Rechstaat (Negara Hukum)
Terminologi yang sering merangkai term negara dikenal dalam berbagi istilah seperti; polis (tata kota), politea, nomoi (Plato). Thomas Aquinas merangkai implementasi peran, fungsi dan tujuan sebuah Negara tersegmentasi dalam konsep civitas dei (negara tuhan) dan civitas terrana (negara iblis) ataukah negara polisis yang dipengaruhi oleh tipe negara Merkantilisme.
Dalam peletakkan peran negara sebagai anak/ orang tua dari hukum. Pada awalnya kelihatan dalam negara polisis ataupun negara gagasan Thomas Aquinas, yang mengabsolutkan tindakan dan peran raja dalam suatu kekuasaan pemerintahan. Setidaknya konsep negara tersebut telah menjadi peletak batu pertama dalam mengilhami negara untuk dikendalikan oleh hukum (control by law).
Aristoteles menyebutnya, pencapaian keadilan dengan memakai instrument hukum. Negara yang sedikit demi sedikit, mengurangi keabsolutan tindakan/ monopolinya dalam mengendalikan yang dikuasai dikenal sebagai negara jaga malam (nachtwacker staat). Pada negara hukum liberal atau jaga malam ini yang dicetuskan oleh Stahl memiliki unsur-unsur diantaranya:
- Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (protection to the human right).
- Negara didasarkan pada pemisahan kekuasaan (trias politica).
- Pemerintah diselenggarakan berdasarkan atas Undang-undang (wetmatig bestuur).
- Adanya peradilan administrasi yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan Undang-undang (wetmatigheid). Dalam perkembangannya, pemerintahan yang berdasarkan Undang-undang dianggap lamban. Oleh karena itu diganti dengan pemerintahan yang berdasarkan atas hukum (rechtmatig bestuur), kemudian melahirkan konsep yang merupakan varian dari rechstaat seperti welvaarstaat dan verzorgingstaat sebagai negara kemakmuran.
Ciri dari pada negara hukum formil adalah didasarkan pada filsafat liberal yang individualistik. Ini merupakan corak pemikiran yang dominan menonjol pada pemikiran negara hukum konsep Eropa Kontinental.
Beda halnya, dengan negara Anglo-saxon seperti Inggris menyebut negara hukum dalam terminologi rule of lawatau pemerintahan oleh hukum. Dicey mengutarakan tiga unsur dari rule of law yaitu:
- a. Supremasi hukum (supremacy of the law).
- Kedudukan yang sama di depan hukum (equal before the law).
- c. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perseorangan (the constitution based on individual right).
Menurut Kusnardi dan Saragih mengemukakan bahwa paham Dicey ini sebagai kelanjutan dari ajaran Locke yang berpendapat bahwa manusia sejak dilahirkan mempunyai hak asasi dan tidak seluruh hak-hak asasi diserahkan kepada negara dalam kontrak sosial. Bagaimana ia menyerahkan seluruh hak asasinya kepada negara sedangkan ia masih hidup justru ia harus mempertahankan dan melindunginya ?
Perbedaan yang menonjol antara rechstaat dan rule of law ialah pada konsep peradilan administrasi negara, merupakan suatu sarana yang penting dan sekaligus ciri yang menonjol pada rechstaat itu sendiri. Sedangkan pada rule of law, peradilan administrasi tidak diterapkan, karena kepercayaan masyarakat yang sudah demikian besar kepada peradilan umum. Latar belakang dari perbedaan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Kusnardi dan Saragih karena Inggris dikenal adanya rezim administrasi yang baik, merupakan garansi bahwa penyelewengan bisa dicegah atau kalau ada sekecil mungkin. Jika terdapat rezim administrsi yang baik, pelanggaran terhadap hak asasi berkurang dan kalau ada perselisihan/ pelanggaran maka peradilan biasa akan mengadilnya.
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan oleh Miriam Budiardjo dalam International Commission Of Jurist. suatu organisasi ahli hukum interasional dalam konfrensinya di Bangkok Tahun 1965 lebih memperluas konsep rule of law dan menekankan apa yang disebut The Dinamict Aspect Of The Rule Of Law In The Modern Age. Dinyatakan bahwa syarat-syarat terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law ialah:
- Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain dari menjamin hak-hak individu, harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
- Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals).
- Pemilihan umum yang bebas.
- Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
- Kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi.
- Pendidikan kewarganegaraan.
Negara hukum adalah produk dari perjalanan sejarah yang panjang (historische bepaal). Baik Aristoteles, Stahl, Dicey serta sarjana-sarjana lainnya, tidak mempunyai pengertian yang sama. Masing-masing mengartikan sesuai dengan zamannya yang berbeda, dan negara hukum adalah alat (tool) untuk mencapai tujuan negara. Negara hukum adalah negara dimana tindakan pememerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang (willekeur) dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut kehendaknya sendiri.
Negara hukum pada masa yang lalu mengikat penguasa untuk tidak boleh bertindak sebelum peraturan ada, secara tertulis. Sedangkan pada abad modern ini negara hukum semakin memberikan keseimbangan antara pemerintah, dalam arti setiap lembaga negara sebagai pelaksana Undang-undang berada dalam sarana dan muatan kontrol (check and balance) untuk bertindak berdasarkan hukum. Lebih tepatnya adalah semua tindakan pemerintah harus didasarkan atas undang-undang. Bahkan oleh Budiono[1] mengemukakan Pada babak sejarah sekarang, sukar untuk membayangkan negara tidak sebagai negara hukum. Setiap negara yang tidak mau dikucilkan dalam pergaulan masyarakat internasional menjelang abad XXI paling sedikit secara formil akan memaklumkan dirinya sebagai negara hukum.
Dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi. Dengan demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik sektarian dan primordial, melainkan kepada cita-cita politik dalam kerangka kenegaraan.