seorang istri menatap suaminya, yang tidak bisa lagi merasakan bahagianya cinta dan kasih sayang diantara mereka. Ada kemungkinan sang istri menjadi marah-marah kepada sang suami yang disebabkan “factor x”, lalu suami pun berbalik marah, pertengkaran tiada lagi sulit terhindari.

Dan ujuk-ujuknya muncullah lagi satu kasus baru, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang akar persoalannya karena hukuman kebiri. Hukuman kebiri telah menimbulkan kekisruhan baru, KDRT, dan siapa yang bisa sangka, secara perlahan akan berakhir pula dengan perceraian.

Dari awal kita punya harapan, memunculkan hukuman kebiri agar tidak lagi terjadi kejahatan seksual terhadap anak di masa mendatang. Tetapi yang terjadi, nyatanya akan melahirkan lagi masalah hukum baru. Dan betapa kejamnya kita punya “hukum” andaikata mengahancurkan bilik-bilik keluarga yang tiada lain wajah kecil, wajah semu dari yang namanya negara.

Hukum, tidaklah pantas melahirkan kekacauan apalagi sampai merusak sendi dan piranti kebahagiaan dari akurnya pasangan sejoli, suami-istri. Hukum seharusnya hadir dengan meniadakan masalah, bukan melahirkan masalah baru.

Tidak ada yang menafikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, merupakan masalah yang meliputi jagat bangsa ini, dari tahun ke tahuan frekuensinya juga meningkat. Dapat dikatakan bahwa keadaannya yang menjadi perhatian, sama seriusnya dalam menanggulangi angka kejahatan kekerasan seksual terhadap anak yang gradasi kejahatannya tahun ini, cukup memiriskan hati.

Hukum Mati

Oleh karena itu, hukuman kebiri bukanlah solusi jitu dalam menanggulangi angka kejahatan preator seksual anak. Setidak-tidaknya, kalau masih terbuka pintu taubat bagi sang pelaku, mengapa tidak diefektifkan hukuman penjara? hukuman yang akan memasyaratkan narapidana pulih dari perilaku jahatnya.

Sebuah logika terbalik kalau ternyata dalam hukuman kebiri, setelah pelaku selesai menjalani masa pemidanaan, dimaksudkan untuk merehabilitasi dari keadaan “mental” dan sikap perangai jahatnya selama dua tahun. Tidakkah berhasil masa pemasyarakatan yang didalamnya sudah menjadi wajib untuk dilakukan; pembimbimbingan, pembinaan, reintegrasi, asimiliasi,  semuanya itu adalah  prosesi rehab narapidana.

Dengan mengebiri pelaku kekerasan seksual terhadap anak pasca pemidanaan, seolah-olah pemerintah mempertunjukan sendiri ketidakmampuannya untuk mengefektifkan masa “rehabilitasi,” sebab di luar penjara nyatanya masih berjalan rehab pula dengan adanya penghukuman kebiri dan pemasangan cip bagi eks pelaku kejahatan seksual terhadap anak itu.

Mengapa tidak diketatkan saja hukuman mutlak bagi pelaku tersebut, hukuman mati atau hukuman seumur hidup? Pun kalau ada “pemaafan” bagi pelaku bersangkutan, masih dapat dijalankan hukuman pidana penjara yang tidak perlu lagi membuka “diskresi” hakim. Terapkanlah sanksi pidana penjara langsung 20 tahun!, sebuah stelsel pemidanaan penjara mutlak (definite sentence), tidak boleh kurang, tidak boleh juga lebih.

Hukuman mati bagi predator seksual anak tidak akan meninggalkan luka dan derita berkepanjangan bagi suami-istri dalam bahtera keluarganya. Sebab toh pasangannya sudah meninggal, sang istri dengan luwesnya, tanpa batasan harus menggugat perceraian terlebih dahulu, ia bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik dari pasangannya yang dulu.

Gila dan lucu, tapi itulah kompleksitas kehidupan. Anak yang menjadi korban, pun akan terbebas dari rasa ketakutan, tidak akan lagi meninggalkan peristiwa traumatik, sebab pelaku yang telah merampas “masa depannya” dilenyapkan dari muka bumi.  Riwayat sang pelaku sudah tamat, dan negara tidak perlu pula pusing tujuh keliling memikirkan anggaran untuk mereka yang jahat ini.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...