Koalisi Retak Lagi

Koalisi dan oposisi adalah dua kata yang menjadi kawan sejati dalam politik. Koalisi menunjukkan kedekatan dalam persahabatan, sementara oposisi adalah keengganan untuk bersahabat alias saling menatap tajam sambil mengancam untuk menikam lawan masing-masing. Koalisi dalam politik menjadi niscaya terutama dalam konteks sistem multi partai yang dikombinasikan dengan sistem Presidensial.

Eep Saefulloh Fatah (2008)  mengingatkan bahwa Presidensialisme di bawah kepemimpinan presiden yang berasal dari partai minoritas, kecenderungan bagi terjadinya jalan buntu di antara eksekutf-legislatif terbuka dengan cukup lebar. Dari 73 negara demokrasi di dunia, dalam rentang waktu 1946-1996, terdapat 61,5 persen dari minority presidents yang terbentur situasi jalan buntu (deadlock situations) (Cheibub, 2002).

441ecd768426299e366a29c40025f405_7

Sumber: jaringnews.com

Itulah sebabnya banyak kritikan dan keraguan akan bertahannya sistem Presidensialisme yang dikawinkan dengan multipartai, terutama jika partai penguasa  minoritas menguasai parlemen, karena kecenderungan jalan buntu antara presiden dan parlemen hampir bisa dipastikan akan terjadi.

Di Indonesia, keharusan koalisi itu menjadi satu kebutuhan tersendiri, karena UU memberikan batasan bagi partai politik yang boleh pasangan mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Mandat Pasal  1 ayat (3) UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden menyatakan, bahwa: “Gabungan Partai Politik adalah gabungan 2 (dua) Partai Politik atau lebih yang bersama-sama bersepakat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden”. Ketentuan ini dipertegas lagi dalam ayat (4), pasal 6 ayat (1)’ pasal 7 ayat (1) dan pasal 9 UU Nomor 42 tahub 2008. Meskipun di pasal 5 yang memuat tentang persyaratan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden tidak mencantumkan persyaratan partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana yang telah menjadi ketentuan umum dan pasal-pasal lain. Di situlah juga kesalahan para pembuat UU, seharusnya persyaratan “diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik” itu dicantumkan di dalam nomenklatur persyaratan sehingga menjadi satu-kesatuan di pasal 5. Meskipun demikian, persoalan ini juga telah ditegaskan di dalam pasal 9 UU tentang Pilpres yang memuat Bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Nomenklatur ini menjadi jurus pamungkas bagi penentuan partai-partai politik dalam melakukan koalisi guna mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden. Apakah partai pengusung memenuhi syarat untuk menentukan sendiri pasangan calon yang hendak diusung atau harus mencari mitra koalisi supaya memenuhi syarat UU.

Itulah sebabnya pengajuan pasangan Capres dan Cawapres Yudhoyono-Boediono pada Pemilu 2009 diusung oleh sejumlah partai politik, yang salah satunya adalah partai keadilan sejahtera. Komposisi koalisi yang gemuk dan digalang secara serius oleh partai Demokrat itu dikritik keras oleh sejumlah pengamat, karena bangunan koalisi yang dibentuk bukan atas dasar kepentingan ideologis dan strategis, tetapi lebih pada kepentingan pragmatis, yakni upaya untuk menyelamatkan kepemimpinan Yudhoyono selama lima tahun tanpa interupsi yang terlalu berarti dari parlemen.

Penggalangan koalisi pragmatis yang dilakukan oleh partai Demokrat ditengarai sebagai upaya untuk menguatkan sistem Presidensial, di mana Presiden dan para menterinya bisa dengan nyaman mengambil keputusan politik tanpa harus bernegosiasi panjang dengan parlemen. Meskipun mimpi Demokrat itu tidak terlaksana dengan baik sepanjang 2009 hingga 2013 ini, namun fakta tetap menunjukkan koalisi yang dibangun memang besar dan menghimpun banyak kekuatan politik. Kebesaran koalisi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena terjadi pasang surut hubungan di kalangan kerabat koalisi.

Koalisi dalam konteks sistem multi partai yang dikawinkan dengan sistem Presidensial, ditenggarai oleh Scott Mainwaring sebagai koalisi jangka pendek yang sering gagal dan tentu saja rawan pengkhianatan. Koalisi tanpa platform, ideologi, dan fatsun politik yang sama menyebabkan terlalu mudahnya  rumah koalisi itu retak dan tentu diawali dengan konflik dan ketidakcocokan di tengah jalan.

Fenomena koalisi pragmatis ini disebut sebagai “kohabitasi”. kohabitasi adalah suatu istilah yang menunjukan pada satu konteks, dimana ada kebersamaan tanpa kesepakatan. Secara sederhana, kohabitasi adalah seperti dua manusia yang berbeda jenis kelamin tinggal se rumah, namun tidak terikat perkawinan. Kapan saja salah satu di antara keduanya bisa saling meninggalkan tanpa wanprestasi, karena tidak ada perjanjian atau ikatan apapun sebelumnya antara keduanya. Mereka tinggal se rumah karena sama-sama suka, memiliki keinginan yang sama dan untuk sementara mereka saling memiliki. Namun tidak ada fatsun, ideologi, dan konsep yang sama mengenai kebersamaan mereka selama tinggal satu rumah itu.

Konsep koalisi yang di bangun di bawah payung raksasa yang bernama Sekretariat Gabungan yang dipimpin oleh Yudhoyono itu, bukanlah bangunan koalisi yang dikonstruksi dari kesamaan pandangan, ideologi dan cita-cita politik yang sama. Mereka bersama-sama dalam satu rumah di mana masing-masing memegang senjata dengan jumlah peluru yang berbeda. Namun berapapun peluru para pemegang senjata itu, tentu saja bisa menggertak atau sekaligus melumpuhkan Jenderal koalisi jika mereka merasa bahwa kemungkinan bersama sulit untuk dilanjutkan. Tentu saja membunuh sang Jenderal koalisi tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama-sama karena pasukan sang Jenderal lebih besar, kuat dan senjata yang lebih canggih.

Keinginan PKS untuk keluar dari koalisi adalah mirip dengan sentilan di atas. PKS, PAN, PKB, PPP dan Demokrat adalah partai pengusung utama pasangan Yudhoyono-Boediono. PKS diberi tiga jatah menteri, yakni menteri pertanian, menteri komunikasi dan informatika serta Menteri Sosial. ketiga kementerian itu diserahkan adalah sebagai imbalan dari dukungan PKS atas pasangan Yudhoyono-Boediono dan kebersamaannya untuk tetap bertahan dalam menopang kepemimpinan mereka selama 5 tahun.

Namun sebagaimana yang terlihat bahwa hubungan dalam koalisi ternyata tidak menopang sepenuhnya kekuasaan pemerintahan SBY, karena kerap kali partai-partai yang terlibat dalam koalisi mengkhianati presiden dan menolak kebijakan pemerintah. Demokrat sebagai partai penguasa banyak dikecewakan oleh kerabat koalisi sendiri, dan tentu saja ini adalah akibat kebersamaan yang disebut sebagai “kohabitasi”. PKS adalah salah satu sahabat koalisi yang menggunting dalam lipatan, di samping partai Golkar dan PPP, seperti yang terjadi pada kasus Century, di mana Demokrat kalah telak atas opsi C yang dipilih saat itu. Golkar, PDI-P, PKS, Gerindra, Hanura, dan PPP, serta satu suara dari PKB mendukung opsi C dengan jumlah 325 suara. Sementara yang setia mendukung Demokrat saat itu adalah PAN dan PKB dengan jumlah hanya 212 suara. Ini disebut oleh partai-partai koalisi, yakni Golkar, PKS dan PPP tersebut sebagai koalisi kritis.

Pada saat menolak usulan hak angket dan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Angket Perpajakan melalui mekanisme voting terbuka pada Rabu, 16 Februari 2011, terlihat polarisasi partai koalisi yang begitu menguat dan tentu saja pecah kongsi. Dari 530 anggota Dewan yang hadir dalam rapat paripurna saat itu, 264 menerima usul hak angket pajak dan 266 menolak. Hanya selisih dua suara dan hampir saja Demokrat dipermalukan lagi. Bisa dibayangkan, Presiden yang menang telak satu putaran dengan jumlah suara 60,5 persen, dan dukung oleh koalisi partai di parlemen sekitar 76% (423 kursi DPR)  persen, kebijakannya justru banyak mendapat tantangan dari partai koalisi itu sendiri. Kasus lain adalah ketika sidang paripurna pengambilan keputusan atas kenaikan harga BBM pada tahun 2012. Keberadaan Pasal 7 Ayat 6a dalam UU APBN 2012, dianggap memungkinkan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi berdasarkan harga pasar. Ini menunjukan betapa koalisi yang dibangun dan tidur bersama dalam tenda Setgab rapuh seperti rumah kertas yang bisa berantakan hanya karena tiupan angin sepoi.

Isu kenaikan BBM untuk tahun 2013 ini akan menjadi salah satu instrumen bagi retaknya kembali koalisi, sebagaimana retaknya koalisi pada kasus hak angket Century, kasus hak angket mafia pajak dan kasus rencana kenaikan BBM pada tahun 2012.  Melalui Annis Matta, pada tahu 2011 dimana saat itu  yang bersangkutan menjabat sebagai wakil ketua DPR, PKS berteriak keras ingin keluar dari koalisi, sementara Golkar ingin tetap menjadi mitra koalisi, meskipun beberapa suara sumbang juga muncul supaya keluar dari koalisi. Annis bahkan mengancam akan membongkar kontrak spesial yang mereka bangun dengan SBY, yang hingga kini publik tidak tau apa kontrak spesial tersebut.

Menghadapi kasus hukum yang muncul dan melibas sebagian besar elit PKS saat ini, muncul lagi suara dari sebagian kader PKS supaya mereka keluar dari koalisi. Koalisi diending perjalanan pemerintahan terancam retak karena gertak PKS tersebut, meskipun hampir sebagian besar publik menilai bahwa ini hanya gertak sambal saja. Beberapa argumentasi yang bisa dibaca dari kembali retaknya koalisi ini adalah;

Pertama, PKS kelimpungan menghadapi kasus hukumnya. PKS sedang dalam galau sehingga pernyataan itu sangat emosional.

Kedua, PKS masih mengira-ngira, bahwa kasus hukum yang menimpa sebagian elitnya sekarang adalah dikerjakan oleh Demokrat. Mereka curiga bahwa KPK adalah alat Pemerintah yang bisa dikendalikan sepenuhnya sehingga mengkriminalisasi mereka. Sementara ketika Demokrat dihabisi satu persatu oleh KPK, mereka biarkan itu sebagai jalan untuk membenah partai, mereka biarkan KPK melakukan langkah-langkah hukum untuk menyelamatkan keuangan negara tanpa melindungi sedikitpun kader mereka.

Ketiga, PKS keluar dari koalisi tidak mempengaruhi sisa pemerintahan SBY. Apalagi Partai Golkar sebagai kekuatan kedua setelah Demokrat sudah menyatakan ikhtiarnya untuk bersama-sama mendukung kebijakan Pemerintah hingga selesai. Bahkan Golkar sudah menyatakan kesiapannya untuk mendukung kenaikan BBM dengan syarat mekanisme pemberian BLSM bisa segera diterapkan.

Keempat, PKS hanya menjadi beban koalisi, Karena selalu menggunakan standar ganda. Tidak ada komitmen yang bisa dipegang oleh sahabat koalisi. Inilah akibat dari bangunan koalisi yang tidak didasarkan atas fatsun, ideologi dan cita-cita politik yang sama. Sekali lagi, ini adalah akibat “kohabitasi”.

Kelima, dukungan PKS pada koalisi hanya sekitar 10%, suatu angka yang tidak terlalu berpengaruh pada komposisi koalisi yang besar. Kecuali Golkar yang mengancam mundur dari koalisi, maka akan menjadi ancaman bagi stabilitas kebijakan Yudhoyono hingga 2014. Ada 76% (423 kursi DPR) kekuatan penopang kekuasaan pemerintahan di parlemen, sehingga jika PKS keluar koalisi, masih ada sisa saldo kekuatan, yakni sekitar 66% dukungan parlemen. Untuk sisa kekuasaan yang tinggal hanya sekitar satu tahun lagi, dukungan itu memadai untuk menyelesaikan sisa masa jabatan Presiden hingga Pemilu 2014.

Karena itu, ada atu tidaknya PKS dalam koalisi tidak begitu besar pengaruhnya bagi efektivitas jalannya pemerintahan, sehingga apabila PKS keluar koalisi, maka sebagai komitmennya dia harus menarik ketiga menterinya supaya berada di barisan kubu oposisi. Tinggal jatah tiga menteri itu di bagi oleh partai-partai yang masih berada di barisan koalisi.***

Oleh; Fajlurrahman Jurdi

Direktur Republik Institute

lihat juga artikel ini pada laman web berikut

Fajlurrahman Jurdi

Tenaga Ahli DPR RI; Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia (2005-2010); Peneliti Pada Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin, sekaligus sebagai Redaktur Jurnal Konstitusi Kerja sama dengan MK RI (2009-Sekarang); Lama menjadi santri di IMM dan Muhammadiyah. Menulis Buku antala lain: Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004); Aib Politik Muhammadiyah (2007); Komisi Yudisial; Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim (2007); Predator-Predator Pasca Orde Baru, Membongkar Aliansi Leviathan dan Kegagalan Demokrasi di Indonesia (2008); Aib Politik Islam (2009); Paradoks Konstitusi (2009); Gerakan SOsial Islam (2009); Editor Buku-Buku Antara Lain: Feminisme Profetik (2007); Trias Politica Dalam Sistem Ketatanegaraan (PuKAP: 2008); Hukum Internasional (2008); Jalan Terjal Good Governance (2009); Persekongkolan Rezim Politik Lokal (2009); Politik Hukum Pertanahan (2009); Islam dan Konstitusionalisme (2009); Paradoks Kehidupan (2009); Hukum Otonomi Daerah (2010); Hukum Pelayanan Publik (2010); Hukum Korporasi Rumah Sakit (2010); Peradilan Satu Atap Dalam Rezim Hukum Administrasi (2010); Menakar Putusan Hakim Dalam Perkara Perdata (2010: bersama Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo dan Prof. Dr. Hamzah Halim); Relevansi Konvensi New York dengan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia (2009: bersama Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo dan Prof. Dr. Hamzah Halim); Implementasi Keputusan Arbitrase Asing di Indonesia (2010: bersama Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo dan Prof. Dr. Hamzah Halim); Mehamami Sumber Hukum, Jenis, Azas-Azas dan Prinsip-Prinsip Dalam Arbitrase di Indonesia (2010: bersama Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo dan Prof. Dr. Hamzah Halim). Reformasi Mahkamah Agung (2011: Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo dan Prof. Dr. Hamzah Halim).

You may also like...