Oligarki Politik Pilgub Sulsel
Kontradiksi tensi politik daerah menjelang ajang pesta demokrasi. Kian gemuruh menabuh genderang politik. Bersamaan dengan itu suhu politik para elit juga semakin memanas.
Ada tudingan korupsi, rasisme, black campaign, hingga isu surat suara yang sudah tercoblos. Merupakan fenomena yang kerap kali menjadi “bumbu penyedap rasa” setiap Pemilukada, hendak mencapai klimaksnya.
Meski separuh kota Makassar digenangi banjir. Akhir-akhir ini. Namun tak sekalipun menyurutkan para kandidat, simpatisan dan juru kampanye masing-masing berebut simpati. Di semua lokasi yang dilanda banjir itu. Terlihat kandidat menebar pesona, pencitraan demi pencitraan. Hingga sumbangan rasa belas kasih kepada korban di lokasi kejadian.
Satu poin penting menjadi sorotan utama dalam perhelatan kompetisi singgasana kekuasaan tersebut. Adalah pertarungan para pemimpin-pemimpin daerah. Yang disinyalir semuanya berasal dari pejabat Kepala Daerah. Bahkan diantara ketiga kandidat, saat ini masih dalam posisi sebagai pejabat Kepala Daerah yang aktif.
Menatap dan mencermati semua pasangan kandidat saat ini. Politik tidaklah salah kiranya kalau disematkan fenomena oligarki. Sebuah petarungan para kaum oligarki. Petarungan para kaum elit yang memegang kekuasaan semi mutlak, mendekati kediktatoran. Mereka umumnya pemilik modal dan pimpinan partai politik. Bahkan menelaah lebih jauh rekam jejak masing-masing kandidat. Sangat ironis melihat praktik oligarki yang melanda rencana Pemilihan Gubernur sekarang. Hampir semua kandidat pernah mencicipi jabatan Kepala Daerah dalam dua periode sebelumnya.
Sebut saja misalnya nama Ilham Arief Sirajuddin alias Aco. Pengalamannya, sudah banyak “makan garam” memimpin kota Makassar. Di tengah banyak gegap gempita menimpah warganya. Sudah dua periode menjadi Walikota Makassar. Dan hendak melenggang, menggoyang, bahkan menggeser kursi milik SAYANG. Demikian juga pasangan wakil Ilham, Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar mungkin telah “lelah” menjadi Dewan Perwakilan Daerah di Senayan. Hendak menguji “keberuntungan” kedua kalinya. Memimpin Indonesia Timur menuju negeri yang “bersyariat”.
Sementara kandidat SAYANG. Syahrul Yasin Limpo (SYL) tak kalah genitnya, prestasi yang pernah diukir. Mulai dari jabatan bawahan. Seperti Camat, Bupati, Wakil gubernur. Hingga berhasil menggeser posisi Amin Syam dahulu. Kini saatnya setelah menjalani masa satu periode kepemimpinannya. Lagi-lagi masih tidak rela melepaskan jabatannya. Sang wakilpun Agus Arifin Nu’mang siap menemani Syahrul berkompetisi. Dimana sebelumnya, Agus Arifin Nu’mang juga adalah mantan ketua DPRD Provinsi kemudian menjadi Wakil Gubernur bersama SYL.
Dari Kabupaten Sinjai juga menjadi saksi atas sejarah. Kalau Rudiyanto Asapa adalah pemenang atas “tahta” pemilihan Bupati dua periode di Kabupaten itu. Rudiyanto dengan sayap Garuda-Na datang merecoki, kedua pasangan kandidat. Dengan membawa pasangan wakil mantan Bupati Kabupaten Pinrang Andi Nawir Pasinring. Kalau pasangan ini lolos, maka terbuktilah psikodrama melodramatika “kotak-kotak” ala Jokowi. Orang kampung masuk kota.
Kecurigaan Aristoteles nampaknya hari ini telah membuka mata kita semua. Ketika sistem politik sekarang yang terjadi adalah sistem oligarki. Yakni pemerintahan oleh beberapa orang kaya untuk kepentingan orang-orang kaya juga. Kepentingan bersama nyaris tak pernah jadi pertimbangan. Kecuali kepentingan bersama tersebut secara langsung beririsan dengan kepentingan para orang-orang kaya.
Disaat yang sama demokrasi yang direcoki oleh praktik oligarki makin mempertegas ungkapan Lord Acton: power tends to corrupt, absolutly power to tends to absolutely corrupt (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut juga korupsinya absolut).
Ungkapan Lord Acton menjadi sintesa bahwa Kepala Daerah yang kian lama mempertahankan kekuasaan dan jabatannya. Tidak lain hanya berniat menumpuk harta, modal, demi kepentingan diri dan golongannya saja. Demi kepentingan partai politiknya. Tanpa pernah membuka pintu kepada kelas/ golongan yang tidak “berpunya”. Padahal kelas itu boleh jadi memiliki kapabilitas, integritas dan akseptabilitas yang baik.
Tidak ada yang salah memang, dalam setiap perhelatan demokrasi. Di saat Kepala Daerah mencalonkan lagi, entah dari Bupati kemudian menjadi Gubernur. Ataukah dari Gubernur kembali menjadi Gubernur. Hak untuk dipilih dan ikut dalam kontestasi politik dijamin dalam konstitusi kita. Bahkan tidak ada regulasi yang membatasi seorang Bupati misalnya tidak dapat mencalonkan sebagai Gubernur.
Namun, gejala oligarki politik. Masa kepemimpinan yang bertahun-tahun melalui mobilisasi jabatan. Bukankah mencederai sekaligus menguliti demokrasi yang kita anut bersama. Karena para Oligark mampu menggunakan pengaruhnya untuk melakukaan pemaksaan terhadap pemilik otoritas resmi demi mempertahankan dan mengakumulasi kekayaannya (Irvan Mawardi, 2011: 2). Padahal sedari awal “pemujaan” terhadap demokrasi. Adalah mengutamakan kepentingan orang banyak. Bahkan, tanpa melihat lagi batas-batas apakah orang-orang tersebut merupakan konstituennya atau bukan.
Kalau Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pernah mewacanakan revisi Pasal 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilukada. Yang mencoba membatasi kandidat Gubernur memiliki hubungan garis keturunan, kecuali ada selang waktu minimal satu jabatan.
Bagi saya, selain pengaturan yang demikian. Sebagai langkah awal pengetatan dinasti politik Pilkada. Maka dalam Undang-undang Pemilukada perlu juga ditekan kepentingan oligarki yang dapat menghancurkan sendi-sendi dan pilar demokrasi. Melalui pembatasan kepada Bupati, Walikota yang tidak dapat mencalonkan pada jabatan sebagai Kepala Daerah: Gubernur. Kecuali Bupati/ Walikota tersebut telah berhenti atau tidak menjabat lagi dari jabatannya selama beberapa tahun sebelumnya.