Mengaktifkan (Kembali) Bupati Terdakwa
Tulisan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan politik ataupun konflik kepentingan yang (mungkin) terjadi di dalamnya. Bahwa terkait dengan perdebatan yang bergulir dari berbagai pemberitaan media online, media cetak, hingga media sosial, perihal vonis bebas Kepala Daerah (Bupati) nonaktif Kabupaten Barru, Andi Idris Syukur (AIS) dari Pengadilan Tinggi Tipikor Makassar, kiranya perlu diterangkan secara independen dalam perspektif hukum semata.
Terdapat dua kutub yang saat ini sedang menjadi kontroversi dalam kasus tersebut. Kutub pertama beranggapan AIS harus diaktifkan kembali dalam jabatannya sebagai Bupati Barru karena sudah ada vonis bebas dari Pengadilan Tinggi Tipikor Makassar. Kutub kedua beranggapan AIS harus tetap dalam keadaan penonaktifan sebagai Bupati Barru sepanjang belum ada vonis bebas yang berkekuatan inkra.

Sumber Gambar: inewstvmakassar.com
Syarat Pengaktifan
Persoalan hukum dalam ihwal Kepala Daerah yang dinonaktifkan karena berstatus terdakwa harus merujuk kembali ke Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), bukan lagi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Perubahan terakhir (revisi terbatas) UU Pemda tersebut, yaitu Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015.
Dalam kasus AIS, ia telah dinonaktifkan oleh Mendagri, walaupun penoaktifan itu dahulu, sebenarnya agak terlambat. Dan kini Bupati nonaktif itu telah di vonis bebas oleh Pengadilan Tinggi Tipikor Makassar.
Dapatkah AIS diaktifkan kembali ke jabatannya sebagai Bupati Barru mengingat putusan Pengadilan Tinggi menyatakan ia bebas dari tuntutan hukum? Jawabannya, harus diaktifkan kembali sebab memang demikian ketentuan yang mengaturnya. Untuk lebih gampang memahamainya, begini formulasi hukumnya: “Vonis bebas putusan pengadilan belum inkra, konsekuensi hukumnya harus pengaktifan kembali. Vonis bebas putusan pengadilan sudah inkra, konsekuensi hukumnya rehabilitasi nama baik. Vonis bersalah putusan pengadilan belum inkra konsekuensi hukumnya tidak ada pengaktifan kembali (tetap nonaktif). Vonis bersalah putusan pengadilan telah inkra konsekuensi hukumnya pemberhentian permanen.”
Agar tidak terjadi kesimpangsiuran pula, saya kutip ketentuan hukum yang relevan dengan penonaktifan dan pengaktifan kembali Kepala Daerah: “(1) Pasal 83 ayat 1 UU Pemda menegaskan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena “didakwa” melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, “tindak pidana korupsi”, tindak pidana terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI; (2) Pasal 84 ayat 1 UU Pemda menegaskan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat 1 setelah melalui “proses peradilan” ternyata “terbukti tidak bersalah” berdasarkan “putusan pengadilan,” paling lambat “30 (tiga puluh) hari” terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan pengadilan, Presiden mengaktifkan kembali Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang bersangkutan, dan Menteri mengaktifkan kembali Bupati dan/atau wakil Bupati atau Wali Kota dan/atau Wakil Wali Kota yang bersangkutan.”
Dengan memperhatikan secara cermat Pasal 84 ayat 1 UU Pemda, tafsir gramatikalnya terlihat dengan jelas kalau syarat pengaktifan kembali bagi Bupati berstatus terdakwa, yaitu harus terbukti tidak bersalah berdasarkan “putusan pengadilan.”
Tidak ada pembatasan dalam Pasal 84 ayat 3 yang menyatakan bahwa Kepala Daerah yang didakwa lalu pembuktian tidak bersalah-nya (vonis bebas) hanya di Pengadilan Negeri, ataukah hanya di Pengadilan Tinggi. Klausulanya, hanya menegaskan “terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan peradilan.” Itu artinya putusan pengadilan baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Tinggi sepanjang vonisnya bebas (tidak bersalah), maka konsekuensi hukumnya bagi kepala daerah yang pernah dinonaktifkan karena berstatus terdakwa harus diaktifkan kembali.
Sedikit tidaknya Undang-undang Pemda ihwal pribadi jabatan yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, terangnya jauh lebih mengakomodasi hak terdakwa yang terkait dengan kepentingan negara. Setiap vonis bebas oleh pengadilan, kendatipun belum berkekuatan hukum tetap (inkra), dominan mengarusutamakan hak terdakwa. Atau dengan kata lain, diutamakan hal yang lebih menguntungkan bagi terdakwa.
Sebuah kondisi akan mempermaklumkan, pengaktifan kembali itu tetap dalam batas kewajaran, telah memenuhi rasa keadilan antara pribadi jabatan dengan jabatan itu sendiri dalam urusannya dengan kepentingan publik. Konteks keadilan untuk pribadi jabatan, yaitu Kepala Daerah harus direhabilitasi nama baiknya jika memang pada akhirnya putusan pengadilan inkra, menyatakannya tidak bersalah. Sebaliknya, keadilan yang terkait dengan jabatan dalam ihwal kepentingan publik, akan diberhentikan permanen andaikata putusan pengadilan inkra menyatakannya bersalah.
Di sinilah tujuan hukum dalam asalinya, antara keadilan dan kepastian hukum saling berkelindan, namun tidaklah bertentangan. Ada keadilan yang harus ditempatkan secara proporsional antara pribadi jabatan dengan jabatan itu sendiri. Ada kepastian hukum yang harus diterima oleh pribadi jabatan dengan jabatan itu sendiri. Adil jika nama baik pribadi jabatan direhabilitasi, dan adil pula pemberhentian pribadi atas jabatan, kalau telah ada kepastian hukum dari putusan pengadilan inkra.
Kewajiban Mendagri
Dalam kasus hukum, tindak pidana korupsi yang menyandera AIS hingga saat ini, adalah menjadi kewajiban Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk mengaktifkannya kembali. Batas waktu pengaktifan itu, Mendagri diberikan waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Makassar.
Hanya saja, AIS belum bisa meminta Mendagri agar direhabilitasi nama baiknya oleh Mendagri. Oleh karena putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Makassr belum berkekuatan inkra.
Bolehlah AIS kembali bernafas legah, ia mendapat kesempatan lagi untuk menduduki jabatannya sebagai Bupati Barru. Tetapi janganlah terlalu jumawa, proses peradilan belum berhenti sampai di sini. Jaksa Penuntut Umum (J PU)masih bisa mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
Pada akhirnya, AIS kalau bukan mendapatkan rehabilitasi, sudah pasti akan meninggalkan kursi kekuasaan Kepala Daerah selama-lamanya.*