Mengakhiri Perkara Pimpinan KPK
Titik kulminasi perseteruan KPK dan Polri yang tidak jelas juntrungnya, perlahan kini mulai menemui ufuknya. Pelaksana Tugas Kapolri Komjen Pol. Badrodin Haiti “menghembuskan angin segar” untuk KPK. Bahwa tiga pimpinan KPK: Abraham Samad (AS), Adnan Pandu Praja (APP) dan Zulkanaen (Z)} yang mana laporannya sudah “dipegang” oleh Bareskrim Mabes Polri dijamin tidak akan ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan Bambang Widjojanto yang sudah ditetapkan sebagai “tersangka” tidak akan diteruskan pada upaya paksa, untuk melakukan penahanan atasnya.
Saban hari pun jika ternyata semua pimpinan KPK akhirnya ditersangkakan, lalu kiranya muncul reaksi publik yang begitu kuat untuk menyelamatkan KPK, boleh jadi dengan “pertimbangan politik” perkara atas pimpinan KPK akan dihentikan/diakhiri. Hal ini berkaca dari “preseden hukum” yang pernah mendera pimpinan KPK jilid II: Bibit dan Samad; keduanya menjadi tersangka, namun dihentikan perkaranya oleh Jaksa Agung dengan senjata pamungkas bernama “seponering” (pengenyampingan perkara).
Diantara semua ruang lingkup kajian hukum, bidang hukum pidana merupakan paling ketat dalam hal menerapkan segala ketentuannya. Ketatnya hukum pidana bukan hanya terjadi pada hukum pidana materil saja, tetapi termasuk pada proses penegakan hukum pidana materil yang diberikan kepada aparatur penegak hukum, tergolong “ketat” dalam hal “memperlakukan” terhadap seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu penting untuk dipaparkan setiap instrumen hukum yang dibolehkan dalam penghentian perkara atas perkara pidana beberapa pimpinan KPK yang kini sedang ditangani oleh penyidik Kepolisian. Termasuk kalau perkara tersebut telah sampai pada “tangan” Jaksa Penuntut Umum nantinya.
Intrumen hukum pidana yang saat ini tersedia untuk mengakhiri perkara pidana. Diantaranya: penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, pengenyampingan perkara/ seponering dan peniadaan tuntutan pidana/ abolisi.
SP3
Terhadap kasus BW yang mana saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan terhadap tiga pimpinan KPK yang masih tersisa; pun kalau ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Kepolisian. Oleh pihak penyidik, kelak dapat saja menghentikan perkara itu melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dengan tiga alasan: tidak cukupnya bukti, peristiwa yang disidik bukan tindak pidana, atau perkaranya ditutup demi hukum (vide: Pasal 7 ayat 1 huruf {i} Junto Pasal 109 ayat 2 KUHAP).
Perlu diketahui bahwa penyidik yang berada di lingkup Kepolisian berada di bawah Kabareskrim dan Kapolri, maka sulit untuk dipungkiri penyidik dapat “dikendalikan” oleh atasannya. Dan ingat pula, bahwa pejabat setaraf Kapolri yang diangkat oleh Presiden juga bisa “diintervensi” oleh Presiden. Sehingga hal yang wajar-wajar saja, kalau tersangkanya pimpinan KPK, lalu dihentikan proses penyidikannya karena tidak cukup bukti. Apalagi memang alasan atas tidak cukupnya bukti hanya penyidik yang bisa mengetahuinya, tidak ada kewajiban “imperatif” untuk mengumumkan “tidak cukupnya bukti” tersebut ke khalayak publik/ media massa.
Sedangkan alasan perkara untuk ditutup demi hukum yakni berlandaskan pada tidak pidana tersebut dinyatakan gugur. Suatu tindak pidana dinyatakan gugur, antara lain: nebis in idem; tersangka/terdakwa meninggal dunia; daluarsa; penyelesaian di luar proses (damai); dan adanya abolisi.
Cuma saja yang menjadi kelemahan dari SP3, terhadap kasus tersebut tetap dapat dibuka untuk diproses dikemudian hari kalau pihak Penuntut Umum atau ada pihak ketiga (seperti LSM dan saksi pelapor) hendak mempraperadilankannya. Dan bahayanya lagi, jika pengadilan mengabulkan praperadilan tersebut. Maka saat kita menyangkutpautkan atas penghentian Penyidikan pimpinan KPK yang pernah berstatus tersangka, “terpaksa” dan mau tidak mau ia harus kembali menjadi tersangka dan proses penyidikannya wajib untuk dilanjutkan.
SKP2
Hal yang serupa, melalui Penuntut Umum juga dapat menghentikan perkara dengan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2). Alasan yang dapat digunakan oleh Penuntut umum, sama dengan alasan dalam SP3 (vide: Pasal 14 huruf {h} Junto Pasal 140 ayat 2 KUHAP).
Terlepas dari seputar perdebatan, harapan agar hukum agar harus selalu objektif, terhadap penghentian penuntutan, ternyata dapat saja “diintervensi” oleh Jaksa Agung. Apalagi memang berdasarkan UU Kejaksaan, Jaksa Agung termasuk bagian dari pemerintahan, sehingga “pintu intervensi” Presiden sudah pasti terbuka lebar. Dan kalau seperti itu kejadiannya, maka Penuntut Umum, melalui “jurang kelemahan” hukum ini, akan menerbitkan SKP2 untuk mengakhiri penuntutan.
Perbedaan paling mendasar jika dibandingkan SP3 dan SKP2, adalah tat kala dikemudan hari ditemukan bukti atau alasan baru in qasu, maka Penunutut Umum bisa saja melakukan penuntutan kembali terhadap si tersangka. Termasuk kelemahan lain dari SKP2, yakni masih pula terbuka forum untuk mempraperadilankannya, baik itu dapat dilakukan oleh Penyidik maupun oleh pihak ketiga (LSM dan Saksi Pelapor).
Tetapi di luar konteks tersebut, terdapat keistimewaan dalam wilayah Kejaksaan untuk mengunci berakhirnya perkara dari perkara yang sedang ditangani oleh Penuntut Umum, Jaksa Agung dapat menggunakan “senjata pamungkasnya” untuk mengakhiri perkara melalui seponering pengenyampingan perkara demi kepentingan umum (vide: Pasal 35 huruf c UU No. 16/2004 Tentang Kejaksaan). Makna dari frasa “kepentingan umum” di sini adalah menyangkut kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Inilah yang pernah terjadi pada kasus penghentian perkara Bibit-Samad oleh Jaksa Agung melalui seponering, sebab praperadilan atas penghentian penuntutan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri, bahkan sampai “dikuatkan” oleh Pengadilan Tinggi.
Abolisi
Terakhir, masih tersedia instrumen hukum lain untuk mengakhiri perkara tindak pidana yang dalam proses penyidikan atau penuntutan. Tetapi kewenangan tersebut berada dalam “standing” konstitusi “hak prerogatif Presiden” untuk memberikan abolisi terhadap tersangka.
Abolisi merupakan upaya yang dilakukan oleh Presiden dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara untuk menghentikan proses penyidikan dan penuntutan dengan pertimbangan dapat mengganggu stabilitas pemerintahan.
Maka dari itu sangat memungkinkan, kiranya dikemudian hari jika semua pimpinan KPK nanti menjadi tersangka, sudah pasti muncul “dugaan” stabilitas pemerintahan akan terganggu, karena pekerjaan untuk penindakan tindak pidana korupsi terancam “lumpuh”.
Kalaupun stabilitas pemerintahan ini ternyata dimaknai lebih “luwes” oleh Presiden untuk mengembalikan stabilitas pemerintahan, agar kisruh KPK dan Polri dapat redah. Tak ada jalan lain, “terpaksa” Presiden harus pula “menolong” dan memberikan “abolisi” terhadap Calon Kapolri Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) yang sudah dijadikan “tersangka” oleh KPK.
Bukankah dari kasus BG-lah sesungguhnya perseteruan ini bermula? Dan memang hanya melalui “pintu” abolisi saja, kasus BG dapat dihentikan. Sebab kasus BG yang ditangani oleh KPK mustahil ada penghentian perkara melalui SP3 dan SKP2. *