Tindak Pidana Pemilu
Tindak pidana yang sering juga disebut sebagai delik (delict) merupakan perbuatan pidana yang di dalamnya terdapat unsur kejahatan maupun unsur pelanggaran, yang harus dipertanggungjawabkan oleh orang yang melakukan perbuatan yang melanggar nilai ketertiban masyarakat tersebut.
Dalam mengefektifkan berlakunya hukum terhadap tindak pidana maka harus dikenakan sanksi atas perbuatan itu.Meskipun dalam teori hukum pidana seorang bisa saja lepas dari perbuatan pidana jika perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Atau dengan kata lain orang yang melakukan tindak pidana karena adanya unsur daya paksa, maka orang tersebut lepas dari segala tuntutan hukum.
Rumusan atau defenisi tindak pidana pemilu baik dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 maupun dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tidak dijelaskan secara rinci, apa yang dimaksud tindak pidana. Padahal dalam penyusunan naskah Undang-undang hal-hal yang menyangkut ketentuan umum mestinya diberikan defenisi dalam ketentuan-ketentuan umum di bagian awal (misalnya dalam Pasal 1).
Pengertian tindak pidana pemilu dalam kepustakaan sebagaimana dikemukakan oleh Djoko Prakoso[1], tindak pidana pemilu adalah setiap orang atau badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang. Defenisi yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso ini amat sederhana, karena jika diperhatikan beberapa ketentuan pidana dalam Undang-undang Pemilu saat ini perbuatan mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum hanya merupakan sebagian dari tindak pidana pemilu.
Ruang lingkup tindak pidana pemilu memang amat luas cakupannya, meliputi semua tindak pidana yang terjadi pada proses penyelenggaraan pemilu, termasuk tindak pidana biasa pada saat kampanye atau penyelenggaraan keuangan yang terjadi dalam tender pembelian perlengkapan pemilu. Maka Topo Santoso[2] memberikan defenisi tindak pidana pemilu dalam tiga bentuk meliputi:
- Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam Undang-undang Pemilu.
- Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam maupun di luar Undang-undang Pemilu (misalnya dalam Undang-undang Partai Politik ataupun di dalam KUHP).
- Semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas, penganiayaan, kekerasan, perusakan dan sebagainya.
Pengertian pertama merupakan defenisi yang paling sempit dari ketiga pengertian di atas, tetapi sekaligus pengertian yang paling tegas dan fokus, yaitu hanya tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu saja. Dengan cakupn seperti itu maka orang akan dengan muda mencari tindak pidana pemilu yaitu di dalam Undang-undang Pemilu.
Toto Santoso tidak memberikan redefenisi pada saat tindak pidana pemilu pada saat tahapan pemilu sudah selesai, misalnya pada saat tahapan kasus itu di tingkat penyelidikan belum selesai, atau pada tahap penuntutan kasus tersebut masih berada di tangan Kejaksaan namun tidak di tangani lagi hingga ke Pengadilan karena penyelenggaraan pemilu sudah berakhir.
Berkenaan dengan masalah tersebut maka Dedi Mulyadi[3] melakukan redefenisi tindak pidana pemilu, terhadap pengertian tindak pidan pemilu menjadi dua kategori:
- Tindak pidana pemilu khusus adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahapan penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam UU pemilu maupun dalam undang-undang tindak pidana pemilu.
- Tindak pidana pemilu umum adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahap penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam UU Pemilu maupun dalam UU Tindak Pidana Pemilu dan penyelesaiannya di luar tahapan pemilu melalui Peradilan Umum.
Dengan demikian pengertian yang dikemukakan oleh Dedi Mulyadi tersebut, pengertian pertama dikhususkan bagi penyelesaian perkara pidana pemilu yang disesuaikan dengan tahapan pemilu, sedangkan defenisi yang kedua untuk perkara pada saat tahapan pemilu selesai, perkara tersebut masih dalam proses baik penyidikan, prapenuntutan, dan penuntutan.
Sehingga ke depan diharapkan tidak ada lagi perkara yang tidak jelas penyelesaiannya (tidak ada kepastian hukum), mencederai rasa`keadilan dan secara langsung atau tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Banyak sekali jenis pelangaran yang dapat terjadi dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi untuk lebih muda mempelajarinya, maka dapat dibagi dalam tiga kategori jenis pelanggaran meliputi:[4]
- Pelanggaran administratif. Dalam UU pemilu yang dimaksud pelanggaran adminitratif adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU, dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Misanya tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan danaawal kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
- Tindak pidana pemilu, merupakan tindakan yang dalam Undang-undangPemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan mengubah hasil suara.
- Perselisihan hasil pemilihan umum, adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.
Fokus pembahasan dalam tesis ini adalah pelanggaran pemilu hanya pada wilayah tindak pidana pemilu.Pelanggaran tindak pidana pemilu dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 yang terbagi atas pelanggaran dan kejahatan.Mulai dari Pasal 273 s/d Pasal 321. Jika dicermati beberapa ketentuan dalam Pasal tersebut, sesungguhnya ada potensi pelanggaran terhadap tindak pidana pemilu yangtersurat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 meliputi:
- Penyelenggara pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/ Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupten Kota, Panwas Kecamatan, dan Petugas Pelaksana Lapangan lainnya.
- Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD dan tim kampanye.
- Pejabat tertentu, seperti PNS, anggota TNI, anggota POLRI, pengurus BUMN/ BUMD, Gubernur/ Pimpinan Bank Indonesia, perangkat Desa dan badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan Negara.
- Profesi media cetak/ elektronik, pelaksana pengadaan barang, dan distributor.
- Masyarakat pemilih, pelaksana survei/ hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai setiap orang.
Dari berbagai kasus pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu, berkaca pada pemilu Tahun 2009 modus operandi tindak pidana pemilu dapat dikemukakan sebagai berikut:[5]
Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, modusnya melalui beberapa cara diantaranya:
- Salah satu cara dengan sengaja tidak mendaftarkan dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS), Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTB), walau telah memenuhi syarat sebagi pemilih yaitu berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah pernah kawin, mempunyai hak untuk memilih tetapi karena tidak terdaftar atau tidak didaftarkan dengan motivasi tertentu sebagai hak pilih pada saat pendaftaran pemilih sehingga pada waktu pelaksanaan pemiluh nama orang tersebut tidak ada dalam daftar pemilih.
- Dengan sengaja mencoret nama orang yang mempunyai hak pillih dengan alasan karena sudah meninggal atau sudah pindah alamat dan seterusnya padahal orangnya masih hidup dan ada ditempat domisilinya.
- Dengan sengaja tidak menerbitkan Kartu Tanda Penduduk baru bagi para penduduk yang telah habis masa berlaku Kartu Tanda Penduduknya dengan berbagai alasan, sehingga mengakibatkan penduduk tetap yang tidak mempunyai KTP dianggap sebagai penduduk liardan tidak diberatkan hak pilihnya.
- Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih (DPS, DPT, DPTB).
- Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Umum tersebut.
Pemalsuan dokumen/ surat dan menggunakan dokumen/ surat palsu modusnya melalui beberapa cara diantaranya sebagi berikut:
- Dengan sengaja membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai surat atau dokumen tersebut khususnya dalam pendaftaran sebagai syarat administrasi bakal calon anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD) juga dipergunakan sebagai dasar untuk mendapatkan hak pilih dari rakyat dalam pemilihan umum legislatif.
- Khususnya bagi pemilihan anggota DPD melalui modus pengumpulan foto copy KTP dalam pembagian sembako, sembako murah atau pembagian beras Raskin baik yang dilakukan oleh tim suksesnya langsung maupun yang dilakukan oleh RT maupun RW setempat.
- Bahkan dibeberapa daerah maka foto copy sebagai syarat bukti dukungan terhadap calon anggota DPD diambil dari koperasi-koperasi yang seluruh anggota tidak tahu bahwa KTP-nya dijadikan sebagai syarat dukungan pencalonan anggota DPD.
Politik uang (moneypolitic) yang dilakukan oleh peserta pemilu anggota legislatif, dengan modus-modus sebagai berikut:
- Dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperolah dukungan bagi pencalonan pemilu legislatif, biasanya dengan cara membagi-bagikan sembako, uang dan barang pada saat kampanye, hari tenang, menjelang pencotrengan/ pencoblosan (serangan fajar) kepada penduduk yang dsertai dengan permintaan untuk mendukungnya pada pelaksanaan Pemilihan Umum.
- Peserta pemilu mendapatkan sumbangan dana dari pihak ketiga dengan modus sipemberi sumbangan disamakan alamatnya dan perusahaannya, bahkan ada perusahaan yang fiktif dan alamat yang fiktif sehingga sangat susah untuk dilacak keakuratannya.
- Dengan sengaja memobilisasi penduduk dari tempat tinggalnya menuju keTempat Pemungutan Suara khususnya kalau tempat tinggal dengan Tempat Pemungutan Suara berjauhan maka diperlukan tumpangan kendaraan, para calon anggota legislatif baik secara langsung maupun melalui tim suksesnya yang ada di daerah mencoba memanfaatkan kondisi ini dengan memberi tumpangan gratis kepada pemilih dengan maksud ingin mendapatkan simpati dan dukungan dari para pemilih.
- Dengan memanfaatkan para tokoh masyarakat baik agama, budaya, dengan iming-iming atau memberikan janji akan mendapatkan imbalan berupa proyek, bantuan (sarana dan prasarana), bahkan jabatan tertentu agar mendapatkan dukungan dari masyarakat padasaat pencoblosan suara dalam pemilu legislatif.
- Dengan sengaja membagi-bagikan uang pada saat menjelang pemungutan suara dengan dalil sebagai pengganti penghasilan yang seharusnya di dapat jika pada hari itu pemilih bekerja ditempat lain, dengan maksud untuk mendapatkan dukungan dari para pemilih dalam pelaksanaan pencoblosan tersebut.
- Dengan sengaja membagi-bagikan kepada parapemilih berupa barang: korek api, semen, cat, kalender dan lain-lain yang bertuliskan pilihan yang harus diambil oleh penerima barang tersebut dengan tujuan ingin mendapatkan dukungan pada saat Pemilihan Umum tersebut.
Pelanggaran kampanye, kampanye terselubung, kampanye di luar jadwal dengan modus sebagai berikut:
- Dengan sengaja melalkukan kampanye di luar jadwal waktu yang ditentukan oleh KPU, KPU Provisni, KPU Kabupaten/ Kota misalnya pada masa tenang masih dilaksanakan kampanye baik secara terang-terangan atau terbuka maupun secara terselubung misalnya melalui cara pengajian, diskusi dan pertemuan-pertemuan yang isinya adalah kampanye.
- Pemasnagan atau penyebaran bahan kampanye kepada umum pada saat masa tenang bisanya dilakukan setelah Panwas melakukan upaya pembersihan seluruh atribut kampanye pada masa tenang, maka para tim kampanye menyebarkan atribut kampanye kembali dengan maksud agar pada saat pelaksanaan pemilihan atribut kampanye mampu mengingatkan kembali masyarakat akan pilihan khususnya calon yang diusungnya.
- Peretemuan tatap muka pada masa sebelum masa kampanye baik setelah masa kampanye biasanya banyak dilaksanakan dengan argumentasi konsolidasi baik hanya pertemuan biasa dalam artian silaturrahmi yang ada di dalam materinya disisipkan kamapanye terselubung.
- Pelanggaran kampanye yang dapat terjadi salah satunya berupa pelanggaran lalu lintas misalnya peserta kampanye tidak memakai helm pada saat berkonvoi (beramai-ramai) menuju tempat kampanye atau pulang dari tempat kamapnye baik kampanye terbuka maupun kampanye tertutup.
- Palanggaran rute kampanye yang dilakukan oleh peseta kampanye pada saat pelaksanaan kampanye baik pada saat berangkat, maupun pulang kampanye dengan tidak mengindahkan rutejalan yang telah ditetapkan oleh KPU sehingga pada`akhirnya mengganggu ketertiban, dapat mengakibatkan pelanggaran lalu lintas bahkan yang paling fatal bertemunya dua peserta kampanye yang berbeda sehingga berpotensi mengakibatkan bentrokan antara peserta kampanye.
Pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu diantaranya anggota KPUD pada saat penghitungan suara di KPUD, dengan modus diantaranya dalam penghitungan suara akhir di KPUD potensi untuk melakukan kecurangan atau keberpihakan kepada salah satu peserta pemilu menjadi tren yang marak terjadi misalnya pada saat penghitungan suara di tingkat KPUD maka dari sekian banyak partaiyang mendapatkan suara ada partai-partai kecil yang tidak ada calegnya tetapi mendapatkan suara atau dengan bahasa lain suara tak bertuan, maka suara tak bertuan ini menjadi potensi disalahgunakan oleh anggota KPUD dengan modus dijual kepada calon yang perolehan suaranya kurang. Dalam perkara ini agak sulit untuk ditemukan mengingat tidak ada yang dirugikan dari para kontestan atau calon anggota legislatif karena suara yang dijual oleh anggota KPU merupakan suara tak bertuan, disamping itu perhatian orang akan tertumpu pada jumlah suaranya masing-masing atau dukungannya tersebut mengingat para calon yang lain tidak merasa dirugikan karena suaranya tetap.
Pelanggaran yang dilakukan oleh para pejabat Negara yang harusnya netral atau tidak berpihak, dengan modus sebagai berikut:
- Pejabat Negara tertentu turut mengatur dan memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dengan peserta kampanye atau tim kampanye dengan maksud agar masyarakat melihat keberadaan pejabat tersebut dapat mempengaruhi pilihan masyarakat.
- Peserta pemilu yang merupakan mantan pejabat mempunyai potensi untuk mempergunakan fasilitas Negara, misalnya dalam berkampanye mempergunakan mobil dinas atau fasilitas Negara lainnya yang mengakibatkan kerugian terhadap Negara dengan berpotensi pada kecemburuan dari peserta pemilu yang lain.
- Pejabat Negara secara langsung atau tidak langsung memperkenalkan peserta pemilu tertentu kepada masyarakat atau khalayak umum dengan harapan agar masyarakat terpengaruh dalam menentukan pilihannya.
Diantara sekian masalah yang menyulut kepermukaan menjadi bahagian dari pelanggaran tindak pidana pemilu, paling tinggi kasus pelanggaran tindak pidana pemilu, biasanya terjadi pada saat penyelenggaraan kampanye pemilu oleh anggota legislatif. Pada tahap ini karena melibatkan bukan hanya calon anggota legislatif namun melibatkan juga peserta kampanye sehingga tindak pidana kekerasan terhadap peserta kampanye lain seringkali terjadi. Pasca perubahan Undang-undang Pemilu, pengaturan tentang sanksi terhadap modus tindak pidana sebagaimana yang telah di kemukakan di atas ketentuan pidana dalam UU Pemilu (UU No 8 Tahun 2012) telah menghapuskan pidana minimum pada UU pemilu sebelumnya (UU Nomor 10 tahun 2008), guna memberikan asas kepastian hukum dan memudahkan bagi hakim dalam memberikan putusan
[1] Djoko Prakoso, 1987, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta, Sinar Harapan, Hlm. 148.
[2] Topo Santoso, 2006, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm. 1.
[3] Dedi Mulyadi, 2012, Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia, Jakarta, Gramata Publishing, Hlm. 418
[4] Dedi Mulyadi, Op.Cit,Hlm. 383.
[5] Dedi Mulyadi, Op. Cit,Hlm 385 s/d 389.