Hikmah Caleg Mantan Napi Koruptor

La Ode Muhram Naadu

Polemik pelarangan mantan terpidana korupsi, narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak akhirnya menemui jalannya. Kulminasi peristiwa ini diawali oleh Bawaslu yang mengabulkan gugatan atas keputusan KPU yang mencoret beberapa nama bakal calon legislatif. Pucuk perdebatan akhirnya menuai ulang pada Putusan Mahkamah Agung (MA) dengan nomor perkara 45/P/HUM/2018. Majelis Hakim Agung yang memeriksa judicial review ini yakni, Irfan Fachrudin, Yodi Martono, Supandi akhirnya membatalkan Pasal 4 ayat 3, Pasal 7 huruf g PKPU No.20 Tahun 2018 dan Pasal 60 huruf j PKPU No.26 Tahun 2018, yang dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat 1 huruf g UU No. 7 tahun 2017 (UU Pemilu).

Pasal 240 ayat 1 huruf g menyebutkan “bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Norma ini menjadi batu uji untuk menjelaskan perihal right to be candidate yang diajukan sejumlah 12 pemohon.

Identifikasi Masalah

Sependek pengamatan penulis, mainstream perdebatan ini terdikotomi 2 topik, yakni berkutat substansi pembatasan hak politik dan juga politik hukum pemberantasan korupsi. Pada topik pertama, substansi pembatasan hak politik menyoal materi isi PKPU a quo yang dianggap inkonsisten dengan materi peraturan perundang-undangan di atasnya, yakni UU Pemilu dan pula UUD NRI 1945, begitupula sebagaimana dalam penafsiran hukum historis, bergelimpangan Putusan MK yang menekankan bahwa pembatasan hak politik tidak begitu se-vindikatif sebagaimana aksiologis kedua pasal dalam PKPU a quo. Sedang yang kedua, politik hukum pemberantasan korupsi menyoal strategi memberantas korupsi dalam langkah extraordinary measures. Langkah tersebut ditafsirkan ekstensif, hingga aturan teknis berupa PKPU didispensasikan dalam membatasi hak politik warga Negara. Notabene right to be candidate

Memang,  kedua topik di atas sesungguhnya secara vis a vis mengkooptasi konflik pada Bawaslu Vs KPU. Bawaslu dianggap sebagai oposan yang bertindak menafsirkan PKPU sebagaimana hakim yang menafsirkan pasal. Seolah tak ada bedanya antara ajudikasi dan proses peradilan murni. Kontradiktif dengan salah satu tugas utamanya yakni mengawasi pelaksanaan PKPU. Dalam beberapa argumentasi di media Bawaslu mengangkangi PKPU hingga kemudian disitir, in casu pelolosan Caleg Koruptor berkonklusi bahwa Bawaslu Pro-Koruptor.

Di sisi lain KPU dianggap pula ‘loncat pagar’ dengan melahirkan aturan yang mengangkangi UU Pemilu sebagai payung hukum PKPU (umbrella act). Kemudian jika menilik pedoman pembentukannya, materi PKPU a quo menyalahi asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana termaktub pada Pasal 6 ayat 1 UU No 12 Tahun 2011. Dan secara teoritis (applied theory) ini menyalahi the static system of norm  sebagaimana ajaran Hans Kelsen. Sebab isi-materi PKPU menunjukan kualitas yang terbukti secara langsung menjamin validitasnya. Secara prediktif memang dapat dilihat bahwa MA akan membatalkan PKPU a quo jika melihat menggunakan pendekatan konsep di atas, dan tentunya dengan batu uji Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu.

Terlebih jika melihat urgensi materinya, secara filosofis Pasal yang dibatalkan sudah bermasalah dalam standarisasi ketercelaan nilai. Pertanyaannya adalah bagaimana menyamaratakan kejahatan korupsi, narkoba dengan kejahatan seksual?. Artinya, sejak awal norma ini sudah bermasalah dalam men-standardisasi extraordinary crime dan ordinary crime  untuk melahirkan taktis dari extraordinary measures. Pada akhirnya norma yang lahir adalah generalisasi a priori  kejahatan, yang merampas hak konstitusional warga Negara (citizen legal right).

Kala perdebatan akademik terus bergelora, framing media pun tak ketinggalan memperkisruh bahwa Bawaslu Pro-Koruptor, KPU loncat pagar.  Notabene masalah ini tidak lahir begitu saja dari PKPU a quo. Masalah dipantik oleh Partai Politik yang mencalonkan anggota DPR, DPRD yang terlibat tindak pidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan seksual. Notabene semua Parpol mencantumkan, Pakta Integritas Partai Politik Peserta Pemilu 2019. Baik Bawaslu, pun KPU sama-sama menyodorkan Pakta Integritas untuk ditandatangani oleh pimpinan Parpol. Artinya, kedua lembaga penyelenggara di atas sudah berbuat yang secara aksiologis, seirama dengan original intent dari Pasal yang dibatalkan PKPU a quo. Hanya saja, Parpol berhasil melewati legal gap yang muncul atas PKPU a quo melalui mekanisme sengketa di Baswaslu. Dan aneh bin ajaib, jika konklusi yang mencuat adalah penyelenggara pro-koruptor.

Mengambil Hikmah

Jika menilik Putusan MA a quo ada dua hal yang dapat dikonklusikan, perihal antinomi dari materi PKPU a quo dan UU Pemilu. Pertama, bahwasanya pembatasan hak politik pada dasarnya adalah pengaturan yang mestinya termuat dalam substansi undang-undang. Kemudian kedua, sesungguhnya koruptor pun masih punya hak politik sepanjang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, dan tidak dicabut Hak Politiknya oleh putusan pengadilan yang incracht.

Tak dapat dipungkiri, bahwa pasal yang dibatalkan pada PKPU a quo mendalami kenyataan hidup hukum (rechtswerkelijkheid) di masyarakat. Bahwasanya bangsa ini sudah muak dengan legislator koruptor, dan secara umum dapat menerjemahkan extraordinary measures dalam politik hukum pemberantasan korupsi. Namun disisi lain mestinya dilekatkan pada taktis yang benar, dalam hal ini pada sebuah negara hukum (rechstaat) mengenai pengaturan original right – pembatasan hak termuat dalam aturan perundang-undangan pada jenjang undang-undang (formell gesetz) ke atas, bukan pada jenjang (verordnung & autonome satzung) aturan pelaksana & aturan otonom, sebagaimana dalam hirarki norma menurut Hans Nawiasky. Di sisi lain Bawaslu seyogianya tidak perlu mencak-mencak dalam mengangkangi PKPU a quo. Salah satu solusi yang terbaik dilakukan jikalau terjadi hal seperti ini lagi adalah meminta tafsir MA atas norma yang tidak jelas materinya, bukan hadir dalam menafsir sebagaimana layaknya hakim.

Baik KPU dan Bawaslu selayaknya tidak menunjukan laku disharmonis, sebab sesungguhnya jika menilik apa yang telah dilakukan kedua penyelenggara dalam mendukung pemberantasan korupsi adalah sudah sama. Hanya saja caranya yang beda. Salah satu buktinya adalah pengajuan Pakta Integritas pada seluruh Parpol. Tak akan ada polemik seperti ini, jikalau Parpol yang ada tidak mencalonkan Caleg Koruptor dkk. Artinya, KPU dan Bawaslu sudah sejalan, hanya saja terjebak dalam taktisnya.

Jika menilik Pakta Integritas, sesungguhnya pembohongan publik telah terjadi oleh Parpol yang mencalonkan anggota DPR, DPRD yang terlibat tindak pidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan seksual. Apalah arti sebuah Pakta Integritas jika secara benderang dilanggar. Terlebih jika menilik esensi sebuah Pakta Integritas, yang berarti komitmen pada diri sendiri. Dapat diketahui bahwa Parpol yang mencalonkan anggota DPR, DPRD yang terlibat tindak pidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan seksual adalah Parpol yang tidak komitmen terhadap dirinya sendiri. Pertanyaan pun berlanjut, kalau kepada dirinya sendiri mereka (Parpol) sudah tidak komitmen, bagaimana terhadap rakyat?. Padahal sesungguhnya hukum adalah apa yang tersimpan dan terkehendak dalam nurani rakyat. Yah sebab, Hodi mihi cras tibi, ketimpangan, ketidakadilan yang menyentuh perasaan tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat. Wallahu ‘alam bishowab.

Oleh : La Ode Muhram Naadu

Alumni Universitas Muhammadiyah Jakarta

You may also like...