Mendesain Aturan Main Omnibus

Sumber Gambar: unisbank.ac.id
Saat ini, publik masih bertanya-tanya terhadap masa depan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam amarnya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945 (inkonstitusional secara bersyarat) sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.”
Kebingungan pun semakin tidak terhindarkan jika menilik amar Putusan a quo nomor 4, 5, 6 dan 7 yang mana menunjukkan keraguan dan ketidakjelasan tentang eksistensi UU Cipta Kerja –tentunya berimplikasi terhadap keberlangsungan pelaksanaan kebijakan strategis.
MK dalam amarnya memerintahkan agar pembentuk undang-undang melakukan perbaikan. Meskipun MK tidak menyebutkan secara eksplisit skema perbaikan UU Cipta Kerja, namun dengan dasar demikian DPR memulai langkah perbaikan dengan mencoba mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 (UU P3).
Setidaknya ada tiga poin yang perlu disoroti dalam revisi kedua UU P3. Pertama, berkaitan dengan metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kedua, perbaikan kesalahan teknis pasca persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Ketiga, partisipasi masyarakat yang bermakna.
Langkah pertama yang diambil DPR untuk menindaklanjuti Putusan MK dengan mengubah UU P3 dapat dikatakan sudah tepat karena mengingat basis metode omnibus yang digunakan dalam UU CK tidak dikenal dalam rezim UU P3 sehingga tidak mempunyai legitimasi hukum yang sah.
Dalam RUU revisi kedua UU CK, metode omnibus diartikan sebagai metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan menambah materi muatan baru, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan/atau mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.
Secara konsepsi metode omnibus yang dirumuskan tidak jauh berbeda dengan pemahaman para ahli seperti O’Brien dan Bosc yang mengemukakan bahwa omnibus law sebagai upaya untuk mengubah, mencabut, atau memberlakukan beberapa ketentuan yang diintegrasikan dalam satu undang-undang (2009).
Jika membaca rumusan metode omnibus, ada potensi digunakannya metode omnibus pada level hierarki di bawah undang-undang seperti peraturan pemerintah hingga peraturan daerah. Format demikian tentunya berdampak sangat positif khususnya dalam penataan regulasi. Sebagaimana kita ketahui terjadi obesitas regulasi; jumlah peraturan di tingkat pusat berjumlah 3854, peraturan menteri berjumlah 16873 dan peraturan daerah 15982 (https://peraturan.go.id/). Dengan demikian metode omnibus merupakan suatu keniscayaan dengan tujuan mereduksi penumpukan dan tumpang tindih produk legislasi dan produk regulasi.
Meskipun banyak pandangan yang mengatakan muspra menggunakan metode omnibus jika dalam UU Cipta Kerja juga memerintahkan dibentuk peraturan delegasi yang banyak sehingga kontraproduktif dengan niat awal untuk memangkas hyper regulation, namun dengan rumusan metode omnibus demikian probabilitas pemerintah untuk membentuk peraturan delegasi dengan metode omnibus. Oleh karena itu dengan perbaikan secara gradual, selanjutnya dilakukan perbaikan dalam UU Cipta Kerja untuk menyederhanakan rumusan yang memerintahkan dibentuk peraturan delegasi mengingat ada ratusan ketentuan delegasi dalam UU Cipta Kerja.
Kemudian, dalam RUU revisi kedua UU P3 dirumuskan ketentuan tentang perbaikan teknis pasca persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Ada problematik hukum tersendiri dalam hal ini. Seperti diketahui ada beberapa UU yang telah disepakati, namun terjadi kesalahan teknis penulisan yang berakibat fatal. Misalnya Pasal 29 UU KPK, Pasal 6 UU Cipta Kerja dan Pasal 53 ayat (5), bahkan sebelum disepakati masih dalam bentuk RUU terjadi kesalahan Pasal 170 ayat (1) halaman 682.
Sejatinya, RUU yang telah disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah telah bersifat final sehingga rumusan isinya tidak boleh diubah. Namun dengan dirumuskan ketentuan perbaikan teknis pasca persetujuan, rumusan isi yang masih salah atau terjadi kurang masih bisa diperbaiki, bisa saja ketentuan ‘perbaikan teknis’ dijadikan semacam alasan pemaaf untuk mentolerir kesalahan teknis yang seringkali terjadi bahkan yang ditakutkan bisa membuka potensi terjadinya penyeludupan pasal yang menguntungkan segelintir oknum.
Sebenarnya rumusan perbaikan teknis tidak perlu diatur dalam UU P3 karena seyogianya DPR bersama pemerintah dalam membentuk undang-undang haruslah dengan cara saksama, teliti, tidak tergesa-gesa dan mengakomodir kepentingan masyarakat luas. Lagipula adanya ketentuan perbaikan teknis malah bias dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid).
Poin ketiga, dalam revisi kedua UU P3 untuk memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation), setidaknya memenuhi tiga prasyarat yakni: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be considered); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Jika dicermati rumusan Pasal 96 revisi kedua UU P3 hanya melengkapi saja praktik yang sudah ada misalnya diperluas media yang digunakan dalam partisipasi Pasal 96 ayat (2) dalam pemberian masukan masyarakat dapat dilakukan secara daring atau luring. Kemudian, terkait kemudahan akses setiap RUU, padahal praktiknya RUU yang sudah disepakatinya saja (draf final) sukar untuk dapat diakses di website DPR.
Berkenaan dengan partisipasi masyarakat yang dapat menyuarakan aspirasinya dalam Pasal 96 ayat (3) kategorinya berubah menjadi orang per seorang atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Dalam penjelasannya yang dimaksud kelompok orang adalah kelompok/organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat yang terdaftar di kementerian yang berwenang dan masyarakat hukum adat. Artinya ada pembatasan kelompok/organisasi masyarakat/profesi dan LSM yang terdaftar saja yang bisa menyuarakan aspirasinya.
Apabila disimpulkan masih ada kelemahan substansial terkait jaminan partisipasi publik hendaknya dirumuskan secara jelas dengan parameter partisipasi publik yang bermakna, karena potensi seringnya digunakan metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diketahui kelemahan metode omnibus adalah minim deliberasi yang berpotensi menimbulkan resistensi dari masyarakat luas. Oleh karena itu, hendaknya direkonstruksi ketentuan mengenai partisipasi publik yang bermakna dengan tujuan mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat luas.
Dengan demikian, diakomodasinya metode omnibus dalam UU P3 dengan tujuan memangkas penumpukan regulasi harus disertai pula dengan penguatan partisipasi publik yang bermakna, Oleh karena itu hendaknya DPR dalam mendesain aturan main pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara komprehensif dan sistematis, dengan tujuan membangun sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih ideal, akuntabel transparan dan partisipatif.
Oleh:
Adam Setiawan, S.H, M.H
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda
DETIKNEWS, 4 Maret 2022
Sumber; https://news.detik.com/kolom/d-5967333/mendesain-aturan-main-omnibus.