Menjaga Moralitas Relawan Politik dan Calon Presiden

FERDIAN ANDI (Sumber: telusur.co.id)
Kontestasi dini Pemilu 2024 telah terasa sejak tahun 2021. Sejumlah relawan politik dideklarasikan, menautkan diri dengan sejumlah figur publik yang berasal dari kepala daerah, anggota DPR, hingga menteri.
Sebagai sebuah ikhtiar politik, tindakan tersebut sah-sah saja. Setidaknya, tidak ada aturan yang dilanggar karena tidak ada aturan yang mengatur tentang deklarasi calon presiden dini ini.
Terlebih secara formal, mereka belum menjadi calon presiden (capres), bahkan bakal calon presiden juga belum. Penyelenggara pemilu (KPU/Bawaslu) belum memiliki kewenangan mengatur entitas relawan politik tersebut.
Namun, kontestasi dini Pemilu 2024 ini menjadi soal ketika relawan politik tersebut menisbatkan entitasnya kepada figur publik yang notabene sebagai pejabat publik. Di poin inilah potensi politisasi jabatan, politisasi birokrasi hingga pemanfaatan fasilitas negara secara ilegal terbuka terjadi.
Dari sisi relawan politik, entitas ini juga tak tersentuh oleh aturan main dalam pemilu. Selain belum masuk dalam tahapan pemilu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan KPU No 23/2018 tentang Kampanye Pemilu tidak mengatur secara tegas keberadaan relawan ini. Padahal, aktivitas relawan politik berkorelasi dengan mobilisasi dukungan yang erat kaitannya dengan penyiapan logistik (uang).
Dalam konteks tersebut, menjaga moralitas relawan politik dan calon presiden yang diusung memiliki nilai penting untuk dilakukan sejak dini. Kontestasi dini ini semestinya tidak lepas kendali dari kontrol publik yang basisnya berupa etik dan moral.
Hal terebut untuk memastikan figur-figur yang dipromosikan sebagai capres tersebut, yang bisa saja di antara mereka kelak menjadi presiden, memulai langkah menuju jabatan tertinggi di eksekutif itu dengan cara benar.
Relawan politik
Keberadaan relawan politik telah menjadi kelaziman dalam praktik politik di Indonesia. Entitas ini menemukan ruangnya terutama saat mulai berlakunya politik pemilihan secara langsung baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah. Bahkan, dalam sejumlah kasus, relawan politik menjadi backbone penting bagi pemenangan kandidat.
Nina Eliashop (2013) dalam The Politics of Volunteering berpendapat, meski relawan dan aktivisme politik memiliki titik kesamaan dalam hal keterlibatan atau interaksi publik, sejatinya keduanya memiliki perbedaan karakteristik. Jika relawan berkeinginan menyelesaikan persoalan secara langsung pada obyek yang dituju, aktivisme politik menyelesaikan masalah dengan mekanisme perubahan melalui jalur kebijakan publik.
Di poin ini, relawan politik memiliki makna dan fungsi yang berbeda dengan partai politik. Relawan politik yang menghimpun diri untuk mobilisasi dukungan terhadap kandidat dalam pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden tidak ada aturan hukum yang mengaturnya. Setidaknya, ketiadaan aturan tersebut hingga memasuki tahapan pemilu (kampanye).
Berbeda kondisinya dengan partai politik yang diatur melalui UU No 2/2011 tentang Partai Politik. Dalam UU tersebut, diatur mengenai fungsi, tugas, termasuk tentang keuangan partai. Partai politik memiliki mandat melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Parpol juga harus berbadan hukum. Ragam ketentuan tersebut tidak dijumpai dalam relawan politik.
Secara normatif, relawan politik tidak bisa diperlakukan layaknya partai politik karena memang relawan politik bukanlah partai politik. Namun, opsi yang dapat ditempuh untuk mengatur relawan politik dapat berupa badan hukum perkumpulan. Dengan berbadan hukum, relawan politik menjadi organisasi yang diatur melalui UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Meski, pilihan ini juga tak ideal karena keberadaan relawan politik sifatnya ad hoc. Terlebih apabila kandidat yang diusung tidak memenangkan kontestasi atau bahkan tidak menjadi peserta pemilu presiden. Relawan politik seketika bubar.
Berbeda apabila figur yang didukung memenangi dalam pilpres, keberadaan relawan politik biasanya tetap eksis bahkan menjadi jalur politik untuk mengisi jabatan publik, seperti komisaris BUMN bahkan jabatan menteri atau wakil menteri.
Integritas capres
Mengatur relawan politik berjalin kelindan dengan upaya memastikan integritas figur yang dipromosikan sebagai capres. Apalagi, figur yang dipromosikan berasal dari pejabat publik yang memiliki otoritas (authority) dan akses sumber daya publik.
Karena itu, memastikan integritas penyelenggara negara yang dipromosikan sebagai capres harus tetap terjaga. Terlebih, dalam praktiknya relawan politik dan figur yang dipromosikan sedang melakukan aktivitas politik.
Figur pejabat publik yang dipromosikan sebagai capres oleh relawan politik harus terhindari dari conflict of interest atas jabatan publiknya. Konflik kepentingan tersebut bisa baik berupa pemanfaatan jabatan, pemanfaatan fasilitas negara, hingga sumber daya lembaga publik yang dipimpinnya.
Dalam konteks tersebut, negara yakni lembaga hukum dan lembaga pengawas maupun masyarakat memiliki andil untuk menjaga etik penyelenggara pemerintah agar terhindar dari penyalahgunaan wewenang, jabatan, hingga fasilitas negara.
Kendati belum ada aturan yang mengatur aktivitas politik para relawan politik dan pejabat publik yang dipromosikan sebagai capres, bukan berarti mereka dapat beraktivitas dengan menabrak etika penyelenggaraan pemerintahan.
Lembaga-lembaga pengawas di internal instansi publik tersebut harus memastikan pengawasan khususnya kepada pejabat publik yang namanya mulai dipromosikan sebagai capres. Aktivitas politik mereka harus terkonfirmasi tidak menabrak etika sebagai penyelenggara pemerintahan apalagi melanggar hukum.
Secara operasional, kepala daerah yang diusulkan sebagai capres oleh relawan politik, maka pengawasan dapat dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri sebagai pembina kepala daerah. Kemendagri dapat lebih mengintensifkan pengawasan terhadap kepala daerah yang namanya mulai diusulkan sebagai capres oleh relawan politik.
Begitu juga figur anggota DPR yang diajukan sebagai capres oleh relawan politik, pastikan sumber daya yang dimiliki anggota parlemen sesuai dengan peruntukannya bagi konstituen di daerah pemilihan (dapil).
Hal yang sama juga berlaku bagi menteri yang namanya diusulkan oleh relawan politik sebagai kandidat presiden. Aktivitas politik menteri harus dipastikan tidak menimbulkan konflik kepentingan. Presiden memiliki peran untuk memastikan tindakan politik para pembantunya tetap dalam koridor hukum dan etik.
Dalam konteks inilah, integritas figur yang dinominasikan sebagi capres harus clear dan clean. Berangkat dengan cara yang etis dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan menjadi modal penting untuk menuju kontestasi sesungguhnya di Pemilu 2024. Relawan politik dan kandidat yang dipromosikan harus memulainya dengan cara yang baik dan benar. ●
Oleh:
FERDIAN ANDI ; Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/Pengajar HTN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
KOMPAS, 6 Maret 2022
Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/03/menjaga-moralitas-relawan-politik-dan-calon-presiden