Dia Kembali Mengubur Mahkamah Konstitusi

Sumber Gambar: kompas.com
Seberkas memori empat tahun yang lalu kembali berkisah, keadilan telah terkubur dalam nisan Mahkamah Konstitusi (MK). Tepatnya kamis, 26 November 2017 terhantarkan lagi kisah yang memilukan hati, mayat keadilan dari lorong konstitusi akan menemui kuburan keduanya.
Memang berita kematian sang dewi themis tersebut tak seheboh pencokok-an Akil Muchtar oleh KPK ketika saat itu sedang digawangi oleh putra breok asal Makassar, Abraham Samad. Informasinya terkesan terlambat, pada rabu malam sedang berlangsung Operasi Tangkap Tangan (OTT), lamat-lamat kemudian beberapa selentingan berita akhirnya berseliweran di esok paginya, bahwa ada satu oknum penegak hukum yang keciduk komisi anti rasyuah karena diduga menerima suap dalam uji undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Wajar kemudian kalau kita malu, sehingga jangan heran jika juru bicara KPK, Febri Diansyah tidak langsung membeberkan nama yang dimaksudkan sebagai oknum penegak hukum itu terlibat dalam pusaran korupsi. Dan demikian pula sang pucuk pimpinan MK, Arief Hidayat tidak langsung menarik keyakinan kalau anggotanyalah yang kini menjadi korban pesakitan KPK.
Ah… sudahlah, nama orang yang dimaksudkankan itu janganlah kita tutup-tutupi lagi, Arief Hidayat sebagai pimpinan MK toh sudah memohon maaf di hadapan para wartawan. “Saya memohon maaf kepada bangsa ini telah melakukan kesalahan lagi, meskipun personal,” cetus Arief seraya menyebut lembaga yang dipimpinnya kembali tercoreng.
Di luar gedung MK, juga sedang muncul kegundahan seorang mantan pimpinan MK, Mahfud MD kagetnya bukan main ketika mengetahui satu lagi hakim MK terkena isu rasyuah. Mahfud MD yang dikenal sebagai warga NU yang taat, pada akhirnya hanya bisa menuturkan kalimat Innalillah.
Lagi-lagi siapakah gerangan orang itu yang telah mengubur keadilan di awal tahun ini? Saya tidak mau menyebut namanya, cukup nama orang tersebut kita simpan dalam hati. Toh dengan tidak menyebutnya kita sudah sama-sama tahun, siapa sebenarnya beliau.
Sepak terjang beliau di kancah nasional, dipastikan tidak akan sulit bagi siapa saja untuk mengenalnya. Lahir di tanah minang, tanah beradat, tanah yang menisbatkan banyak pujangga besar, seperti Buya Hamka. Tetapi janganlah membayangkan sikapnya sama dengan buya Hamka, kalau cara berbusananya mungkin bolehlah disepadankan dengan ulama kesohor itu yang namanya tidak pernah lekang oleh waktu karena deretan karya sastrawinya.
Soal akhlak, rasa-rasanya kita tidak perlu juga meragukan orang itu. Ia dididik dalam perguruan tinggi berbasis santri (Muhammadiyah), ia bahkan masuk dalam dunia parlemen selama dua periode berkat partai religius yang didirikan oleh tokoh reformator sekaligus mantan pimpinan organisasi islam terbesar di negeri ini.
Nama orang beken ini, bahkan tak sulit ditemukan, jika kita kembali membuka risalah amandemen UUD 1945. Berkali-kali ia bersuara cukup lantang dalam Panitia Adhoc Badan Pekerja Harian (BPH) MPR, ketika beberapa ketentuan dalam UUD 1945 mengalami perombakan. Sehingganya jangan meragukan kapabilitas beliau kalau menjadi utusan Presiden SBY di zamannya, untuk menjadi hakim pengawal konstitusi.
Ia lama malang-melintang di dunia praktisi hukum, advokat sekitar sepuluh tahun. Kemudian mendapat kepercayaan dari segenap rakyat Indonesia duduk di kursi legislatif, berturut-turut dua periode. Pernah pula didaulat sebagai Wakil Ketua Fraksi Reformasi DPR. Lalu namanya semakin menterang ketika dipanggil dalam kabinet indonsia bersatu Jilid II sebaga Menteri Hukum dan HAM.
Setelah itu perjalanannya tiada pernah berhenti, kembali ia mendapatkan jabatan baru setelah terkena rushffle, yaitu sebagai anggota kompolnas 2009-2011. Sempat absen sekitar tiga tahun sebagai pejabat negara, lalu ia kembali muncul menjadi hakim MK untuk periode 2013-2018.
Janggut sudah tumbuh demikian tebal, jidat sudah lama menghitam, kharismanya tak perlu diragukan kalau benar-benar wakil Tuhan di muka bumi yang akan selalu mendendangkan keadilan bagi semua. Sayangnya kemudian, Kamis 26 Januari 2017, terdengar kabar kalau komisi anti rasyuah menangkap sembilan orang, termasuk dirinya.
Apa mau dikata, MK telah masuk dalam lorong kegelapan, kuburan keadilan yang kedua kalinya, akibat ulah sang oknum yang memang proses keterpilihannya banyak mengundang keraguan publik, minim akuntabilitas, minim transparansi.
Oknum tersebut tak hanya membuat dirinya seorang yang menjadi malu, MK sebagai lembaga tertinggi, guardian of constitution, kembali mengalami gradasi kepercayaan. Beberapa rekan sejawatnya di sana harus “tebal muka” dalam menjaga dinding konstitusi.
Keadilan memang telah terkubur (lagi), tetapi kita harus selalu menyimpan asah, keadilan akan selalu menyemai bagi orang-orang yang berintegritas. Biarlah dinding penjara dan jeruji besi yang akan membuktikan sang pengubur keadilan itu, bertaubat dan ikhtilaf di hadapan Yang Maha Kuasa.*