Parlemen Trikameral

Berkali-kali Jimly Asshiddiqie mengulangi dalam beberapa bukunya di setiap bab kajian ketata-negaraan. Terutama pembahasan lembaga-lembaga negara (yakni: legislatif). Bahwa negara terdiri dari tiga kama parlemen (trikameral).

Meskipun, sebagian kalangan  menganggap MPR menyatakan bahwa keberadaan MPR tersebut, hanya sebagai simbol dan kadang tidak berfungsi sebagai mana tugas dan kewenangannya yang ditegaskan dalam UUD NRI 1945 maupun undangundang MD3.

Terkait pesoalan negara Indonesia sebagai negara yang satu-satunya menganut trikameral (tiga kamar dalam parlemen), sekali lagi menunjukan bahwa Indonesia meiliki sistem parlemen bukan-bukan. Sebagaimana sering diungkapkan oleh Deny Indrayana (2009)  sistem parlemen negara kita adalah sistem parlemen “bukan-bukan”. Neither Fist, Nor Meat (bukan daging bukan pula ikan.

Hal ini dilatarbelakangi, pasca amandemen UUD NRI 1945, oleh sebagian DPR dan DPD dalam perubahan UUD tersebut ada ngotot memepertahankan unikameral dengan tetap ingin membuat DPR sebagai satu-satunya yang tertinggi dalam pembuatan legislasi. Sehingga yang terjadi setelah amandeman, bikameral disepakati dengan DPD tetap menjadi kamar parlemen, tetapi fungsi, tugas dan kewenangannya tidaklah sekuat yang dimiliki oleh DPR, DPD hanya mengajukan usul rancangan dan memberi pertimbangan terhadap usul rancangan undang-undang. DPD yang lemah kekuatannya dalam perancangan undang-undang menunjukan bahwa bikameral yang dianut sebagaimana diungkapkan oleh Arend Lijhpart berada dalam kategori bicameral yang asimestris (weak bicameralism).

Berbeda dengan Jimly Asshiddiqie (2009) dengan melihat tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh MPR, senada dengan Saldi Isra (2008), bahwa keberadaan MPR, yang dapat mengubah dan menetapkan UUD NRI 1945, berarti tetap memilki fungsi legislasi, sehingga lebih tepat parlemen negara Indonesia adalah parleman tiga kamar (trikameral)

Tugas dari MPR diantaranya adalah mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan pemiliha umum dalam Sidang Paripurna MPR, memutuskan usul DPR berdasarkan putusan MK untuk memberhentikan Presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/ atau wakil presiden diberi kesempatan untuk menyapaikan penjelasan di dalam sidang Paripurna MPR. Jika dilihat fungsi MPR seperti itu, maka tampak bagaimana MPR sekarang sudah tidak sekuat dulu lagi pada masa Orde Baru, ada pengurangan wewenang di dalam tubuh MPR.

Fungsi dari DPR sesuai dengan pasal 20 A adalah Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; serta selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dna pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya eknomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22d ayat 1). DPD ikut membahas sejumlah RUU yang diajukan dalam bagian pertama di atas, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22 D ayat 2). DPD dipilih langsung oleh rakyat seperti halnya dalam anggota DPR.

Dengan mengamati masing-masing tugas dan kewenangan MPR, DPR, dan DPD, berarti MPR tetap memilki fungsi sebagai lemabaga negara dalam ketatanegaraan, dengan demikian tetap diperlukan keberadaannya sebagai salah satu kamar dalam parlemen. Terlepas dari perdebatab tersebut, hemat penulis MPR merupakan joint session anatara DPR dan DPD, oleh karena itu lebih tepat untuk mengatakan sistem parlemen kita menganut sistem bicameral, meskipun secara personal dan lembaganya terpisah satu sama lain.

 

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...