Menguatkan Gerakan Mahasiswa

Sumber Gambar:nusantara62.com

DEMONSTRASI mahasiswa di Jakarta dan sejumlah kota yang memuncak pada 11 April 2022 adalah akumulasi keresahan sosial atas pelbagai problem Indonesia akhir-akhir ini. Kelangkaan minyak goreng, penggusuran masyarakat yang mempertahankan ruang hidup, kenaikan harga-harga, adalah sejumlah problem yang tak direspons pemerintah dengan cermat.

Alih-alih menunjukkan kerja nyata atas pelbagai masalah itu, aktor-aktor politik sibuk dengan gagasan menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden. Presiden Joko Widodo juga sibuk dengan proyek mercusuar pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Ia baru bersuara—itu pun tak tegas menolak jabatan presiden tiga periode—setelah Tempo mengungkap operasi orang-orang dekatnya mencari dukungan untuk gagasan tersebut.

Akumulasi pelbagai persoalan itu terjadi akibat absennya oposisi di parlemen. Jokowi, yang tak punya akar kuat di PDI Perjuangan, membangun superkoalisi di Dewan Perwakilan Rakyat sehingga apa pun yang menjadi keinginannya direstui oleh partai-partai. Undang-Undang Cipta Kerja, pemandulan Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga UU Ibu Kota Negara hanyalah contoh bagaimana mayoritas anggota DPR kita jadi tukang stempel pemerintah semata.

Maka, demonstrasi adalah luapan suara publik yang tak tersalurkan itu. Di tengah polarisasi masyarakat akibat dukung-mendukung dalam pemilihan presiden, di tengah tindakan represi aparatur negara terhadap perbedaan pendapat, gerakan mahasiswa patut mendapat pujian. Mereka mengingatkan bahwa ada jalan lain mengontrol pemerintahan ketika lembaga-lembaga resmi tak lagi mendengarkan suara publik.

Hanya, gerakan mahasiswa hari ini terlalu sporadis. Gerakan sosial itu seperti tak punya arah dan agenda bersama. Mahasiswa baru bersatu—itu pun tidak semua kampus—ketika punya musuh bersama, yakni usaha-usaha para politikus mengkhianati konstitusi dan cita-cita Reformasi melalui perpanjangan masa jabatan presiden. Padahal ada banyak soal yang seharusnya menyatukan gerakan koreksi atas penyalahgunaan kekuasaan.

Gerakan masyarakat sipil juga melemah setelah banyak tokohnya dikooptasi ke dalam pemerintahan. Jokowi banyak merekrut aktivis organisasi masyarakat ke dalam pemerintahannya. Sayangnya, bukannya membantu mewujudkan agenda Reformasi dari dalam, mereka malah merayakan gagasan-gagasan yang bertentangan dengan cita-cita itu. Kooptasi Jokowi telah membungkam gerakan masyarakat dalam mengontrol kekuasaan yang memanjakan oligarki ini.

Superkoalisi Jokowi ini berbahaya bagi demokrasi. Sementara Soeharto memakai militer, bisnis, birokrasi, dan partai politik untuk menopang kekuasaannya, Jokowi lebih dari itu. Aktivis masyarakat sipil di belakangnya, juga para ilmuwan dari universitas, membuat kontrol terhadap kebijakan pemerintah kempos. Jokowi melemahkan demokrasi dengan jalan yang seolah-olah demokratis melalui superkoalisi.

Dalam demokrasi, oposisi harus dibangun agar ada saluran untuk mengartikulasikan kekecewaan, perbedaan pendapat, hingga penolakan terhadap kebijakan. Dalam demokrasi, oposisi bukan barisan yang harus ditakuti ataupun dihabisi.

Jika kita baca How Democracies Die, Steven Levitsy dan Daniel Ziblatt menunjukkan bahwa demokrasi kuat justru oleh hal-hal yang tak tercantum dalam hukum tertulis, antara lain sikap toleran para politikus terhadap lawan. Demokrasi Amerika, kata mereka, bisa bertahan empat abad karena para pemainnya mengendalikan diri tak memakai kekuasaan, betapa pun sah secara hukum, untuk menghabisi lawan politik.

Maka, gerakan mahasiswa kali ini harus menjadi momentum kembali bersatunya kekuatan masyarakat sipil. Para aktivis yang tersisa, para ilmuwan yang masih paham arti kontrol sosial, media yang masih menjadi pilar keempat demokrasi, mesti kembali ke tugas utamanya menjadi sparring partner kekuasaan. Gerakan sosial yang dimotori anak muda dan mahasiswa di Cile layak menjadi contoh. Dengan gerakan yang terlembaga, terukur, dan terstruktur, mereka punya kekuatan politik mengawal agenda-agenda demokrasi.

Tanpa agenda dan arah yang jelas, gerakan sosial mahasiswa akan mudah digembosi. Poin penting demonstrasi pada 11 April 2022 pun bisa menguap oleh insiden pengeroyokan Ade Armando, dosen komunikasi Universitas Indonesia pendukung Jokowi, oleh para penyusup demonstrasi itu. Publik pun bisa lupa akan tuntutan penting para mahasiswa. Jika saluran berpendapat ini juga kempos, Indonesia akan dengan mudah kembali ke autokrasi.

Editorial

Dewan Redaksi Koran Tempo

KORAN TEMPO, 13 April 2022

Sumber  https://koran.tempo.co/read/editorial/473102/alarm-pencemaran-sampah-mikroplastik-di-sungai?

You may also like...