Seperti Apa Kriteria Komisioner KPU Sul-Sel, Ini Jawabannya
Tim seleksi telah menutup masa pengembalian formulir calon komisioner KPU Sul-Sel periode 2018-2023, Rabu (21/2) kemarin. Dari 152 calon yang sudah mengembalikan formulirnya itu, sudah pasti nasibnya akan ditentukan pada tahapan selanjutnya, tahapan penelitian administrasi.
Saat tahapan penelitian administrasi berjalan hingga 26 Februari, masyarakat juga diberikan kesempatan untuk memberikan masukan dan tanggapan dari beberapa calon yang telah diumumkan di media cetak dan media online.
Tulisan ini bukan bermaksud kemudian untuk membeberkan nama-nama calon komisioner KPU yang seharusnya dicoret oleh tim seleksi. Pun sebaliknya, tidak bermaksud pula untuk mempengaruhi tim seleksi atas nama-nama calon yang seharusnya diloloskan. Hanya dititikberatkan dalam mencari komisioner KPU Sul-Sel, kelak pada akhirnya memang kredibel sebagai penyelenggara Pilkada dan Pemilu.
Prinsip 3 (I)
Tidak gampang untuk mengukur kredibiltas KPU sebagai penyelenggara pemilihan, sebab hal demikian selalu muncul melalui hasil akhir. Akan jelas terpapar dan terkoreksi saat komisioner KPU sudah menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Bahkan paling mencolok untuk menilai kinerjanya, ada dipenetapan hasil pemilihan. Suatu tahapan yang sekali-kali sering mengundang konflik dan eskalasi gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Catatan saya agar hajatan demokrasi bisa berlangsung secara fair dan berkeadilan. Rumus dasarnya sangat ditentukan oleh penyelenggara yang kredibel, maka akan berbanding lurus dengan Pemilu dan Pilkada yang kredibel pula.
Dan agar keinginan itu tercapai, hal yang perlu diperhatikan secermat-cermatnya oleh tim seleksi dalam perkerutan komisioner KPU Sul-Sel saat ini, yaitu kredibililtas penyelenggara (KPU) ditentukan oleh prinsip Intelektual, Independen, dan Integritas (Prinsip 3 I ).
Pertama, pada prinsip intelektual tentu bersentuhan dengan kapasitas, dan profesionalitas para calon komisioner. Pada prinsip ini jangan dilupakan pula faktor jejak rekam atau pengalaman. Oleh karena itu dalam perekrutan anggota KPU Sul-Sel, harap diutamakanlah satu atau dua Sarjana Hukum (SH). Pasalnya dalam penyelenggaraan Pilkada dan Pemilu bukan sembarang orang yang bisa menterjemahkan dengan benar berbagai peraturan kepemiluan. Selama ini, persyaratan calon dengan “back ground” ilmu hukum kadang diabaikan. Jadinya, banyak anggota KPU keliru dalam mengambil kebijakan.
Kemudian, faktor rekam jejak jangan sampai dipandang sebelah mata. Tim seleksi harus pandai-pandai berpikir progresif dalam meloloskan beberapa calon. Utamakanlah salah satu calon komisioner yang berasal dari institusi itu. Ini menjadi penting untuk KPU Sul-Sel karena semua komisioner sebelumnya telah berakhir masa jabatannya di saat tahapan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 sudah berjalan. Jika ada salah satu mantan anggota KPU Sul-Sel yang diloloskan, setidak-tidaknya dapat memudahkan urusan administratif dan urusan internalnya.
Kedua, prinsip independensi merupakan hadangan dan “PR” berat bagi tim seleksi. Hal itu disebabkan tidak cukup hanya dengan tes tertulis dan wawancara saja. Khusus untuk komisioner KPU Sul-Sel jangan sampai tim seleksi kecolongan. Ada calon yang diloloskan dengan memiliki “kedekatan” dari salah satu calon Kepala Daerah. Tim seleksi menjadi wajib untuk menelusuri “rekam jejak” calon komisioner secara aktif melalui orang yang mengenal dekat dengan calon tersebut. Ada banyak LSM yang tentunya bisa menjadi salah satu alternatif bagi tim seleksi dalam mencari referensi dan seputar rekam jejak para calon. Apakah pernah berafiliasi dengan salah satu partai politik? Apakah memiliki hubungan keluarga, pertemanan, atau kedekatan dengan Pasangan Calon Kepala Daerah tertentu?
Ketiga atau terakhir, yaitu prinsip integritas yang bersandarkan pada konsistensi, keteguhan, dan kejujuran calon komisioner KPU dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Tidak ada artinya gaji bagi ketua KPU Provinsi Rp.20,2 juta atau anggota KPU Provinsi Rp.18.5 juta, kalau integritasnya tidak ada. Terlalu gampang bagi komisioner dimasuki oleh berbagai kepentingan jika hanya berpangku pada iming-iming gaji yang besar, kemudian bermimpi menjadi penyelenggara pemilihan.
Begitu binalnya suatu kontestasi langsung, beberapa oknum dari paslon bisa saja menyuap dengan jumlah lebih dari gaji komisioner. Akibatnya KPU dituding tidak netral dan berimplikasi pada hasil pemilihan yang terancam konflik dari salah satu pendukung calon.
Pencuri Uang
Pada tataran prinsip 3 (I) yang telah dikemukakan di atas, saya perlu pula membeberkan bahwa salah satu “penyakit” komisioner KPU adalah bekerja bukan di atas kepentingan negara atas nama daulat rakyat Indonesia. Ada beberapa anggota KPU malah dia yang aktif mencari-cari “masalah” agar institusinya di gugat melalui Bawaslu atau pengadilan. Mereka pada beralasan bahwa kalau tidak ada gugatan ke KPU, anggaran tidak akan cair. Pun kalau ada lebihnya anggaran, gara-gara nihilnya gugatan hukum, harus dikembalikan sisa anggaran tersebut.
Komisioner macam ini, tidak perlu dipertanyakan intelektualnya. Mereka pada cerdas semuanya, dengan seolah-olah bersikap independen sebagai pihak “tergugat” di muka pengadilan. Namun pada kenyataannya mereka sedang berburu pundi-pundi rupiah. Integritasnya sebagai penyelenggara tidak perlu ditanyakan. Sudah jatuh hingga di titik nadir. Dan tak salah kalau distigmakan sebagai Komisi Pencuri Uang (KPU) Pilkada/Pemilu.
Kita semua menantikan terorbitnya komisioner KPU Sul-Sel yang bekerja berdasarkan mandat konstitusi dan daulat rakyat pemilih. Kita butuh tim seleksi komisioner yang tuli dari bisikan “tolong saya titip anggota, harap diloloskan.” Pun kalau tim seleksi mendengar bisikan itu, coretlah nama titipan mereka. Mereka tidak pantas diloloskan.
Oleh karena jika diloloskan, kelak disuatu waktu mereka akan melakukan pemufakatan jahat hingga mengorbankan pemilihan yang jujur dan berkeadilan. Mereka akan potensial berlaku curang. Tanpa pikir panjang, boleh jadi mereka melakukan penggelembungan suara demi “konflik kepentingan” yang sudah terlanjur menyeretnya.*